Judul : Muslim Milenial l Penulis : Subhan Setowara (ed.) l Penerbit : Mizan l Cetakan : 2018 l Tebal : vii-288 halaman l ISBN : 978-602-441-063-6
Media sosial menandai era meningginya gelombang tsunami informasi (information spill over). Produksi informasi membuncah menjarah lubang pada setiap akal pikiran dan, tentunya mempengaruhi masyarakat dalam beropini. Sementara itu, dalam beberapa temuan, mayoritas pengguna medsos adalah mereka yang berumur antara 18-24 tahun, termasuk rentang umur generasi milenial.
Cara generasi milenial mengambil tindakan tidak lebih bersumber dari asumsi yang menggeliat pada kasak-kusuk di media sosial. Sialnya, hal itu sering membuat milenial lalai dalam kesadaran faktual, minimal ‘saring sebelum sharing’. Atau menggali data secara lebih untuk disejajarkan validitasnya dengan fakta umum. Akan tetapi, usaha seperti itu lebih mendekati kepada ketidakmungkinan. Ralph Keyes (2004) menamai jatuhnya fakta umum sebagai era post-truth, yang oleh Bernando J Sujibto, era itu disebut sebagai anak kandung milenial. Berpijak pada pola pergerakan generasi milenial, yang umumnya bergerak masif dalam wilayah virtual. Tempat dimana kesadaran kritis kalah oleh luapan emosi dan hamburan opini. (hlm.57). Situasi ini memperkuat tesis Jean Baudrillard (1988) mengenai ekstase komunikasi dan matinya akal sehat.
Berangkat dari cara pandang itu, generasi milenial memandang agama sebagai sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan mereka. Anggapan itu terproklamirkan pada menguatnya identitas keagamaan melalui simbol-simbol agama di ruang publik, terkhusus di medsos yang menjadi wilayah mereka. Identitas keagamaan kini mengalami pergeseran makna. Nomenklatur Islam tradisional menilai bahwa spiritualitas dinampakkan hanya sebagai domain privat. Tidak dikelola dalam ruang publik.
Baca Juga: Berjumpa dengan Generasi Muslim Indonesia: Moderen, Relijius, Kaya, dan Universal
Posisi Milenial
Di samping pengaruh medsos terhadap identitas dan ekspresi agama generasi milenial, buah dari kesalehan materialistis (pious materialism) yang hiperbolis bersamaan dengn maraknya tren-tren fesyen muslim, musik islami, serta start-up islami. Sehingga dalam kadar tertentu, keyakinan Muslim milenial mendistorsi identitas-identitas lain di ruang publik. Dan kadar yang palih parah, medsos bertranspalasi menjadi ‘ruang endorse agama’, selain ia menjadi ruang propaganda ekstremisme agama.
Dalam hal cara pandang politik, Tabah Foundation (2016) dan Pew Research Centre (2017) melalui data temuannya, menyebutkan bahwa rata-rata 90% Muslim milenial di Timur Tengah dan 66% Muslim milenial di Amerika, kedua-duanya memiliki kesamaan pandangan politik. Mereka menaruh kepercayaan tinggi terhadap sistem politik demokrasi, dan cenderung sinis terhadap kalangan fundamentalis dan ekstrimisme agama yang memilih untuk mendirikan negara Islam.
Buku ini kemudian memposisikan generasi milenial dalam kerangka iman yang saya sebut sebagai “takwa inovatif”. Bahwa milenial sebagai generasi yang mendominasi semestinya membaca manifestasi nilai-nilai progresif ketakwaan yang tehimpun dalam pesan moral amar ma’ruf nahi munkar (menjalankan perintah kebaikan dan menjauhi hal yang terlarang).
Takwa itu termanifestasikan pada sebuah itikad memanfaatkan medsos dengan baik dan bermanfaat bagi peradaban kemanusiaan kedepan. Semacam gerakan relaksasi beragama atau relax, it’s just religion, suatu ajakan agar orang berpikir terbuka, melihat humor dari sehal sesuatu, dan berempati pada orang lain yang memiliki intrepetasi agama yang berbeda.(hlm.156)