Aborsi: Pilihan Sulit dan Stigma bagi Perempuan

Aborsi: Pilihan Sulit dan Stigma bagi Perempuan

04 November 2024
53 dilihat
3 menits, 51 detik

Mereka yang memilih untuk merawat bayi tanpa kehadiran seorang ayah harus menghadapi berbagai tantangan, termasuk rasa sakit dan tekanan sosial. Kehidupan mereka sering dibayangi stigma sebagai perempuan nakal, sementara anak yang lahir pun dianggap anak haram, sehingga mereka berdua rentan dikucilkan dan mengalami diskriminasi.

Tsaqafah.id – Aborsi yang biasa dikenal dengan abortus provocotus adalah sebuah perilaku manusia untuk menggugurkan kandungan yang tidak diinginkan. Ketika kita mendengarkan kata itu, terbesit selalu dalam benak kita sebuah tindakan dalam bentuk bayangan yang memalukan, sekaligus memilukan. Sebagai kejahatan yang jauh dari kata kemanusiaan.

Demikian nyatanya, tanpa terlebih dahulu kita melirik dan meneliti beberapa faktornya yang selalu mendesak seorang perempuan untuk melakukannya atau dampak dari kejadian, misal pemerkosaan dan berbagai jenis kejahatan lainnya. Melihat fakta ini, sulit bagi kita untuk menafikan bayangan buruk yang berujung menghakiminya dengan stigma yang kurang ramah.

Fakta yang menyakitkan bagi perempuan di mana perasaan dilema selalu menyelimuti antara menjaga hukum dan rasa ketakutan untuk menjalani kehidupan selanjutnya; dengan menggendong anak tanpa ayah, diskriminasi, dan hinaan dari lingkungan sosialnya.

Baca Juga: Pendidikan sebagai Medan Jihad Gen Z

Hukum Aborsi Menurut Fikih

Sebenarnya para ulama terdahulu sudah berbicara tentang kasus demikian di dalam perbincangan literatur fikih klasik. Kata aborsi biasa dikenal dengan lafadh ijhadh, isqat al-haml, atau ilqa an-nutfah. Para ulama fikih, dengan ijtihadnya dalam menyikapi hal ini, memiliki beragam pendapat yang beragam.

Pertama, menurut Madzhab Syafi’i; bahwa dengan tercampurnya sel sperma dan sel telur seketika itu juga cikal bakal kehidupan manusia mulai wujud. Sehingga dalam pendapat ini, menjalankan aborsi sangat berlawanan dengan semangat hukum Islam yaitu hifdzh an-nafs (menjaga keberlangsungan hidup).

Kedua, Madzhab Hanafi; bahwa kasus aborsi dapat dilaksanakan ketika janin belum menginjak usia 120 hari. Namun, masih terjadi simpang siur mengenai pendapat ini karena masih dipertentangkan oleh ulama Hanafiyyah.

Terkait argumen kontra, mereka menyamakan hal kasus dalam memecah telur hewan ketika ihram, yang berkonsekuensi membayar dam. Jika memecah telur hewan yang masih belum wujud kehidupannya dalam konteks ihram dilarang, tentu menggugurkan janin manusia juga menjadi larangan dalam pandangan fikih.

Dalam teks literatur Ashab Muta’akhirin Syafi’i sendiri, terdapat perbincangan mengenai hal ini, seperti di dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin, yang terdapat keterangan:

وَيَحْرُمُ التَّسَبُّبُ فِيْ إِسْقَاطِ الْجَنِيْنِ بَعْدَ اسْتِقْرَارِهِ فِيْ الرَّحِمِ بِأَنْ صَارَ عَلَقَةً أَوْ مُضْغَةً وَلَوْ قَبْلَ نَفْخِ الرُّوْحِ كَمَا فِيْ التُّحْفَةِ وَقَالَ م ر لاَ يَحْرُمُ إِلاَّ بَعْدَ النَّفْخِ اهـ

“Dan haram hukumnya menyebabkan gugurnya janin setelah menetapnya di dalam rahim, yaitu setelah menjadi segumpal darah atau segumpal daging, meskipun sebelum ditiupkan ruh. Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Tuhfah. Namun, menurut pendapat Muhammad Ramli, tidak haram kecuali setelah ditiupkannya ruh.”

Baca Juga: Menyoal Miras hingga Penusukan Santri di Jogja

Dalam keterangan tersebut, menukil pendapat imam Ibnu Hajar di dalam kitab Tuhfah-nya, beliau melarang aborsi walaupun belum didapati ruh di dalam janin. Sementara, Imam ar-Ramli membolehkan ketika belum ditiupkannya ruh pada janin (Bughyah al-Mustarsyidin fi Talkhish Fatawa Ba’dh al-Aimmah al-Muta-akhkhirin).

Lalu Bagaimana Ketika Calon Pelaku Aborsi Merupakan Korban Pemerkosaan Atau Kejahatan Serupa?

Mereka yang memilih untuk merawat bayi tanpa kehadiran seorang ayah harus menghadapi berbagai tantangan, termasuk rasa sakit dan tekanan sosial. Kehidupan mereka sering dibayangi stigma sebagai perempuan nakal, sementara anak yang lahir pun dianggap anak haram, sehingga mereka berdua rentan dikucilkan dan mengalami diskriminasi.

Pertanyaan yang memerlukan pandangan khusus ini, ketika mengacu PP No. 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi Pasal 34, bahwa yang dimaksud dengan kehamilan akibat pemerkosaan adalah kehamilan akibat hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak korban.

Mengenai syarat menjalani aborsi yaitu adanya keterangan dari penyidik, psikolog atau ahli lain yang membenarkan dugaan telah terjadi pemerkosaan. Hal tersebut tertulis dalam pasal 34 2B. Dan aborsi dapat dilakukan pada usia kehamilan paling lama 40 hari dihitung pada hari pertama haid terakhir.

Baca Juga: Sosok Ibu Nyai Ida Rufaida, Orator dalam Aksi Damai “Santri Memanggil” Jogja

Aborsi dalam Kacamata Syariat

Dalam kejadian yang seperti ini, di mana perempuan berada di situasi dilematis dan problematik, meminjam analisis Kyai Faqihudin Abdul Kodir:

“Ada beberapa aborsi yang diperbolehkan secara syar’i; pertama, dengan upaya menjaga kematian seorang ibu bisa dikategorikan hifdz an-nafs. Kedua, untuk menjaga kesehatan reproduksi tergolong pada kategori hifdz an-nasl. Ketiga, sebagai upaya mencegah trauma berkepanjangan dan kelainan jiwa termasuk dalam hifdz al-aql. Bahkan, aborsi karena upaya menjaga harkat martabat kemanusiaan (dignity) disebut hifdz al-irdl. Menurut sebagian ulama kontemporer, termasuk menurut Kyai Husein, hal ini diperbolehkan.”

Tak hanya itu, secara kaidah, fikih menawarkan solusi dalam kasus ini dengan konsep akhaf ad-dorurain (meminimalisir keburukan) guna meminialisir keburukan yang terus menerus. Dalam konteks ini, para ulama menegaskan bahwa untuk menjaga kehidupan manusia harus lebih diutamakan. Adapun mengenai psikis korban mereka menganggap keburukan yang di dalamnya lebih ringan, sehingga menjaga kehidupan manusia lebih diutamakan.

Pertimbangan rasionalnya, ketika nyawa tidak lagi terjaga, seketika itu akal (psikis) perempuan juga hilang. Berbeda ketika keburukan hanya menimpa akal yang di kemudian hari dapat disembuhkan selagi nyawa manusia masih terjaga dan terlindungi.

Hemat saya, hal demikian merupakan bentuk kehati-hatian kita terhadap merespon situasi dilematis dan problematik ini, sehingga menjadikan fikih tidak keluar dari rambu-rambunya dan tidak terjerumus dalam dosa sosial.

Alhasil, untuk melakukan aborsi korban pemerkosaan perlu pertimbangan yang sangat akurat dari berbagai aspek. Sehingga dalam prakteknya, aborsi dapat dilakukan sebagai alternatif terakhir serta dilakukan dengan standar operasional prosedur untuk mempertimbangakan aspek mashlahat dan madhorot, juga harus memenuhi syarat yang sudah tertulis dalam pasal di atas, yakni dapat melakukannya ketika janin belum menginjak usia 40 hari dihitung dari hari pertama haid berhenti.

Demikian tindakan aborsi dalam merespon kasus ini yaitu sebagai jalan alternatif terakhir. Harus diingat bahwa dalam kata alternatif merupakan jalan terakhir ketika upaya yang lainnya tidak dapat lagi diharapkan.

Wallahua’lam bishowab.

Profil Penulis
Muhammad Asyrofudin
Muhammad Asyrofudin
Penulis Tsaqafah.id

2 Artikel

SELENGKAPNYA