Mencintai anak adalah hal yang dijunjung tinggi dalam Islam. Rasulullah bersabda, “bukanlah golongan kami, sesiapa yang tidak menyayangi anak kecil.” Dalam riwayat Tarikh, para nabi tidak pernah bersikap kasar ke anak.
“Sampai saya mati, saya tidak akan bosan mengatakan, orang tua itu harus hormat dan mencintai anak. Dalam Kitab Mizan Kubra dijelaskan “wa min adabil anbiya’ takrimul aulad“, adabnya para nabi adalah memuliakan anak.” Begitulah dawuh tegas Gus Baha’, pendakwah asal Rembang yang popular di kalangan Nahdliyin grass root sampai elit ini, kerap menyuarakan pentingnya menyayangi anak-anak.
Baru-baru ini juga, saya menonton video kunjungan Syech Zakariya Muhammad Marzuq ke Bustanul Asyiqin, Solo. Beliau masuk berjalan disambut Habib Syech, dan beberapa orang lainnya. Ketika beberapa anak kecil mencium tangannya, beliau balik mecium tangan anak kecil tersebut. Sehingga ini teladan yang saya saksikan dari beberapa ulama’, yakni mencium tangan anak, yang bertujuan untuk memuliakan dan mencintai anak.
Baca Juga Padhangmbulan di Desa Menturo: Kidung Lirih Maulid Nabi
Narasi memuliakan dan mencintai anak dalam keseharian sering luput disuarakan, justru marak narasi yang ditemui adalah memukul anak yang disalahfahami. Gus Baha’—sekali lagi, beliau mengatakan, “sekarang anakmu melafalkan laa ilaha illa Allah sudah biasa. Yang tidak biasa itu kalau mencium tanganmu, di depan umum, terus takdhim, terus kalau disuruh nurut.”. Gus Baha menganggap hal itu keliru. Beliau memberikan gambaran, hewan, seperti anjing dan burung beo, sudah patuh lebih dulu atas hal-hal seperti itu.
Dan (lbrahim a. s.) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu. [Zukhruf : 28] “Itu alasannya mengapa saya hormat dan mencintai anak.” Tandasnya. “Bagi saya, anak melafalkan tauhid dan bersujud, itu sudah spesial.”
“Ojo main-main ambek anak, marai kuwalat.”, jangan main-main, jangan berani-berani sama anak, nanti menyebabkan celaka. Gus Baha’ menekankan pula, agar anak jangan dijadikan pelampiasan amarah. Hubungan anak dengan orang tua, sejatinya adalah hubungan tauhid. Anak bukan investasi, bukan soal untung-rugi. Anak adalah milik Allah, penerus yang menjaga kalimat tauhid, laa ilaha illa Allah.
Baca Juga Ubaidillah, Ketua KPI Pusat, Dinobatkan sebagai Santri Inspiratif 2024
“Orang menservis anak demi mengawal tauhid iku ibadah.” Orang tua yang mengasuh anak, membuat nyaman anak, mendidik anak bertujuan mengawal tauhid adalah ibadah.
Dalam ilmu psikologi dan Kesehatan, membentak anak menimbulkan dampak negatif, antara lain; menjadikan anak tidak berharga, merenggangkan hubungan anak dengan orang tua, menciptakan perilaku agresif anak, menurunkan kepercayaan diri anak, dan lainnya.
Kekerasan psikis dapat dilakukan secara langsung melalui tindakan atau kata-kata melukai yang diungkapkan kepada anak, meliputi; teriakan, makian, ejekan dengan nama dan sebutan yang tidak disukai anak, membanding-bandingkannya dengan orang lain, serta mengucapkan kata-kata yang merendahkan.
Selain itu, kekerasan psikis bisa pula terjadi secara tidak langsung, sebagai akibat dari apa yang disaksikan anak, semisal pertengkaran atau perkelahian antara kedua orang tuanya atau kerabatnya. Kekerasan ini menghambat pertumbuhan kepribadiannya dan mengganggu hubungan sosialnya dengan orang lain. ini sangat jauh dari nasehat Gus Baha untuk memuliakan dan mencintai anak.
Rasulullah bersabda, “bukanlah golongan kami, sesiapa yang tidak menyayangi anak kecil.” Dalam riwayat Tarikh, para nabi tidak pernah bersikap kasar ke anak. Bahkan, Rasulullah membiarkan Hasan dan Husein bermain dengan anjing sampai masuk dalam kamarnya. Tidak memarahinya.
Baca Juga Malmingan, Tahlilan, dan Jagongan: Simbol Keselarasan Sosial
Anak-anak itu tidak terkena khitab, hukum syar’i. Gus Baha mengomentari perihal anak kecil yang membuat gaduh di masjid. “Anak kecil yang menek-menek itu gak haram. Malah orang tua yang membentak itu haram, karena mukallaf.” Anak kecil yang bermain panjat-panjatan, itu tidak berdosa. Justru, orang tua yang membentak itulah yang berdoa sebab sudah terkena kewajiban hukum syar’i.
Beliau menukil hadits bahwa, tidak ada keharusan melaksanakan kewajiban pada tiga golongan, yaitu anak kecil sehingga baligh, orang yang tidur sampai terbangun, dan orang gila hingga berakal.
“Lagi pula kadang orang itu gaya-gayaan tok. Memarahi anak kecil, onok wong khutbah ngerameni! Padahal kalau gak dirameni anak-anak dia tidur.” Disambut gelak tawa jamaah.