Tsaqafah.id – Hiruk pikuk rangkaian prosesi pernikahan Atta-Aurel menyedot perhatian segenap warga Indonesia. Mulai dari lamaran, siraman, henna night ala Bollywood, akad, hingga syukuran akad yang tidak cukup dengan bagi-bagi berkat tapi pesta super mewah, disiarkan di berbagai platform. Tidak saja lewat kanal Youtube kedua mempelai berikut keluarganya (yang kalau ditotal jumlah subscriber-nya setara gaji setahun karyawan dengan UMR Jakarta), tapi juga melalui frekuensi publik, televisi.
Kehebohan itu diprediksi akan terus berlanjut ke episode rumah tangga selanjutnya. Di salah satu video terbaru channel The Hermansyah A6, Aurel sudah siap-siap pamit untuk honeymoon. Tentu bulan madu Atta-Aurel bukan sembarang bulan madu karena bahkan saat masih pacaran, Atta melamar Aurel untuk pertama kali di atas geladak kapal pesiar. Publik bahkan bisa dengan mudah membayangkan seperti apa mewahnya tingkeban kehamilan Aurel kelak akan digelar.
Gaya hidup glamor memang melekat pada kehidupan dua megaseleb ini. Vlog-vlog bermuatan pamer kekayaan jadi senjata Atta untuk mendulang subscriber. Preview deretan mobil mewah, house tour rumah gedong, belanja dan unboxing barang-barang mahal yang harganya bikin merinding sobat misqueen jadi tayangan yang ditunggu-tunggu para penggemarnya selain konten kisah pribadi dan prank.
Dengan menayangkan kemewahan, Atta dan Aurel menjual mimpi yang tak tergapai oleh kita, rakyat jelata. Ya, kita, saya dan kamu yang tidak ragu menuang air ke botol sampo saat isinya sudah mau habis itu.
Fritz Haryadi menganalisis aksi pamer kekayaan tersebut sebagai vanity yang kalau dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai “kefanaan”. Vanity dari kata dasar vain berarti kosong, hampa, sia-sia. Maka vanity adalah sikap kesia-siaan, kekosongan, mementingkan kulit daripada isi.
Persis seperti itu juga mereka berdua menampilkan pernikahan. Atta, Aurel, dan tentu saja media-media yang menyorot, mempertontonkan pernikahan tak lebih dari rangkaian gebyar seremoni tak berkesudahan. Tidak ada edukasi pada masyarakat sebagaimana fungsi influencer yang diharapkan presiden Jokowi sampai rela menggelontorkan dana puluhan milyar.
Wacana-wacana yang mengiringinya pun makin banal. Dari mulai keinginan punya anak kembar tiga dari total lima belas anak yang jadi goal sampai suara suami yang sama dengan suara Tuhan. Dengan rentetan tayangan dan diskusi semacam itu, bagaimana remaja yang jadi basis penggemar Atta-Aurel membayangkan pernikahan?
Ya, pernikahan cuma akan dilihat dari kulitnya saja dan mengabaikan daging sebagai isinya. Padahal sebagai perjalanan yang diharapkan berlangsung seumur hidup, visi menjadi hal paling esensial. Lalu apa sesungguhnya visi pernikahan?
Bagi seorang muslim, Bu Nyai Nur Rofiah merangkumnya dalam satu kalimat: menajamkan ketakwaan kepada Allah untuk menciptakan kemaslahatan. Ya, itulah visi pasangan suami istri yang tak berbeda dari visi manusia sebagai khalifah fil ardl pada umumnya. Sebab laki-laki, perempuan, suami dan istri itu hanya dan hanya hamba Allah ta’ala.
Baca juga: Putri Ong Tien, Putri Tiongkok yang Menjadi Istri Ulama
Pernikahan semestinya menciptakan daya dorong untuk menambah ketakwaan kepada Allah. Takwa adalah hubungan baik kepada Allah yang melahirkan hubungan baik kepada sesama manusia. Ketakwaan itu dimanifestasikan dengan sebanyak-banyaknya menebar kebaikan di muka bumi.
Oleh karenanya, diskusi di sekitar pernikahan mestinya tak berkutat pada fungsi reproduksi belaka. Pernikahan tidak saja soal bertemunya pejantan dan betina yang bisa memproduksi belasan anak tapi juga bertemunya ide dan gagasan. Pasangan semestinya tidak hanya dilihat sebagai makhluk fisik atau makhluk seksual saja, tapi juga makhluk spiritual dan makhluk intelektual.
Maka untuk menjelang pernikahan, persiapan batin lebih penting dari hunting deretan vendor untuk mewujudkan pesta idaman. Pertama tama, bisa dimulai dengan mengenali diri sendiri. Apa yang menjadi gagasan kita untuk masa depan. Kedua, melakukan ta’aruf. Yang lebih penting dari ta’aruf bukanlah melihat fisik tapi bertukar pikiran tentang cara pandang dunia, potensi, dan modal sosial dalam rangka mewujudkan kemaslahatan.
Pada akhirnya, dalam misi menebar kebaikan itu, pasangan suami istri semestinya berjalan beriringan dengan setara. Status laki-laki dan perempuan yang merupakan hamba Allah tidak meletakkan keduanya menjadi hamba yang lain. Istri bukanlah hamba suami dan sebaliknya.
Jadi, mari kita kesampingkan pernikahan hanya dari sisi heboh dan sensasinya saja. Yang lebih penting apakah pernikahan itu akan membawa faedah bagi alam semesta sebagai manifestasi takwa? Kalau tidak, yaa, jomblo yang bertakwa akan lebih baik daripada yang menikah tapi tidak bertakwa.
Baca juga: Inilah Beberapa Indikator Kebahagiaan Pernikahan Menurut Quraish Shihab