Sikap Hidup Yuji Itadori dan Konsep Kebahagiaan ala Imam Al-Ghazali

Sikap Hidup Yuji Itadori dan Konsep Kebahagiaan ala Imam Al-Ghazali

15 Juni 2023
700 dilihat
2 menits, 47 detik

Tsaqafah.id“Aku tidak tahu bagaimana perasaan ketika mati, tetapi setidaknya aku tak ingin menyesali cara hidupku” Yuji Itadori.

Sebuah ujaran dari Yuji Itadori, sosok tokoh anime di serial Jujutsu Kaisen tersebut, mengandung pesan mendalam -setidaknya bagi penulis- yang penting untuk direfleksikan. Perihal tersebut penulis terlempar pada satu ingatan tentang bagaimana Imam al-Ghazali menempatkan pandangan tasawufnya, yang agaknya memberikan ruang korelatif dalam hal ini.

Konstruksi pendangan Al-Ghazali dalam memposisikan kehidupan manusia di dunia, terbilang cukup mengandung distingsi dibandingkan para tokoh tasawuf lain. Pandangan populer para tokoh tasawuf di saat melihat dunia cenderung memposisikannya sebagai bentuk “remeh”. Di sinilah kemudian al-Ghazali memandangnya dengan berbeda.

Kebahagiaan di dunia yang dikonsturksi Al-Ghazali dipandang cukup penting. Orientasi pemaknaan kebahagiaan, bagi Al-Ghazali harus didasarkan terhadap pemenuhan kebahagiaan di dunia, menggeser trend tasawuf yang hanya menganggap kebahagiaan dunia sebagai suatu hal yang remeh. Pertimbangan akan pentingnya kebahagiaan dunia, sebagai pondasi kebahagiaan akhirat menjadi perbedaan mencolok yang dikemukakan.  

Baca Juga Tsaqatalk #6 Membincang Kristen Madura: Minoritas yang Terlupa

Kebahagiaan di Dunia sebagai Pijakan

Pada prinsipnya, satu hal paling fundamental dalam hidup manusia, tidak lain untuk meraih kebahagiaan. Konsep kebahagiaan yang diangankan manusia hadir dalam ruang resepsi yang sangat variatif, tidak sama satu dengan yang lain. Namun, jika ditelaah lebih jauh seluruh aktivitas manusia, dari yang serius sampai yang “hura-hura” tidak lain bermuara untuk meraih kebahagiaan versi masing-masing.

Berbagai ekspresi tindakan yang bermuara pada orientasi kebahagiaan ini kemudian, tetap memiliki batas-batas yang jelas. Islam memandang bahwa sejauh ekspresi tersebut tidak keluar dari batas syariat, merujuk pada Al-Ghazali, hal tersebut tidak dipermasalahkan. Justru ada sebuah penekanan yang mengarah pada tercapainya kebahagiaan di dunia sebagai landasan terhadap kebahagiaan di akhirat.

Kebahagiaan dalam perspektif Al-Ghazali, tidak sebatas pada hati dan kejiwaan namun juga meliputi hal-hal yang bersifat badaniyah. Tentu penerjemahan terhadap kebahagiaan badaniyah ini, bukan tidak ada batasannya. Namun, pemenuhan terhadap kebahagiaan yang orientasinya badaniyah menurut al-Ghazali, dalam payung besar yang berkaitan dengan hal-hal yang disyariatkan agama dan bersih dari nafsu.

Kecenderungan sebagian penganut tasawuf, mengajukan sebuah pandangan kebahagiaan sejati yang hanya menekankan terhadap satu aspek saja. Pandangan ini menempatkan aspek teologis yang diterjemahkan sebagai kehidupan akhirat. Anggapan bahwa kebahagiaan sejati bukanlah dalam hidup dunia itu benar, namun menafikan kehidupan dunia adalah kurang tepat. Setidaknya ada porsi-porsi yang harus selaras antara orientasi kebahagiaan di akhirat dengan mencapainya melalui dunia.

Baca Juga Fenomena Habib, Identitas Arab dan Sikap Kita

Boleh jadi, ungkapan dari Yuji Itadori memang terlihat remeh, jika sudut bidiknya pada penempatan filmnya. Lebih daripada itu, jika menengok secara lebih profesional terlepas dari otoritas yang dimiliki tokoh anime ini, akan dapat menuai makna yang sangat mendalam, atau bahkan sejalan nilai-nilai tasawuf itu sendiri.

Mendudukkan tokoh dalam serial anime sebagai sebuah kiblat hidup tentu dianggap “konyol”, tapi menilik sebagian kecil nilai-nilai kebaikan yang dicerminkan, tidak menutup kemungkinan mendatangkan hikmah tersendiri. Atas dasar tersebut sah-sah saja mengikuti trend film yang sedang berkembang, karena tidak menutup kemungkinan “hidayah” akan datang dari sana.

Di satu sisi kemampuan untuk menempatkan sesuatu pada porsinya, sebagaimana menonton film mendapat stigma miring, sebab alasan korupsi waktu. Namun, perlu diingat bahwa di sisi lain ada hal-hal positif yang tentu masing-masing orang memiliki atensi terhadap suatu yang dikerjakannya. “Menonton tidak semata-mata sebagai hiburan namun menarik hal positif dari apa yang ditonton”.

Wa ba’du, kebahagiaan sebagai dasar orientasi setiap tindakan manusia menempati kedudukan penting. Sebagaimana yang dirumuskan Al-Ghazali bahwa kebahagiaan yang diorientasikan terhadap akhirat namun menafikan konstruksi kebahagiaan dunia, akan berjalan tidak seimbang. Kiranya untuk tidak menafikan salah satu di antara keduanya, menjadi suatu tindakan yang dapat lebih bijak dijalankan secara bersamaan.

Agar “…tidak menyesali cara kita hidup di dunia”, menandakan sebuah dorongan untuk terus bertindak positif. Persoalan bagaimana manusia setelah mati adalah bukan kuasa manusia untuk memikirkan apalagi menuntutnya. Tinggal bagaimana seseorang mengoptimalkan seluruh tindakan-tindakan yang memberikan kebermanfaatan positif. Kemudian sejauh mana hal tersebut mampu diinternalisasi terhadap setiap tindakan dalam koridor aturan serta perintah-perintah agama. Waallahu A’lam bi Shawab

Profil Penulis
Abdul Azis Fatkhurrohman
Abdul Azis Fatkhurrohman
Penulis Tsaqafah.id

1 Artikel

SELENGKAPNYA