Kitab Dirāsāt fī al-Ḥadīs al-Nabawīwa Tārīkh Tadwīnihi adalah karya ilmiah yang mendalami seluk-beluk sejarah pengumpulan, penulisan hadis serta proses kodifikasinya. Buku ini menyajikan tidak hanya kajian teoritis, melainkan juga perspektif historis yang sangat rinci, menjadikannya sumber terpenting bagi studi hadis dan sejarah Islam awal.
Biografi Mustafa al-A’zami
Tsaqafah.id – Muhammad Muṣṭafā al-A’ẓamī merupakan seorang ulama dan cendikiawan Islam terkemuka, terutama dikenal di kalangan sarjana hadis. Muṣṭafā al-A’ẓamī lahir di India pada tahun 1932. Beliau mendapatkan pendidikan awal di Madrasah tradisional, yang membekalinya dengan dasar-dasar kuat dalam ilmu agama.
Setelah menyelesaikan studi dasarnya di India, A’ẓamī melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi di Dar al-‘Ulum Deoband, India. Pendidikan di lembaga ini memberinya pemahaman mendalam tentang metode tradisional dalam menghafal, memahami dan mengkritik hadis.
Ia melanjutkan pendidikan formalnya hingga meraih gelar doktoral dari Universitas al-Azhar. Disertasinya di bidang hadis mendapat perhatian besar karena metodologinya yang ketat dan penekanannya pada kritik sanad, serta otentisitas hadis. A’ẓamī juga melakukan penelitian lebih lanjut di sejumlah universitas di Barat, termasuk Cambridge yang memperkaya wawasannya dengan pendekatan akademis-modern.
Muṣṭafā al-A’ẓamī juga dikenal atas kontribusinya sebagai pentahqiq naskah klasik, seperti Saḥīḥ ibn Khuzaima, Sunan al-Kubrā, al-Muwaṭṭa’ Imam Malik, Sunan Ibn Mājah. Salah satu karya terpentingnya adalah penyuntingan (taḥqīq) terhadap Maghāzī ‘Urwah bin Zubair (sebuah buku pertama tentang biografi Nabi Muhammad), serta beberapa manuskrip hadis kuno yang sebelumnya tidak diketahui banyak orang. Usahanya dalam merekonstruksi teks-teks asli dan membuktikan keautentikan sanad merupakan langkah monumental dalam dunia ilmu hadis.
Baca Juga: Kisah Greta And The Giant: Memahami Krisis Ekologi Melalui Cerita Anak
Menjadi Sivitas Akademika
Di samping kontribusi akademisnya, A’ẓamī juga bekerja di berbagai lembaga akademik, termasuk menjadi profesor di Universitas Islam Madinah dan King Saud, Riyadh. Melalui posisinya ini, beliau tidak hanya mendidik generasi baru ulama dan sarjana, tetapi juga menerbitkan sejumlah karya akademis yang sangat berpengaruh.
Di antara karya besarnya adalah: Studies in Hadith Metodhology and Literature (1977), Manhaj al-Naqd ‘ind al-Muḥaddisīn (1982), al-Muḥaddisūn min al-Yamāmah (1994), On Schacht’s Origin of Muhammadan Jurisprudence (1996), Kuttāb al-Nabī (1981), Studies in Early Hadith Literature (1978), dll. Karya yang disebut terakhir kemudian sering dijadikan rujukan para ahli dalam menyanggah berbagai tuduhan dari kalangan orientalis, khususnya Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht. Muṣṭafā al-A’ẓamī wafat pada tahun 20 Desember 2017 di Riyadh.
Pemikiran A’ẓamī tentang Studi Hadis
Kitab Dirāsāt fī al-Ḥadīs al-Nabawīwa Tārīkh Tadwīnihi adalah karya ilmiah yang mendalami seluk-beluk sejarah pengumpulan, penulisan hadis serta proses kodifikasinya. Buku ini menyajikan tidak hanya kajian teoritis, melainkan juga perspektif historis yang sangat rinci. Hal ini menjadikannya sumber terpenting bagi studi hadis dan sejarah Islam awal.
Sejak awal, buku ini menggambarkan betapa pentingnya hadis dalam ajaran Islam. A’ẓamī menegaskan bahwa hadis bukan sekadar kata-kata, atau tindakan Nabi yang diriwayatkan, tetapi juga sumber hukum paling tinggi pasca al-Qur’an. Sehingga kodifikasi hadis menjadi kebutuhan yang mendesak pasca wafatnya Nabi.
Pada bagian pertama, buku ini merinci periode verbal yang mendominasi diaspora hadis pada masa Nabi masih hidup. Ia lalu menggambarkan bagaimana para sahabat menghafal perkataan Nabi dan menyampaikannya secara konvensional.
Baca Juga: Aborsi: Pilihan Sulit dan Stigma bagi Perempuan
Dalam konteks budaya Arab yang didominasi tradisi verbal, menghafal hadis merupakan metode utama transmisinya. Namun, ia juga membuktikan bahwa meskipun penulisan hadis belum menjadi praktik umum, bukan berarti jumlah orang yang mengetahuinya sedikit. Setidaknya ia menyajikan 52 nama sahabat yang memiliki tulisan hadis sekaligus menjadi sekretaris Nabi.
Tuduhan bahwa hadis tidak pernah ditulis pada masa Nabi menurutnya terjadi salah satunya karena kesalahpahaman dalam memaknai ucapan Imam ibn Hajar. Ucapan tersebut adalah “awwal man dawwana al-ḥadīs Ibn Syihab al-Zuhri“. Padahal antara tadwīn, kitābah, dan taṣnīf memiliki arti yang tidak sama, hanya saja ia tidak menjelaskan detil perbedaannya.
Perkembangan Awal Hadis
Setelah Nabi wafat, dinamika berubah. Di sinilah buku ini memperkenalkan kita pada fase kedua dalam sejarah hadis; yaitu masa penulisan dan pengumpulan secara sistematis. A’ẓamī menekankan figur Khalifah Umar bin Abd al-Aziz (687-720 M) sebagai peranan penting dalam memulai upaya resmi pengumpulan hadis secara tertulis. Umar bin Abd al-Aziz memerintahkan agar hadis-hadis dikumpulkan untuk memitigasi penyebaran riwayat yang tidak sahih. A’ẓamī mengungkap bahwa peristiwa ini awal dari perkembangan hadis dari fase tradisi lisan menuju dokumen resmi.
A’ẓamī memberikan perhatian khusus kepada para sahabat utama yang dianggap sebagai pemeran kunci dalam periwayatan hadis, seperti Abu Hurairah, Aisyah bint Abu Bakar, Abdullah bin Umar, yang memiliki hafalan hadis paling banyak. Abu Hurairah khususnya, disebutkan lebih rinci karena peran besarnya dalam meriwayatkan ribuan hadis.
Selain lanskap historis di atas, A’ẓamī juga menguraikan persoalan ilmu kritik sanad. Menurutnya, ulama pada periode selanjutnya telah mengembangkan metode untuk memeriksa keabsahan matan (konten) dan juga periwayatan (sanad). Mereka mengenalkan prinsip-prinsip ilmiah dalam menilai kredibilitas para perawi hadis, seperti kejujuran, daya ingat, dan integritas moral.
Baca Juga: Pendidikan sebagai Medan Jihad Gen Z
Dinamika Penulisan Hadis dan Sejarahnya
Salah satu yang menarik dari buku ini adalah kajian tentang motif-motif politik di balik munculnya hadis-hadis palsu. A’ẓamī tidak hanya menyebutkan fakta adanya hadis-hadis yang sengaja disebarkan oleh individu atau kelompok tertentu, tetapi juga memberikan analisis historis tentang bagaimana pergolakan politik. Seperti polemik antar faksi dalam Islam, antara Sunni dan Syiah, Khawarij, Mutasawifah, dan lainnya, menjadi peristiwa determinan yang mewarnai.
A’ẓamī di sini seolah mengajak pembaca untuk memahami bahwa verifikasi hadis tidak hanya bersifat teologis-normatif, tetapi juga politis. Mengingat betapa besar pengaruh hadis terhadap kehidupan sosio-kultural dan politik umat Islam saat itu.
Buku ini juga mencakup bab-bab yang membahas peran dinasi Umayyah dan Abbasiyah dalam memfasilitasi pengumpulan hadis. A’ẓamī menggambarkan kekhalifahan Abbasiyah yang dikenal dengan kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan. Hal tersebut terbukti dengan memberikan ruang dukungan bagi berkembangnya ilmu hadis dan pembukuannya secara resmi. Pada masa ini jugalah lahir ulama-ulama besar yang mulai menyusun kitab-kitab hadis, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud dan lain-lain.
Di bagian akhir, A’ẓamī mencoba mengaitkan perkembangan sejarah hadis dengan tantangan yang dihadapi oleh generasi ulama masa kini. A’ẓamī menekankan bahwa meskipun hadis-hadis sahih telah dibukukan dengan ketat, tidak berarti kajian terhadap hadis sudah selesai. Penelitian kritis terhadap hadis harus terus dilakukan, terutama dengan munculnya berbagai isu global dan masifnya pemikiran orientalis-revisionis-skeptis yang berupaya mendekonstruksi, merevisi serta mendeligitimasi peran hadis.
Secara umum, buku ini tidak hanya memberikan narasi sejarah, tetapi juga memperlihatkan kompleksitas di balik pembukuan dan seleksi hadis.