Waktu dan Aku
Tiba-tiba waktu terasa seperti puisi
Mendetak di ulu hati, mendebar cepat di jantung
Ia bercerita tentang hening dan gelisah
Pada suatu ketika, betapa nestapa
Tapi pada waktu jua cinta tersemat begitu khidmat
Hening sekaligus ribut, bagaimana aku harus menyebut?
Aku luka, sayatan kepedihan
Dan sunyi seperti jendela di beranda
Serupa daun yang basah oleh hujan
Lalu, pada subuh tak bersyarat,
Gigil merupa keangkuhan yang keparat
Mari beranjak
Gerimis
Gerimis di kotaku bu,
Serupa takdir kematian yang tiba-tiba
Ia datang mencerai kehidupan
Gerimis menderas, gusar, dan orang-orang berlalu lalang pulang
Lalu persimpangan menjadi lengang
Seperti usai pemakaman
Baca Juga: Buku, Kuburan, dan Kisah Pemancing Gagal
Menziarahi Batin
Pak, aku pikir aku sudah lupa cara mengingatmu
Anakmu lelah terus melekat pada nama
Maka pergilah, biar kurapikan hidupku, biar ku simpan citramu
Karena kau telah usai dengan waktu
Aku pikir lidahku kelu mengucap namamu
Sebab lara terendap lama
Dan aku larut menghilangkan jejakmu;
seperti pecundang yang menghilang
seperti musafir yang pergi atas nama perjalanan -enggan kembali ke tanah kelahiran
Tapi anakmu pulang pak,
Entah melalui jalan yang mana,
dan aku telah sampai
Kau masih di sana rupanya dengan wangi tubuh yang menusuk hidung
Apakah punggungmu masih sering gatal?
Sini biar kugaruk, dan akan kumainkan tahi lalat di pundakmu
Tapi aku capek pak, maukah bapak menggendongku lebih dulu, meninabobokanku?
Atau pinjami aku lenganmu, aku ingin bergelanyut
Sejauh perjalanan ku tempuh
Pada akhirnya aku merindukanmu
Dan bapak masih di sana, di sudut tergelap batinku
Paragraf Dongeng
Suatu hari ibu mengecupku,
Dengan darah yang tak pernah hilang dari tatapan
Mungkin sepenggal kisah tentang tukang becak, anak-anak yatim di pangkuan, mungkin pula tentang bekas pacar yang gagal di pelaminan
Matamu adalah mata yang memiliki aliran sungai darah
Bahkan terus menerus mengalir hingga akhirnya ragamu tertimbun batu nisan
Tapi darah tetap menetes, entah dari mata yang mana
Hingga menderas melebihi hujan Januari, barangkali
Suatu hari lagi di pemakaman yang itu juga,
Darah kembali mengalir, entah dari mata yang mana
Note: Paragraf dongeng juga pernah dimuat di antologi puisi rumah pohon an Dhedhe Lotus

