Macam-macam Dzikir Menurut Syekh Ibnu Atha’illah As-Sakandari

Macam-macam Dzikir Menurut Syekh Ibnu Atha’illah As-Sakandari

28 April 2021
1167 dilihat
2 menits, 41 detik

Tsaqafah.id – Dzikir adalah sebuah kata yang sering kita dengar. Aktivitas ini seringkali dimaknai sebagai upaya mengingat dan mendekatkan diri kepada Allah. Namun bagaimana penjelasannya menurut ulama? Mari kita simak penjabaran Syekh Ibnu Atha’illah As-Sakandari.

Syekh Ahmad ibn Muhammad ibn Abdul Karim ibn Atha’illah al-Jadzami al-Maliki as-Sakandari atau lebih dikenal dengan Syekh Ibnu Atha’illah As-Sakandari adalah ulama besar dari Alexandria, Mesir, yang hidup di abad-13. Syekh Ibnu Atha’illah As-Sakandari adalah cendekiawan yang produktif menulis karya yang mencakup bidang tasawuf, tafsir, hadist, akidah, nahwu, dan ushul fiqh. Kitab tasawuf Al Hikam menjadi magnum opusnya yang dipelajari di berbagai penjuru dunia Islam.

Dalam salah satu kitab tasawuf lainnya yang berjudul “Miftahul Falah wa Mishbahul Arwah” atau “Kunci Kemenangan dan Cahaya Jiwa”, Syekh Ibnu Atha’illah As-Sakandari menuliskan dengan rinci definisi dan macam-macam dzikir.

Menurut Syekh Ibnu Atha’illah As-Sakandari, makna dzikir adalah terhindar dari lalai dan lupa karena senantiasa hadirnya Allah sebagai zat yang haq di dalam hati. Yang dilakukan di dalamnya adalah mengulang-ulang nama yang didzikiri dengan hati dan lisan.

Dzikir dapat mencakup menyebut asma Allah, sifat-sifat Allah, hukum Allah, pekerjaan Allah, dalil-dalil terkait hal itu, doa, menyebut rasul-rasul Allah, nabi-nabi Allah, maupun kekasih-kekasih Allah. Menyebut orang-orang yang dinisbatkan sebagai wali-wali Allah atau dekat dengan mereka karena sebab-sebab tertentu, juga termasuk dzikir. Selain itu, menyebut sebab maupun pekerjaan seperti membaca syiir, nyanyian, ceramah, juga cerita, juga dapat digolongkan sebagai dzikir.

Dengan luasnya definisi tersebut maka orang yang berbicara, ahli fikih, pengajar, mufti, orang yang berceramah, dan orang yang berpikir tentang keagungan Alllah, keluhuran Allah, kekuasaan Allah, ayat-ayat Allah di bumi dan langit-Nya adalah orang yang berdzikir. Orang-orang yang melakukan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah juga termasuk orang yang berdzikir.

Dzikir dapat dilakukan tidak saja menggunakan lisan, tapi juga menggunakan hati serta sebagian anggota tubuh manusia. Kadang-kadang, ada juga menggunakan suara yang keras, dan yang seperti itu menurut Syekh Ibnu Atha’illah As-Sakandari termasuk orang yang berdzikir dengan sempurna.

Baca juga: Dzikir untuk Mengendalikan Hati

Selanjutnya, Syekh Ibnu Atha’illah As-Sakandari menjelaskan mengenai dzikir lisan.

Dzikir lisan yaitu menyebut huruf-huruf tanpa hadirnya di dalam hati. Ini juga disebut dzikir secara dzohir atau lahir. Meski hanya secara lisan, hal itu tetap memiliki keutamaan yang besar sebagaimana beliau saksikan dalam ayat-ayat Al-Quran, kabar, dan hadist.

Dzikir lisan ada yang dibatasi dengan waktu dan tempat, ada pula yang tidak terbatas atau tidak dibatasi. Dzikir lisan yang dibatasi seperti dzikir di dalam sholat, setelah sholat, dalam haji, sebelum tidur, setelah bangun, sebelum makan, saat menaiki tunggangan, pada siang hari, dan sebagainya.

Dzikir yang tidak dibatasi dengan tempat, waktu, dan keadaan, disebut dzikir mutlak. Contohnya adalah memuji Allah. Sebagaimana dalam setiap kalimat berikut ini, “Subhanallah walhamdulillah wa la ila ha illah wa la haula wa la quwwata ila billahil ‘aliyil adzim.”

Contoh lainnya adalah dzikir yang ada dalam doa, seperti “Rabbana la tuakhidzna innasiinaa aw akhtho’na…” Dan juga kalimat sholawat “Allahumma sholli ala sayyidina muhammadin.” Syekh Ibnu Atha’illah As-Sakandari dalam kitabnya menuliskan, sesungguhnya sholawat adalah kalimat yang sangat membekas di hati orang yang mulai berdzikir.

Dzikir mutlak juga mencakup munajat atau doa sepenuh hati. Sebab, orang yang bermunajat akan merasakan kedekatan dengan zat yang dimunajati. Munajat juga akan sangat membekas di dalam hatinya dan dapat menimbulkan rasa takut.

Contoh lain adalah dzikir yang di dalamnya mengandung perhatian atau permintaan yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Contoh dzikir yang meminta perhatian seperti ucapan, “Allah bersamaku,” “Allah adalah zat yang melihat padaku,” dan “Allah sedang melihatku.”

Menurut Syekh Ibnu Atha’illah As-Sakandari, sesungguhnya ucapan itu adalah dzikir yang digunakan untuk menguatkan kehadiran Allah, menjaga adab bersama Allah, menjaga dari kelalaian, mencari perlindungan dari setan yang terkutuk dan upaya menghadirkan Allah di dalam hati saat ibadah.

Baca juga: Aktivitas yang Sebaiknya Dihindari Saat Berpuasa

Profil Penulis
khalimatunisa
khalimatunisa
Penulis Tsaqafah.id
Alumni CRCS UGM dan PP Al-Munawwir Krapyak, bisa dihubungi di khalimatunisa@gmail.com

20 Artikel

SELENGKAPNYA