Tsaqafah.id Dikisahkan sewaktu Rasulullah saw wafat, Sayyidina Bilal tak kuasa tinggal di Madinah, karena apapun yang ada di kota itu selalu mengingatkan dirinya kepada sosok yang paling dicintainya itu (Nabi Muhammad saw). Bilal akhirnya pindah ke kota Syam, sebuah wilayah yang diberkahi dan didoakan Rasulullah saw.
Di sebuah daerah yang tak jauh dari Damaskus itu Sayyidina Bilal tinggal dan menikah disana. Pada suatu hari ia bangun sambil menangis. Lalu ditanya oleh istrinya, “Apa yang membuatmu menangis?” Ia menjawab “Aku melihat Rasulullah saw tadi malam.”
“Tadi malam aku melihat Rasulullah.” Beliau berkata kepadaku, “Wahai Bilal ini bukanlah pengasingan. Tidakkah datang waktu kepadamu untuk berkunjung kepadaku?”
Setelah mimpi itu, Sayyidina Bilal berziarah ke makam Rasulullah saw. Setibanya ia benar-benar tak kuasa menahan kesedihan. Saat itu ia terlihat oleh Sayyidina Abu Bakar dan ditanya, “Wahai Bilal, maukah engkau mengumandangkan azan untuk kami sebagaimana engkau mengumandangkan azan untuk Rasulullah saw?” Sayyidina Bilal menjawab, “Maafkan aku wahai Khalifah, aku tak kuasa mengumandangkan azan sepeninggal beliau di Madinah. Dulu setiap kali usai azan, aku pergi ke kamar beliau, aku sampaikan kepadanya, “Ash-shalat, wahai Rasulullah, sekarang bagaimana aku mengucapkannya?” Saat itu pula Sayyidina Umar memakluminya.
Baca juga; Membaca Redaksi Azan “Hayya alal Jihad” Melalui Kacamata Fikih
Tak hanya itu, pada saat ziarah tersebut, Sayyidina Bilal juga sempat diciumi oleh Sayyidina al-Hasan dan Sayyidina al-Husein. Keduanya adalah para penghulu pemuda penghuni surga. Sayyidina Bilal pun memeluk keduanya sambil menangis. Ia mencium aroma kakek mereka (Rasulullah saw). Seperti yang dilakukan Khalifah Abu Bakar, Sayyidina al-Hasan dan Sayyidina al-Husein memintanya untuk mengumandangkan azan. Namun kali ini Sayyidina Bilal tak kuasa menolak permintaan. Ia lantas naik ke tempat yang biasa dipergunakan azan pada zaman Rasulullah. Ia lantas mengumandangkannya.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Suara Bilal terdengar ke penjuru Madinah.
Di saat itulah Madinah menjadi gaduh. Para penduduknya berteriak dan bersahutan di rumah masing-masing menjawab azan. “Ingatkah kalian pada suara yang pernah terdengar pada zaman Rasulullah?” Begitu Bilal mengumandangkan kalimat Asyhadu an la ilaha illallah, kaum pria keluar dari rumah masing-masing, bahkan dari pasar-pasar mereka.
Begitu terdengar lafaz Asyhadu anna Muhammadar rasulullah, para gadis dan para wanita keluar dari kamar-kamarnya. Mereka tumpah ruah ke jalan-jalan Madinah, seraya bertanya-tanya, “Apakah Rasulullah saw, diutus lagi? Apakah Rasulullah saw, diutus lagi?”
Ketika sampai pada kalimat Asyhadu anna muhammadar rasulullah, Sayyidina Bilal dipeluk oleh al-A’rabah. Akibatnya ia tak kuasa melanjutkan azan. Ia lantas turun dari tempat azan. Perawi hadis ini menyampaikan, “Madinah tidak mengetahui suatu hari yang lebih keras tangisan dan ratapannya setelah hari wafatnya Rasulullah saw, selain hari saat Sayyidina Bilal kembali mengumandangkan lafaz Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah.”
Dikisahkan oleh Al Habib Ali al-Jufri
Baca juga; Peringatan Maulid Nabi, Sarana Berukhuwah dengan Cinta