Reimajinasi Sekolah Agama

Reimajinasi Sekolah Agama

07 September 2024
112 dilihat
2 menits, 18 detik

Tsaqafah.id – Terdapat suatu kecenderungan di masyarakat modern untuk memandang skeptis terhadap institusi atau sekolah berbasis agama.

Hal ini tercermin dari pengalaman seorang pendidik di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) di Bojonegoro yang mengalami kesulitan dalam meningkatkan reputasi lembaganya, dengan asumsi bahwa sekolah tersebut kekurangan prestasi yang signifikan.

Jujur, sekolah agama, bagaimana pun, ia tetap jadi rumah dari segudang prestasi.

Legitimasi brand sekolah agama memang dapat diperkuat melalui pencapaian yang menonjol dalam bidang keagamaan, seperti Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ), Musabaqah Hifdzil Quran (MHQ), serta kompetisi sains Islam lainnya.

Baca Juga Gagasan Islam Substantif Ala Said Al Asymawi di Mesir

Namun, pertanyaan krusial yang muncul adalah: apakah potensi-potensi lain juga dikembangkan secara optimal?

Sudah saatnya institusi pendidikan berbasis agama mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif terhadap berbagai potensi peserta didiknya, mencakup seni, olahraga, musik, teknologi, bisnis, dan bidang-bidang lainnya.

Hal ini mengimplikasikan perlunya kultivasi perlakuan yang setara terhadap berbagai potensi tersebut sebagai langkah awal sebelum fokus pada pencapaian prestasi yang lebih luas.

Sebagai ilustrasi, kita dapat merujuk pada kasus Voice of Baceprot (VoB), sebuah band rock metal perempuan Indonesia pertama yang tampil di panggung internasional bersama artis-artis ternama global.

Baca Juga Membangun Ulang Peradaban: Tantangan dan Peran Pemuda Islam

Para anggota VoB merupakan alumni Madrasah Tsanawiyah (MTs) Al-Baqiyatusshalihat di Garut, telah membuktikan bahwa lembaga pendidikan berbasis agama dapat menjadi tempat berkembangnya bakat-bakat non-konvensional.

Kementerian Agama sendiri, sebagai payung madrasah telah mulai melakukan reformasi madrasah, sebagian berdasarkan rekomendasi dari tokoh agama terkemuka, khususnya KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya).

Inisiatif ini didasarkan pada premis bahwa dunia kontemporer semakin terbuka terhadap potensi, keterampilan, dan karakter yang beragam, selaras dengan aspirasi generasi muda.

Dalam konteks ini, implementasi Kurikulum Merdeka di beberapa madrasah menjadi topik yang menarik untuk dikaji. Meskipun Kurikulum Merdeka bertujuan untuk memberikan fleksibilitas dan otonomi yang lebih besar dalam proses pembelajaran, relevansinya dalam konteks madrasah perlu dipertanyakan lebih lanjut.

Baca Juga Spiritualitas dalam Berguru di Dunia Digital, Adakah?

Apakah kurikulum ini mampu mengakomodasi kekhasan madrasah yang menekankan pada pendidikan agama, sementara juga mendorong pengembangan kompetensi yang lebih luas? Bagaimana madrasah dapat menyeimbangkan antara tuntutan Kurikulum Merdeka untuk mengembangkan keterampilan abad 21 dengan kebutuhan untuk mempertahankan dan memperdalam pemahaman agama?

Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi krusial dalam mengevaluasi efektivitas dan keberlanjutan Kurikulum Merdeka di lingkungan madrasah, serta implikasinya terhadap identitas dan misi pendidikan berbasis agama.

Selain itu, perlu dicatat bahwa isu intoleransi masih prevalent di sekolah-sekolah umum, di mana pendidikan agama (khususnya Islam) seringkali diimplementasikan secara dogmatis.

Baca Juga Belajar pada Karakter Patrick Star Perspektif Agama dan Filsafat

Sebagai respons, Gus Yahya mengusulkan agar madrasah atau sekolah berbasis agama mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif dengan menerima realitas pluralisme di Indonesia, termasuk menerima peserta didik dari latar belakang agama yang berbeda.

Usulan ini terdengar utopis, tapi melihat kompleksitas kemajukan di Indonesia, dengan sebuah kasus, sekolah di daerah-daerah, payung hukum tersebut bisa jadi ruang berteduh bagi mereka yang menepi.

Ala kulli hal, meskipun inferioritas persepsi terhadap madrasah atau sekolah berbasis agama dalam hal prestasi akademik merupakan satu aspek permasalahan, fokus utama saat ini seharusnya pada pembangunan iklim pendidikan yang inklusif, yang mampu mengakomodasi dan mengembangkan beragam bakat, potensi, dan keahlian secara setara.

Pendekatan ini, saya kira, bisa menjadi langkah strategis madrasah dalam merespon tuntutan dan dinamika pendidikan di era kontemporer.

Profil Penulis
Afrizal Qosim
Afrizal Qosim
Penulis Tsaqafah.id
Kolumnis, Alumni Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga dan Santri PP Al Munawwir Krapyak.

30 Artikel

SELENGKAPNYA