Tsaqafah.id – Seminggu terakhir, sekumpulan mahasiswa dari berbagai kampus ternama di Amerika Serikat seperti Coloumbia, Yale, dan NYU melakukan unjuk rasa sebagai aksi solidaritas terhadap konflik di Gaza, sekaligus menuntut gencatan senjata permanen dan penghentian bantuan militer AS ke Israel.
Ratusan massa yang ditangkap tidak menyurutkan semangat demonstran, bahkan mereka ramai-ramai mendirikan tenda dan menginap di depan kampus.
Pada bulan November tahun lalu, kotoran hewan sebanyak satu truk ditumpahkan di halaman salah satu gerai McDonald’s di Prancis sebagai bentuk protes. Tak hanya McDonald’s di Prancis, kafe Strarbuck terbesar di Chicago juga diserang oleh para demonstran yang berteriak “shame on you”, bahkan mereka sampai mengerubungi kafe.
Sayang, ketika aksi boikot dan protes di Barat sudah sejauh itu, di negara kita orang-orang masih memperdebatkan hal-hal tidak penting, seperti apakah boikot berpengaruh atau tidak?
Baca Juga
Kenapa masih main sosmed padahal terafiliasi juga? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang lebih menunjukkan ketidakpedulian alih-alih ketidaktahuan.
Pembebasan Palestina akan selalu gagal, kebangkitan kaum muslimin akan selalu menemui jalan buntu, kembalinya muru’ah Islam di masa lalu hanyalah utopia belaka, jika kita masih menanggap permasalahan ummat ini bukan urusan kita.
Kejayaan di masa lalu jangan dihakimi sebagai hasil usaha sebagian tokoh yang namanya tercatat dalam lembaran sejarah. Hal itulah yang membuat kita senantiasa hanya menunggu sosok messiah alih-alih mempersiapkan diri karena menganggap peran kita hanyalah minor belaka.
Kegemilangan dan kejayaan di masa lalu adalah hasil dari kumpulan ide, kerja keras, kontribusi, dan keikhlasan dari berbagai kalangan. Karena tidak mungkin ada Shalahuddin al-Ayyubi, Muhammad al-Fatih, Imam Syafi’i, dan nama mentereng lainnya, kalau bukan karena pengaruh orang-orang di sekeliling mereka.
Baca Juga Semangka dan Suara Free Palestina
Karena seperti yang kita tahu, lingkungan dan pergaulan adalah komponen krusial dalam pembentukan karakter seseorang, di samping keluarga dan pendidikan yang dia peroleh.
Hal inilah yang menjadi topik utama dalam buku tulisan Dr. Majid Irsan al-Kilani “Hakadza dzahara jil shalahuddin wa hakadza ‘adat al-quds” yang diterjemahkan oleh ustadz Asep Sobari dengan judul “Model Kebangkitan Umat Islam”.
Di buku itu dijelaskan peran serta konstribusi dari berbagai bidang terutama pendidikan dalam menciptakan generasi Shalahuddin yang kuat dan gemilang itu.
Sejatinya setiap individu muslim memikul kewajiban untuk mewarisi perjuangan nabi dan para sahabat serta orang-orang saleh di masa lalu untuk menegakkan ajaran Islam rahmatan lil ‘alamin, serta melawan segala bentuk kezaliman, kekerasan, dan ketidakadilan di dunia. Dengan apapun bentuknya dan sebesar apapun dampaknya.
Baca Juga Keistimewaan Masjid Al Aqsa
Peran pemuda tentu lebih diharapkan, karena kedepannya tantangan umat Islam yang datang dari segala penjuru akan lebih besar.
Kita lihat hari ini sesama muslim masih saja mempersekusi satu sama lain hanya karena perbedaan pandangan. Padahal masih banyak dari muslim lain yang masih berkutik dengan kemiskinan dan kebodohan.
Majelis dan kajian-kajian keagamaan masih saja banyak peminat, tapi ajaran agama terus menjauh dari ruh masyarakat. Bahkan tercatat lebih dari 70% umat Islam di Indonesia masih buta Al-Qur’an. Gema shalawat terus mengudara dengan jamaah yang selalu ramai. Tapi miris, masih banyak yang ikut shalawatan itu tidak benar-benar mengenal nabinya.
Masih banyak PR kita sebagai pemuda muslim. Di luar sana, anak muda seumuran kita tengah bertaruh nyawa dengan berbagai bom dan senjata demi mempertahankan rumah dan kehormatan kaumnya. Ada pula yang tengah menahan kantuk dan lelah.
Baca Juga
- Menjadi Pemuda Islam Masa Kini
- Pengajian Gus Baha: Bertemu Pemuda Ahli Zina yang Hendak Masuk Islam, Bagaimana Reaksi Nabi?
Matanya masih memelototi buku tebal, sementara tangannya sibuk mencatat. Sadar bahwa fisiknya tak mampu ikut berjuang, pikiran dan ilmu yang ia miliki dihibahkan habis-habisan untuk membela agamanya. Karena selain perang fisik, ada yang namanya gazwul fikr, perang pemikiran melawan narasi dan propaganda serta kesesatan yang ditimbulkan oleh musuh-musuh Islam.
Mereka, saudara-saudara kita tengah berada di medan perjuangan, apapun bentuknya. Sementara kita di sini masih saja sibuk dengan percintaan, galau-galauan, dan hal tak berguna lainnya. Mungkin dari mereka sekarang ada yang baru kehilangan keluarganya, ada yang jatuh sakit akibat terlalu keras belajar, ada pula yang mendekam di jeruji besi akibat ikut intifadhah. Kenapa kita tidak ambil bagian dari perjuangan itu?
Kita tak harus saling mengenal untuk saling mencintai. Tak harus bertemu dulu untuk saling mendoakan. Tapi percayalah, di suatu tempat nun jauh di sana, ada orang-orang seusia kitadengan cita-cita yang sama, kerinduan akan perubahan yang sama, tengah berjuang dengan jalannya sendiri. Kita tak harus saling tau untuk saling percayabahwa perubahan itu ada di tangan kita.