Tsaqafah.id Pemuda sebagai Agen of Change selalu dituntut untuk aktif dan kreatif. Pemuda diharapkan membawa kehidupan yang lebih baik secara dinamis dan modern. Dengan bekal pengetahuan dan pendidikan yang lebih berkembang, para pemuda diharapkan membawa energi positif di segala aspek kehidupan. Mereka harus bisa membedakan mana yang haq dan bathil, sehingga memiliki jiwa moralitas yang tinggi untuk bersosial di masyarakat.
Jika berbicara mengenai “Moralitas yang tinggi” tentunya kita akan berbicara mengenai akhlak. Akhlak adalah suatu ukuran harga diri seseorang dalam hidupnya, karena akhlak yang baik akan menuju pada kepribadian yang baik dan implikasinya adalah kemuliaan hidup. Semua orang dan dari manapun asalnya, yang paling mulia adalah yang paling baik akhlaknya. Hal ini didasari oleh sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam dalam hadistnya “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya” (HR. Tirmidzi).
Namun, dalam prakteknya sekarang, banyak pemuda yang sudah menurun moralitasnya. Hal ini bisa dilihat dari pudarnya akan kesadaran kebertuhanan (god consciousness) di kalangan pemuda. Kuatnya arus globalisasi yang menyebabkan banyak budaya masuk ke kalangan pemuda kita menjadi salah satu penyebabnya. Banyak pemuda kita saat ini dengan sengaja masuk ke lingkungan pergaulan yang kurang baik demi sebuah trend semata. Sangat lumrah kita saksikan banyak pemuda yang meremehkan shalat berjamaah di masjid. Bahkan sangat mudah kita temukan para pemuda yang membaca Al-Qur’an saja belum bisa.
Baca juga; Memahami Perilaku Konsumtif Muslim Milenial dan Bagaimana Menyikapinya
Hilangnya pemahaman terhadap konsep nilai keislaman menjadi inti permasalahan di kalangan pemuda, yang apabila dibiarkan akan memberikan efek negatif bagi Islam itu sendiri. Kelemahan dalam memahami konsep keislaman di kalangan pemuda antara lain berkenaan dengan nash-nash ajaran Islam, Bahasa Arab, dan praktek beragama yang kurang tepat dalam kehidupan yang diperparah dengan derasnya serangan budaya asing yang bertentangan dengan ajaran Islam dan datang saat Budaya Islam itu sendiri sedang melemah.
Pemahaman konsep keislaman diibaratkan seperti batu bata yang digunakan untuk membangun sebuah rumah. Tentunya batu bata yang diperlukan adalah batu bata berkualitas tinggi, bentuknya rapi dan simetris serta tidak mudah rapuh untuk membangun dinding yang kokoh. Seperti inilah kiranya pemahaman konsep keislaman yang harus ada pada diri setiap pemuda Islam masa kini, pemahaman yang seperti ini akan menjadi penjaga keimanan pada setiap diri pemuda Islam. Disinilah letak kekuatan akan pemahaman konsep nilai keislaman yang seharusnya dipertahankan oleh para pemuda Islam.
Sudah seharusnya bagi para pemuda untuk kembali ke Al-Qur’an. Secara formal Al-Qur’an sudah diimani dan disepakati sebagai kitab terlengkap dan berlaku sepanjang masa, namun faktanya sekarang Al-Qur’an sudah diabaikan sebagai solusi permasalahan umat. Padahal jika Al-Qur’an menjadi pegangan utama, tentu krisis moral bisa teratasi.
Ibarat membeli motor, maka kita akan mendapatkan buku panduan mengenai tatacara penggunaan sepeda motor tersebut agar aman dan nyaman dalam berkendara. Begitu juga Allah subhanahu wata’ala sudah memberikan Al-Qur’an sebagai kaidah dan pedoman hidup manusia. Al-Qur’an adalah pedoman berisikan nilai-nilai yang mengatur semua kehidupan manusia, agar tidak ada keributan dan kekacauan dalam beragama dan bermasyarakat.
Al-Quran merupakan pedoman hidup umat manusia, di samping juga sebagai landasan utama teologi Islam (tauhid), hukum Islam (fikih) dan etika Islam (akhlak). Secara historis, Al-Qur’an diturunkan dari bait al-Izzah (langit bumi) kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak dalam satu waktu sekaligus, melainkan diturunkan secara bertahap.
Baca juga; Berjumpa dengan Generasi Muslim Indonesia: Moderen, Relijius, Makmur, dan Universal
Dalam catatan sejarah, turunnya Al-Qur’an mencapai tahap paripurna pada 10 Hijriyah, tepatnya saat Nabi Muhammad saw melakukan wukuf di Arafah dalam Haji Wada’. Kurang lebih terjemahan ayat yang terakhir diturunnkan berbunyi: “Hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama kalian”.
Setelah turunnya ayat tersebut, tidak ada lagi ayat yang turun hingga wafatnya Rasulullah satu tahun setelahnya, yakni pada 12 Rabi’ul Awwal pada 11 Hijriyah. Tak pelak, tidak adanya ayat lagi yang turun, dibarengi dengan problematika kehidupan yang terus bermunculan, menjadi tantangan umat muslim pasca wafatnya Rasulullah.
Problematika kehidupan di tengah masyarakat terus bermunculan seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman. Dimana setiap perubahan yang terjadi, membawa serta perubahan pemahaman orang terhadap banyak hal, termasuk di antaranya alam, manusia, Al-Qur’an bahkan Tuhan. Tak ayal, periode sejarah tertentu pasti berbeda dengan tuntunan pada penggalan sejarah di periode lain.
Penggalan sejarah masa Rasulullah berbeda dengan penggalan sejarah teologi Mu’tazilah dan Asy’ariah; penggal sejarah teologi Mu’tazilah dan Asy’ariah berbeda dari era Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah; belum lagi jika dibandingkan dengan priode sejarah Muhammad Abduh dan priode modern berikut derasnya arus informasi yang sangat cepat seperti sekarang.
Baca juga; Kisah Perjalanan Abu Bakar As Syibli Bersama Pemuda Nasrani Ke Tanah Suci
Problem tersebut di atas, sebagaimana problem yang muncul pada masa Nabi, juga membutuhkan solusi yang bersumber dari Al-Qur’an, mengingat, bahwa syumulul Al-Qur’an (cakupan Al-Qur’an) adalah multidimensional; hudan li al-nas (petunjuk bagi manusia).
Kita tidak dapat hanya membatasi Al-Qur’an bagi penggal sejarah tertentu saja. Hadirnya Al-Qur’an sebagai problem resolver 14 abad sebelumnya, tidak lantas ia purna tugas, karena Al-Qur’an tidak hanya diperuntukan kepada orang-orang yang hidup di kurun waktu diwahyukannya, tetapi juga bagi seluruh umat manusia setelahnya hingga kiamat.
Jika apa-apa yang kita lakukan di kehidupan sudah selaras dengan yang dijelaskan dalam Al-Qur’an, maka Allah akan membukakan jalan bagi kita dalam berjuang. Apa yang kita perjuangkan? Jawabannya adalah membumikan nila-nilai keislaman. Maka sudah seharusnya bagi Pemuda Islam untuk mengambil peran aktif dalam membumikan nilai-nilai keislaman yang ada dalam Al-Qur’an di era ini. Karena sekalipun Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam telah wafat, tetapi misi kenabian belum selesai. Kitalah sebagai pemuda yang harus melanjutkan misi tersebut, yaitu membumikan nilai-nilai keislaman.
Baca juga; Mukjizat dalam al-Qur’an (1): Kemenangan Kerajaan Romawi atas Persia