Tsaqafah.id – Pasca Reformasi, ruang-ruang publik yang dahulu tertutup rapat kini terbuka lebar. Masyarakat Indonesia telah terbebas dari belenggu rezim Orde Baru yang selama puluhan tahun membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi. Kebebasan ini dirasakan oleh seluruh elemen masyarakat, termasuk kaum santri, yang sebelumnya sering kali dipinggirkan atau dianggap tidak memiliki kontribusi signifikan dalam kehidupan publik.
Kini, kaum santri mulai menampakkan pengaruh dan hegemoninya dalam berbagai ruang sosial. Kelompok-kelompok pengajian tumbuh subur, buku-buku keagamaan beredar luas, tabligh akbar menjamur di berbagai daerah, dan istilah baru seperti majelisan muncul untuk menggambarkan acara salawatan besar-besaran yang menyedot perhatian ribuan, bahkan puluhan ribu orang. Ini adalah fenomena yang patut diapresiasi, karena dakwah Islam kini lebih meluas dan inklusif, menjangkau berbagai lapisan masyarakat.
Event keagamaan yang sebelumnya eksklusif bagi kalangan santri kini terbuka bagi siapa saja, termasuk mereka yang berlatar belakang budaya yang berbeda. Jangankan kaum abangan, turis bule saja beberapa kali pernah nyasar ke acara salawatan.
Baca Juga Melulu Bicara Azab, Da’i Tersohor itu Dakwah atau Di’ayah Sih?
Namun, di balik perubahan yang tampak positif ini, terdapat tantangan besar yang dihadapi kaum santri, khususnya kelompok tradisional. Ketika kelompok-kelompok Islam lain banyak melahirkan tokoh-tokoh publik dengan kompetensi mumpuni, kaum tradisional sepertinya lebih permisif dalam memberikan ruang publiknya kepada figur-figur yang kurang kompeten. Akibatnya, beberapa ruang publik yang seharusnya menjadi tempat memperkuat citra dan kontribusi kaum santri justru menjadi bahan olok-olok, baik di dunia nyata maupun maya.
Jika melihat sosok-sosok ulama yang diproduksi pesantren-pesantren besar di Indonesia, khususnya di pulau Jawa (dimana saya tumbuh dan besar), kaum santri sebenarnya tidak kekurangan tokoh yang mumpuni. Tokoh-tokoh ini sebenarnya lebih layak memenuhi ruang-ruang publik kaum santri. Mereka memiliki kedalaman ilmu, kapasitas intelektual, dan pengalaman spiritual yang sangat mumpuni. Lalu, mengapa ruang-ruang publik kaum santri ini justru lebih sering dikuasai oleh pihak-pihak yang tidak layak tampil?
Perkiraan saya, salah satu penyebabnya adalah adanya ketidaksesuaian ekspektasi antara provider dakwah (pendakwah atau penyelenggara event dakwah) dan audiens mereka. Pada masa ini, popularitas di media sosial yang lebih mudah diakses, sering kali dipandang “lebih mulia”daripada kompetensi yang tidak kasat mata.
Baca Juga Pendidikan sebagai Medan Jihad Gen Z
Figur-figur dengan kemampuan retorika sederhanadan memiliki daya tarik entertainment, cenderung lebih mudah mendapatkan panggung dibandingkan ulama yang memiliki keilmuan mumpuni tetapi mungkin kurang dikenal atau tidak tampil “menjual” bagi audiens. Walhasil, seorang yang biasa-biasa saja bisa tampak luar biasa asalkan di-branding dan dipublikasikan secara masif.
Pola konsumsi informasi masyarakat yang bergeser juga berkontribusi memunculkan sosok-sosok wagu ini. Tidak bisa dipungkiri jika audiens dakwah lebih memiliki kecenderunganmencari konten-konten keagamaan yang ringan, instan, dan mudah dicerna. Padahal, ada sisi kualitas yang dikorbankan.
Sayangnya, orang-orang yang menjadi audiens seperti kita ini kadang juga ndak ngerti betul kualitas ke-ulama-an yang sebenarnya itu seperti apa. Akibatnya, ruang publik kaum santri tidak lagi dipenuhi oleh diskusi-diskusi relijius yang substantif, melainkan hanya konten hiburan yang mambu-mambu (berbau) agama saja.
Baca Juga Menyoal Miras hingga Penusukan Santri di Jogja
Mau bagaimana lagi, wong audiensnya mengharapkan hiburan yang bisa meng-entertain mereka, ya muballigh yang laku pasti yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Ini mirip dengan prinsip sederhana yang menyebutkan bahwa jika demand meningkat, maka supply juga meningkat. Padahal, konsep ini ndak bisa secara mutlak diaplikasikan dalam konteks ini. Seharusnya para pendakwah-lah yang men-setting selera audiensnya, bukan malah sebaliknya. Dimana ada sumur, ember lah yang mendatanginya.
Suatu waktu, saya pernah mendengarkan sebuah pengajian ketika sedang mengemudi. Pengajian berdurasi lebih dari satu jam itu, sama sekali tidak nyenggol ayat al-Qur’an dan hadis Nabi Saw. Konten Arabnya mentok hanya di opening saja, sisanya full guyon dan gojlokan. Bahkan tidak cukup sekali dua kali disisipi dengan umpatan-umpatan yang –menurut saya– ndakpatut masuk dalam konten pengajian. Kalau memang jenis pengajian seperti ini yang selalu muncul merepresentasikan pengajian kaum santri tradisionalis, mbok wes mending nonton Stand-Up Comedy saja!
Betul bahwa humor adalah bumbu-bumbu dakwah agar audiens tidak mudah bosan. Tapi yang namanya bumbu itu ya sekali-sekali saja. Ndak ada orang yang memasak hidangan hanya bermodalkan garam. Pasti ada bahan baku utamanya, dengan beberapa bumbu pendukungnya. Dengan begini, hidangan jadi enak. Kalau isinya bumbu tok, enaknya dari mana?
Sebagaimana terdapat dalam sebuah syair:
أفدْ طبعَكَ المكدودَ بالجدِّ راحَةٌ # يَجُمُّ وَعَلِّلهُ بِشَيءٍ من المَزحِ
ولكِنْ إذا أعطيْته المَزحَ فلْيَكُنْ # بِمقدارِ ما تُعطي الطَّعامَ مِنَ المِلحِ
Terjemah bebasnya kira-kira begini:
“Berikanlah jeda bagi jiwamu yang lelah oleh pekerjaan berat, dan hiburlah ia (jiwa)dengan sedikit canda. Namun jika engkau menghiburnya dengan canda, maka berikan dengan takaran secukupnya, seperti memberi garam pada makanan.”
Baca Juga Belajar Menghadapi Kenyataan Pahit dari Nabi Ayub As
Nabi Muhammad Saw pun kadang-kadang juga bercanda ketika sedang dawuh. Tapi, bercandanya Nabi Saw itu elegan. Beliau bahkan bisa bercanda tanpa harus berbohong, merendahkan, dan mengolok-olok orang lain. Hal ini disebutkan oleh Syaikh ‘Abdullāh ibn Sa’īd al-Laḥjī dalam kitab Muntahā al-Sūl ‘Alā Wasā’il al-Wuṣūl ilā Syamā’il al-Rasūl. Syaikh al-Laḥjī juga menukil ungkapan para salaf yang menyebutkan bahwa Nabi Saw memiliki wibawa yang agung, karena itu beliau berinteraksi dengan orang-orang melalui candaan, keramahan, serta wajah yang ceria.
Dalam sebuah riwayat yang bersumber dari Sayyidah ‘Ā’isyah menyebutkan bahwa Nabi Saw biasa bercanda, dan beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak akan menghukum orang yang bercanda dengan jujur dalam candanya.” Namun, tidak sepantasnya bercanda dilakukan secara terus-menerus, karena hal itu dapat menimbulkan banyak tertawa, dan banyak tertawa menyebabkan hati menjadi keras, serta dapat memalingkan seseorang dari mengingat Allah Swt dan berpikir tentang hal-hal yang penting dalam agama.
Bahkan, seringkali bercanda yang berlebihan berujung pada menyakiti orang lain, sehingga justru dapat menimbulkan kebencian dan menghilangkan kewibawaan. Oleh karena itu, berlebihan dalam bercanda adalah sesuatu yang dilarang. Adapun bercanda yang diperbolehkan adalah yang bebas dari hal-hal tersebut, bahkan jika tujuannya adalah untuk menyenangkan hati lawan bicara dan membuatnya merasa nyaman – seperti yang dilakukan oleh Nabi Saw sesekali – maka hal itu adalah sunnah.
Jadi, inilah parameter yang seharusnya kita gunakan untuk membentuk demand dakwah yang sehat. Seandainya ekspektasi kita sebagai audiens membaik dengan mengikuti koridor ini, saya rasa para muballigh yang kurang kompeten itu ndak akan laku lagi.
Selain itu, kaum santri sebaiknya juga ikut urun untuk mengisi ruang-ruang publik ini dengan memperkenalkan ulama-ulama yang kompeten kepada masyarakat umum dan lebih berhati-hati lagi dalam men-share potongan-potongan video pengajian yang hanya menampilkan lelucon yang tidak lucu. Jika hal-hal seperti ini terus diabaikan, sepertinya akan ada krisis besar di ruang publik kaum santri. Atau jangan-jangan kita sudah mengalami krisis itu? Allāh al-Musta’ān.