Abah Hilmy: Rindu, Sorogan, dan Bandongan

Abah Hilmy: Rindu, Sorogan, dan Bandongan

03 Desember 2020
433 dilihat
4 menits, 41 detik

Tsaqafah.id – Tepat pada hari Kamis, 3 Desember 2020, Abah Hilmy berulang tahun ke-49. Status WA dari santri-santri Krapyak, baik alumni yang masih di Krapyak maupun tidak, serentak berisi ucapan selamat ulang tahun. Beberapa di antara mereka mengunggah foto berdua dengan beliau; foto ketika lomba, upacara, seminar, sorogan, dan lain sebagainya. Satu dua berisi kerinduan kepada beliau, terutama tentang sorogan.

Abah Hilmy, begitulah kami memanggil beliau Dr. KH. Hilmy Muhammad Hasbullah, putra dari KH. Hasbullah Abdusyakur yang merupakan menantu dari KH. Ali Maksum. Rata-rata pengasuh Krapyak kami panggil dengan panggilan ‘Abah’, terkadang dengan ‘Pak’ ketika berada di madrasah. Panggilan Abah terasa dekat dan tanpa sekat. Barangkali Abah Hilmy adalah salah satu pengasuh yang paling dekat dengan para santri sehingga sosok beliau meninggalkan banyak kerinduan bagi para alumni.

Sebagai putra sulung dari 4 bersaudara, Abah Hilmy tentu memiliki ketegasan sendiri dalam mengajar. Menurut saya sorogan (membaca kitab kuning di hadapan guru) dengan Abah Hilmy yang paling membuat deg-degan karena ketelitian beliau saat menyimak.

Bagaimana tidak, sebelum sorogan dengan beliau, kami harus menyiapkan dua hal, kitab yang di-sorogan-kan dan Shorof. Kitab yang dibaca tiap santri bervariasi, tergantung kadar kemampuan masing-masing, dimulai dari yang dasar kemudian terus meningkat. Dulu saya memulai dengan Jurumiyyah. Ada pula yang memulai dengan Safinatun Najah atau Taqrib. Shorof pun begitu, dimulai dari fi’il tsulatsi mujarrod kemudian mazid sampai selesai, i’lal, i’rob, hingga kaidah-kaidah Nahwu.

Tidak semua guru sorogan seperti beliau. Bagi santri putri, sorogan dengan Abah Hilmy merupakan sorogan tambahan di luar jadwal sorogan yang ada. Kitab yang dibaca disamaratakan untuk satu angkatan, Khulashoh Nurul Yaqin saat kelas 11 dan Taqrib saat kelas 12. Hanya sorogan dengan Abah Hilmy yang berjenjang dan berkelanjutan, serta sesuai dengan kemampuan masing-masing santri. Selain dengan beliau pun tidak ada sorogan yang juga hafalan Shorof dengan wazan yang berjenjang. Saat kelas 12 sorogan juga disertai hafalan Shorof, namun lafaznya diambil dari fasl yang kami baca sehingga tidak urut tingkatannya.

Baca Juga : Gus Baha: Keistimewaan Bahasa dan Sanad al-Qur’an

Awal-awal mulai sorogan, kami akan diberi semacam ‘pengantar’. Kami harus menulis ulang kitabnya di buku tulis tanpa harakat. Jika tidak tau harakat dan/atau artinya boleh ditulis pula di buku, lama-kelamaan akan berkurang sebab semakin paham harakat dan artinya. Membaca kitab berikut dengan makna pegon-nya tidak boleh dengan hafalan, maknanya harus dengan bahasa sendiri. Artinya, kami harus paham apa yang dibaca, mengapa dibaca demikian untuk kemudian menjelaskannya. “Lek rung iso ki diharakati, ra diapalke,” begitu kira-kira perkataan Abah Hilmy. Dan memang ketika orang membaca berdasarkan hafalan, bahasanya akan terdengar kaku dan wagu. Bagi yang sudah dianggap bisa, makna pegon tidak lagi perlu dibaca. Cukup membaca bahasa Arabnya saja. Benar atau salahnya akan dilihat dari intonasi membaca, apakah pas berhenti di koma/titik, apakah kalimat tanya, dsb.

Sementara ilmu Shorof hampir tidak ada bedanya dengan di madrasah. Abah Hilmy akan menuliskan sebuah kata yang akan kami tasrif lughowi kemudian kami setorkan secara hafalan/bil hifdhi usai menjelaskan kitab. Bedanya dengan sorogan, Shorof di madrasah tidak melulu hafalan, ada materi-materi lain pula. Sebenarnya hafalan Shorof mudah saja, polanya akan sama untuk setiap lafadz. Namun Abah Hilmy sering memberikan PR Shorof yang hurufnya mirip-mirip, seperti رأى dan أرى. Betapa mungkinnya terbolak-balik ketika setoran. Atau lafadz إستثنى yang mudah ketika ditasrif istilahi (ke samping) tapi belepotan ketika ditasrif lughowi (ke bawah).

Pada dasarnya, sorogan merupakan perkara gampang-gampang susah. Tidak cukup dengan bisa Nahwu Shorof, harus telaten, teliti, dan titen pula. “Ayo to, Nakk, sek tenanan,” adalah kata-kata yang sering terucap dari mulut beliau ketika seseorang berulang kali salah. “Kowe ki neng kene ra apal Shorof ra payu.” Ya bagaimana tidak? Shorof Krapyak yang lahir di Krapyak masa alumni Krapyak tidak bisa? Membacanya terbata-bata? Sudah pasti akan ditegur berkali-kali. Hanya cukup beliau bergumam “Hmm” atau “Huss” saja sudah membuat kami sadar ada yang salah, kemudian terdiam berpikir yang benar apa.

Tegas dan Mengayomi

Ketegasan beliau tidak menjadikan siapapun kagol, alias tidak mau sorogan lagi. Berulang kali dimarahi sebab salah-salah, justru memantik kami untuk lebih semangat berusaha untuk benar. ‘Tantangan’ dari sorogan ini selalu dalam taraf yang membuat kami penasaran, bukan menyerah. Ada dua orang temanku, seangkatan dan adik kelas, tiap sorogan tidak lepas dari teguran Abah Hilmy karena membacanya salah-salah. Namun dia biasa saja, tetap cengengesan, melanjutkan bacaannya, dan besoknya terulang kembali.

Pernah suatu ketika, seorang teman yang kuanggap paling pintar belum sempat mutholaah sebelum maju. Tak pelak, ia tidak lancar dan disalahkan Abah Hilmy berkali-kali hingga ditanya, “Hari ini ada apa yaa? Belum nderes yaa?” Kejadian itu membuatnya bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan seperti itu lagi, sejak itu ia selalu lancar. Setiap kali hendak menyiapkan sorogan, saya tidak pernah lepas dari ucapan, “Artinya apaa ini? Hah, bacanya gimana? Ya Allah, maksdunya apa sih huhu.” Namun setelah itu, saya berangkat sorogan lagi, lagi, dan lagi.

Baca Juga: Memilih Jalan Kehidupan, Sebuah Keputusan Penuh Pertimbangan

Sayangnya, setelah menjadi DPD RI, Abah Hilmy lebih sering menghabiskan sebagian besar waktu beliau di Jakarta. Bahkan ketika masa kampanye, santri putri hampir tidak pernah sorogan. Barangkali salah satu hikmah pandemi adalah kini beliau selalu berada di Krapyak, hanya pergi sementara waktu untuk satu dua urusan. Tiap pagi rumah beliau selalu riuh rendah oleh suara santri sedang sorogan diselingi teguran “Ayo to, Ndaa, sek tenanan,“- beliau.

Selain sorogan, Abah Hilmy juga khas sekali ketika mengajar bandongan (guru membaca kitab di hadapan santri). Dulu saat kelas 11, beliau mengajar Mabadi’ Khoir Ummah (Dasar-Dasar Umat Terbaik) kemudian ats-Tsaqofah al-Islamiyyah (Kebudayaan Islam) saat kelas 12. Hikmah lain dari pandemi, beliau juga mengajar Shofwatuz Zubad dan disiarkan secara online. Biasanya beliau hanya mengajar Qosidah Burdah, yaitu selama bulan Ramadhan. Setelah Shofwatuz Zubad khatam, beliau melanjutkan dengan Manzumah Asmaul Husna.

Kata-kata khas beliau saat bandongan adalah “Gayamu dikurangi to Nda, Ndaa. Dicatet kui dicatet,” ketika melihat ada yang tidak menulis saat bandongan. Tentu saja beliau mengucapkannya diiringi tawa, tapi memang benar adanya. “Ikatlah ilmu dengan tulisan,” kata sebuah pepatah. Ya, saat bandongan berlangsung kita dapat memahaminya. Namun bertahun kemudian ketika membaca kitabnya lagi? Apakah masih bisa mengingat penjelasan-penjelasan yang disampaikan?

Abah Hilmy sering bercanda saat bandongan, membuat seisi mushola pondok terisi gelak tawa. Terkadang beliau sudah tertawa duluan sebelum sampai punch line. Kemudian kami akan ikut tertawa sebab tawa beliau menular. Beliau akan menjelaskan dengan bahasa yang mudah, contoh-contoh yang berada di sekitar, kemudian mengulanginya sebagai kesimpulan. Memudahkan siapa pun untuk mencatatnya, menyenangkan bagi siapa pun yang mendengarnya, membuat rindu siapa pun yang ingin mengulanginya. Jika Yogya terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan, maka Abah Hilmy terbuat dari rindu, sorogan, dan bandongan.

Selamat ulang tahun, Abah Hilmy. Semoga diberi umur panjang, sehat selalu. Terima kasih bertahun-tahun bimbingan dan didikannya.

Profil Penulis
Yasmeen Mumtaz
Yasmeen Mumtaz
Penulis Tsaqafah.id
Alumni MTs-MA Ali Maksum, Pondok Pesantren Krapyak yang juga mahasantri Ma’had Aly Krapyak dan mahasiswa jurusan Fisika UGM.

1 Artikel

SELENGKAPNYA