Tsaqafah.id – Al-Kindi, filsuf muslim pertama yang melopori ilmu filsafat dalam dunia Islam. Karya-karya dan pemikirannya menjadi stimulus bagi filsuf selanjutnya untuk menggeluti filsafat, dan menyempurnakannya. Ia hidup pada masa kejayaan Islam (abad 8 M), yang pada saat itu ilmu pengetahuan berkembang pesat bersama maraknya paham Mu’tazilah, yang secara konsep berpikirnya rasional dan logis.
Berdirinya bayt al-hikmah oleh pemerintahan daulah Abbasiyah di Baghdad, mendorong para cendekiawan untuk mengkaji dan mempelajari berbagai bidang ilmu. Di sinilah pusat ilmu pengetahuan di seluruh dunia berdiri gagah pada masanya, yang kemudian pada akhirnya dihancurkan oleh bangsa Mongol (1258 M). Berbagai teks-teks asing diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, termasuk teks kajian filsafat. Al-Kindi mendalami filsafat Yunani, bahkan ia yang membuat kosakata Arab filsafat yang sebelumnya berbahasa Yunani. Sehingga, banyak pemikirannya yang dipengaruhi oleh pemikiran filsuf Yunani.
Mulanya, para ulama-ulama ortodoks banyak yang melakukan penolakan terhadap ilmu filsafat. Bahkan hingga saat ini masih ada yang mengklaim bahwa filsafat adalah haram. Namun, hal itu tidak mengusik al-Kindi untuk mempelajari filsafat. Filsafat baginya adalah knowledge of truth. Baik agama maupun filsafat sama-sama mencari kebenaran. Agama berpatok pada wahyu (juga akal) dan filsafat pada rasio dengan pelacakan terlebih dahulu. Al-Kindi mencoba untuk mengharmonisasi filsafat dan Islam. Ia membantah dogma-dogma menyesatkan mengenai filsafat. Ini adalah salah satu nilai istimewa atas al-Kindi.
Argumen-argumen al-Kindi mengenai filsafatnya cenderung Aristotelian Neo-Platonis. Al-Kindi meyakini adanya sebab-sebab akan semua akibat atau realitas yang ada. Menurutnya, ada tiga dalil mengapa Tuhan itu ada. Pertama, dalil gerak; kedua,dalil keragaman; dan ketiga, dalil keteraturan.
Al-Kindi berpendapat bahwa semua yang bergerak di dunia ini, mustahil bergerak sendiri tanpa ada yang menggerakkan. Maka ia percaya bahwa setiap gerak pasti digerakkan. Begitu pula keragaman, semua keberagaman di alam semesta menurut al-Kindi pasti bermuara dan bermula dari suatu yang tunggal, yaitu Tuhan. Terakhir, argumen keteraturan. Argumen ini biasa disebut argumen teleologi atau argumen design. Ia merefleksikan alam semesta dan seisinya begitu teratur, tertata dengan apik tanpa kekurangan. Hal itu mustahil bisa terjadi tanpa ada yang mengatur. Tuhan sebagai designer dari semua desain-desain yang teratur ini.
Dari proposisi-proposisi yang dilontarkan al-Kindi tersebut, tampaknya masih sangat terlihat jelas bahwa argumennya bertumpu pada filsafat Yunani. Ia tidak menggagas argumen murni hasil pemikirannya. Di sisi lain, kelemahan filsafat al-Kindi ialah, ia tidak menjelaskan filsafatnya secara mendetail. Akan tetapi sebagai tradisi yang sama sekali baru dalam dunia Islam kala itu, al-Kindi memantik para filosof dan pemikir Islam untuk berfilsafat. Ia pantas dianugerahi gelar Bapak Filsafat Islam.
Selama hayatnya, al-Kindi telah menulis hampir 300 judul buku dari berbagai bidang ilmu. Karyanya yang paling fenomenal yaitu Falsafah al-Ula. Bahkan beberapa karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin.
Al-Kindi tidak hanya menggeluti filsafat. Ia sangat haus pengetahuan, mulai dari sastra, bahasa, ilmu hitung, kedokteran, astrologi, optik, psikologi, filsafat, logika, dan lain sebagainya. Sebelum al-Kindi belajar di Baghdad, ia habiskan masa kecilnya di Kuffah untuk menguras pengetahuan, jua menghafalkan al-Qur’an. Di daerah ini, ayah al-Kindi, Ishab ibn Shabbah, diamanatkan menjadi gubernur oleh khalifah Abbasiyah.
Atas kepintarannya, reputasi al-Kindi menjadi sangat tersohor. Ia berkawan baik dengan khalifah Abbasiyah al-Ma’mun. Al-Ma’mun juga sangat tertarik dengan filsafat. Bahkan ia dikabarkan pernah berjumpa Aristoteles dalam mimpinya. Tidak sampai di situ, al-Kindi diangkat menjadi penasehat serta guru di istana pada periode khalifah al-Mu’tashim dan al-Watsiq. Namun, pada masa kepemimpinan al-Mutawakkil, nasib al-Kindi tidak semujur tahun-tahun sebelumnya. Ia wafat di Baghdad sekitar 870-an Masehi dalam kesendirian, laiknya kematian filsuf pada umumnya.