Tsaqafah.id – Sejarah perkembangan aliran kalam dimulai sejak pristiwa tahkim yang melahirkan tiga sekte baru dalam Islam yaitu Khawarij, Syi’ah dan Murji’ah. Tiga sekte Islam tersebut dibahas dalam sebuah kajian ilmu, yaitu Ilmu Kalam.
Ada dua aliran Kalam yang sangat mendominasi pemikiran Islam dari dulu hingga sekarang, yaitu Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Mu’tazilah merupakan aliran kalam terbesar dan tertua dalam sejarah Islam. Aliran ini berdiri pada permulaan abad ke-2 Hijriyah di Basrah. Nama Mu’tazilah sendiri sebenarnya bukan berasal dari golongan Mu’tazilah, namun orang-orang dari golongan lain yang memberi nama Mu’tazilah. Orang Mu’tazilah sendiri menamai kelompoknya dengan sebutan “Ahli keadilan dan keesaan” (ahlu adli wa at-tauhid).
Adapun alasan kenapa kelompok lain menamainya dengan sebutan Mu’tazilah, karena Wasil bin Ata’ sebagai pendiri aliran ini berselisih paham dengan gurunya yaitu Hasan al-Basri, kemudian Wasil bin Ata’ memisahkan diri dari pemahaman gurunya dan mendirikan sebuah pemahaman baru. Kemudian Hasan al-Basri berkata “Wasil telah memisahkan diri dari kami”, maka semenjak itu Wasil bin Ata’ disebut “Golongan yang memisahkan diri” (Mu’tazilah).
Baca juga;
- Islam Moderat yang Asyik di Indonesia
- Syaikh Prof. Dr. Muhammad Muhanna: Pentingnya Belajar Agama Secara Metodologis
- Bisakah Kita Melerai Kekerasan dari Islam?
Sementara itu aliran Asy’ariyah lahir sebagai reaksi dari aliran Mu’tazilah. Nama Asy’ariyah diambil dari nama pendirinya yaitu Abu al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari yang lahir di Basrah pada tahun 260 Hijriyah. Al-Asy’ari pada mulanya menganut paham Mu’tazilah, ia berguru pada tokoh Mu’tazilah, yaitu Abu Hasyim Al-Jubba’i yang merupakan ayah tirinya. Al-Asy’ari menganut paham Mu’tazilah sampai pada usianya yang ke-40 tahun.
Semenjak itu ia sering merenung sendirian dan membandingkan pemikiran-pemikiran Mu’tazilah dengan pemikirannya. Tidak lama kemudian Al-Asy’ari mengumumkan di hadapan orang-orang Mu’tazilah di Basrah, bahwa ia telah meninggalkan aliran Mu’tazilah dengan menyebutkan kekurangan-kekurangannya.
Perlu diketahu bahwa aliran Asy’ariyah merupakan aliran yang berdiri di antara golongan rasionalis dan tekstualis. Al-Asy’ari sebagai pendiri dari aliran Asy’ariyah berusaha mengambil jalan tengah dari dua pemikiran yang berlawanan itu. Al-Asy’ari menyadari betul bahwa kedua paham tersebut sangat berbahaya terhadap stabilitas umat Islam waktu itu, yang bisa menghancurkan mereka kalau tidak segera diakhiri.
Ia sangat menghawatirkan al-Qur’an dan Hadis menjadi korban pemahaman aliran Mu’tazilah yang ditentangnya, karena aliran Mu’tazilah memahami Al-Qur’an dan Hadis berdasarkan pemujaan terhadap akal-pikiran. Lain hal nya dengan Mu’tazilah, Al-Asy’ari juga sangat menghawatirkan Al-Qur’an dan Hadis dipahami oleh golongan tekstualis, yang memahaminya dengan pemikiran yang sempit, sehingga dikhawatirkan umat Islam menjadi taqlid buta yang tidak dibenarkan oleh agama Islam.
Al-Asy’ari berusaha mengambil jalan tengah di antara dua pemikiran tersebut, maka terbentuklah suatu paham baru yaitu Asy’ariyah, dan ternyata paham ini dapat diterima oleh mayoritas umat Islam di Dunia termasuk Indonesia. Islam di Indonesia adalah Islam yang menganut paham Asy’ariyah atau ahlusunnah wal jama’ah.