At-Tibru al-Masbuk fi Nasihah al-Muluk:  The Ethics of Magnanimity Ulama dan Pemimpin

At-Tibru al-Masbuk fi Nasihah al-Muluk: The Ethics of Magnanimity Ulama dan Pemimpin

20 Maret 2025
120 dilihat
3 menits, 49 detik

Agama (ulama) dan pemerintahan adalah saudara kembar. Agama sebagai fondasi dan pemerintahan merupakan penjaganya. Di mana sesuatu tanpa didasari fondasi ia akan roboh, dan juga tanpa adanya penjagaan ia akan sia-sia.

Tsaqafah.id – Begitulah yang Al-Ghazali sampaikan dalam kitabnya At-Tibru al-Masbuk Fi Nasihati al-Muluk, bahwa antara ulama dan pemimpin (umara’)merupakan satu kesatuan yang tak mungkin bisa terpisah.

Kitab ini adalah salah satu karya Imam Ghazali yang dikarang khusus sebagai nasihat untuk Sultan Muhammad bin Malik Syah Als-saljuq, salah seorang penguasa keempat dari Dinasti Saljuk.

Menurut Al-Ghazali, untuk dapat merealisasikan keadilan, hendaknya para pemimpin (pemerintah) selalu merasa butuh terhadap pandangan para ulama. Nasihat-nasihatnya penting untuk didengarkan, sekaligus menjadikannya pijakan dalam memberi keputusan. Dan inilah hal yang tak dapat dielakkan dalam realitas kehidupan bernegara, agar kehidupan yang dijalankan senantiasa tidak mengguncangkan sendi-sendi agama dan moralitas.

Ibnu Khaldun seorang ulama sekaligus tokoh sosiologi Islam yang paling berpengaruh, pernah mengemukakan pendapatnya bahwa: “Relasi antara agama dan negara merupakan suatu keniscayaan, karena agama bukan hanya sekedar dogma abstrak, melainkan ajarannya harus menjadi jiwa bagi suatu negara yang terhormat.”

Menariknya, Al-Ghazali dalam kitab ini juga memberikan nasihat agar berhati-hati terhadap ulama yang mengincar duniawi, di mana mereka memuji pemerintah, serta membujuk dan mengharap apa yang ada dalam kekuasaannya, yang demikianlah adalah ulama su’ (buruk). Seakan Al-Ghazali dalam nasihatnya menyampaikan, dalam konteks kepemimpinan memang benar antara pemimpin dan ulama tidak dapat dipisahkan, akan tetapi ulama yang seperti apa, dan bagaimana, itu harus memiliki kategorinya sendiri. Sehingga kebersamaan pemimpin dan ulama tidak memberikan kerugian dalam kehidupan umat. Alih-alih menasihatinya dengan bijak justru ulama yang buruk dapat melahirkan tangisan rakyat yang terisak.

Baca Juga: Semua itu adalah Jarak

Ulama yang benar-benar ulama adalah mereka yang tidak mengharapkan apa-apa dari kekuasaan, termasuk harta melimpah dari brankas seorang pemimpin, dan ulama yang seperti itulah yang hendak pemimpin gandeng untuk dijadikan sebagai penasihat. Sebuah relasi antar ulama dan para pemimpin, dapat kita baca melalui wajah sejarah kekuasaan pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid, sosok khalifah dengan julukan Sang Petunjuk ke jalan yang benar.

Imam Syakik Al-Balkhi, seorang ulama, sufi, dan zahid, pernah menemui Khalifah Harun ar-Rasyid untuk menyampaikan sebuah nasihat. Dalam nasihatnya, Imam Syakik Al-Balkhi mengingatkan kepada sang khalifah: “Bahwa Allah telah memberimu kedudukan sebagaimana kedudukan para sahabat, hendaklah perilakumu selaras dengannya. Dan engkau telah Allah jadikan penjaga pintu dari neraka jahannam, dan hendaknya engkau mencegah seseorang untuk memasuki kedalamnya dengan memberikan pertolongan dan menegakkan keadilan. Dan ketahuilah bahwa engkau bagai sumber kehidupan yang murni, sementara para ulama bagai aliran yang mengalir. Jika sumbermu jernih, kekeruhan aliran takkan mengusikmu. Namun, jika sumbermu keruh, kejernihan aliran tak akan pernah terjadi.”

Hemat penulis, nasihat demikian meskipun telah disampaikan beberapa abad lamanya, perlu kita interpretasikan dan merealisasikannya pada masa kini dan di sini. Di mana para pemimpin hendaknya meniru sifat jujur sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq, memisahkan antara perkara yang hak dan yang batil sebagaimana sikap Umar bin Khathab, hendaknya memiliki rasa malu serta sifat mulia layaknya Utsman bin Affan, dan memiliki intelektualitas yang tinggi seperti sayyidina Ali karramallahu wajhah.

Baca Juga: Jejak Imam Bukhari: Dari Kehidupan Pribadi hingga Shahih Bukhari Kisah

Bayangkan, jika pemimpin kita kini jauh dari kata jujur, sifat malu, dan tidak dapat memisahkan antara hak dan yang batil, serta jauh dari kata intelektual. Betapa sengsaranya kita merasakan daya pukul alat kekuasaan yang mereka miliki. Sehingga mafhum betapa pentingnya peran ulama dalam kehidupan politik, untuk dapat melahirkan kekuasaan yang didasari dengan kasih sayang atau dalam bahasa Gus Ulil the ethics of magnanimity (etika kebesaran jiwa).

Selain Imam Syakik Al-Balkhi, ada pula ulama lain yang memberikan nasihat berharga kepada pemimpin, salah satunya adalah Fudhail bin Iyadh. Pada suatu malam khalifah Harun ar-Rasyid mengunjungi rumah Fudhail, lalu saat ia tiba, terdengar bacaan ayat yang dilantunkan dari dalam, yang artinya: “Apakah orang-orang yang mengerjakan kejahatan mengira bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang mengerjakan kebaikan dan amal sholeh?” (Q.S: Al-Jasiyah: 21). Dengan mendengarkan secara seksama, seketika itu sang khalifah merasa terpukul telak atas bacaan sang Fudhail.

Setelah sang khalifah memasuki rumah Fudhail, dengan mencium tangannya seraya berkata, “Sungguh celaka tanganku ini yang penuh dengan nikmat di hari kiamat kelak, jika tidak engkau selamatkan.”

Kemudian Fudhail berkata: “Wahai Amiral Mu’minin, bersiaplah untuk menjawab kepada Allah, bahwa sesungguhnya Allah telah menempatkanmu dari setiap orang muslim di atas satu persatuan (kekuasaan), dan engkau dituntut untuk berbuat adil kepada mereka.” Dengan meneteskan air mata, sang khalifah lalu memberikan beberapa dinar kepada Fudhail bin Iyadh, namun, pemberiannya tak kunjung diterima.

Baca Juga: Kenapa Kebanyakan Ulama Gemuk?

Demikianlah seorang khalifah Harun ar-Rasyid yang memimpin rakyatnya, beliau tidak pernah jauh dari seorang ulama, dengan selalu meminta nasihat-nasihatnya. Dirinya sadar masih jauh dari kata sempurna dalam kekuasaan yang dipimpinnya. Sebab beliau meyakini, seperti yang penulis sampaikan di muka, bahwa antara agama dan pemerintah bagaikan unsur senyawa yang tak dapat terpisahkan.

Maka tak heran jika Al-Ghazali, dalam karya opusnya Ihya Ulum ad-Din (505 H), menuturkan bahwa: “Rusaknya moral para rakyat tak lain karena rusaknya moral para penguasa, rusaknya moral penguasa tak lain sebab rusaknya para ulama, dan rusaknya moral seorang ulama adalah rasa cintanya terhadap dunia.”

Hal senada juga disampaikan oleh Imam Al-Mawardi dalam kitabnya Adab ad-Dunya wa ad-Din (1986) dengan mengutip dari Abdullah al-Mu’taz yang menyatakan bahwa: “Sebuah negara yang ditopang kokoh oleh agama maka ia akan abadi, dan agama yang ditopang oleh negara ia akan kuat.”

Wallahu a’lam bishowab.

Profil Penulis
Muhammad Asyrofudin
Muhammad Asyrofudin
Penulis Tsaqafah.id

8 Artikel

SELENGKAPNYA