Nabi Ayub As melewati kesulitannya dengan kesabaran yang luar biasa. Di sisi lain, Ia mengkombinasikannya dengan terus berharap kepada Allah Swt untuk menyelesaikan berbagai kesulitan yang dihadapinya.
Tsaqafah.id – Ada sebuah kisah menarik yang terdokumentasi dalam Surat al-Anbiya’ (QS. 21: 83), Allah Swt berfirman:
وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُۥٓ أَنِّى مَسَّنِىَ ٱلضُّرُّ وَأَنتَ أَرْحَمُ ٱلرَّٰحِمِينَ
Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: “(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.”
Ayat ini bercerita tentang doa Nabi Ayub As. Ia adalah salah seorang Nabi dari Bani Israil yang diberikan berbagai keistimewaan oleh Allah Swt. Disebutkan oleh Dr. Wahbah Zuhaily dalam Tafsir al-Munir bahwa selain diberikan risalah kenabian, Ia juga dikaruniai kelapangan dunia, banyaknya keturunan, dan melimpahnya harta.
Doa dalam kutipan ayat di atas diucapkan oleh Nabi Ayub As ketika Ia sedang mengalami kesulitan yang luar biasa. Selain diuji dengan sakit menahun seperti yang akrab kita dengar, Ia juga diuji dengan kematian anak-anaknya karena tertimbun reruntuhan rumah.
Begitu juga dengan kekayaan melimpahnya yang lenyap secara tiba-tiba. Disebutkan bahwa sakitnya berlangsung antara tujuh tahun hingga delapan belas tahun lamanya berdasarkan berbagai riwayat yang ada.
Baca Juga KDRT dan An-Nisa Ayat 34: Tafsir yang Berkeadilan
Ketika mendapati cobaan berat seperti itu, Nabi Ayub As berdoa kepada Allah Swt. Hal menarik dari doa yang diucapkan oleh Nabi Ayub As adalah bahwa Ia tidak denial atas apa yang menimpanya. Ia dengan sadar mengakui rasa sakit dan penderitaan yang dirasakannya. Bukan justru menganggapnya tidak ada atau berpura-pura seakan-akan rasa sakit itu tidak ada. Ia sama sekali tidak bersembunyi dari kenyataan pahit yang sedang menimpanya. Sedangkan di akhir doanya, Ia menggantungkan harapan terhadap jalan keluar dari penderitaannya kepada Allah Swt dengan mengatakan, “Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.”
Yasmin Mogahed dalam bukunya, Healing the Emptiness, menuturkan bahwa ini merupakan langkah penting menuju upaya healing (penyembuhan): mengakui luka itu sendiri, dan kemudian membawanya kepada Allah Swt untuk menyembuhkannya. Keduanya terdapat dalam doa Nabi Ayub As diatas.
Yasmin menggambarkan sebuah perumpamaan bahwa ketika seseorang melihat kegelapan malam di sekitarnya, ia tak perlu menampilkan “false positivity” dengan berpura-pura bahwa saat itu tidak gelap. Ia hanya perlu mengakui adanya kegelapan malam, namun pada saat yang sama tetap memiliki harapan dan keyakinan bahwa matahari akan terbit kembali.
Upaya seperti ini, mengakui dan menghadapi adanya masa sulit dengan jujur serta memiliki keyakinan dan harapan bahwa segala kesulitan akan hilang pada saat yang sama disebut dengan Stockdale Paradox dalam terma psikologi modern. Istilah ini diambil dari nama seorang perwira militer Amerika Serikat, James Bond Stockdale, yang ditahan dengan berbagai siksaan brutal selama tujuh tahun di Hoa Lo, Vietnam pada masa puncak perang Vietnam.
Baca Juga Pernikahan Dini Prespektif Maqashid Syariah
Stockdale menuturkan, sebagaimana didokumentasikan oleh Jim Collins dalam Good to Great, “Mereka yang berkata, ‘Kami akan keluar saat Natal.’ Kemudian Natal datang, dan pergi. Lalu mereka berkata, ‘Kami akan keluar saat Paskah.’ Paskah datang, dan berlalu. Lalu Thanksgiving, dan kemudian itu akan menjadi Natal lagi. Dan mereka meninggal karena patah hati. Ini adalah pelajaran yang sangat penting.
Anda tidak boleh bingung antara keyakinan bahwa Anda akan berhasil pada akhirnya — yang tidak boleh Anda hilangkan — dan pada saat yang sama harus menghadapi fakta-fakta paling brutal dari realitas Anda saat ini, apa pun itu.”
Hal yang mirip juga dialami oleh Viktor Frankl, seorang Yahudi yang ditahan di kamp konsentrasi Nazi selama tiga tahun dan harus menghadapi kengerian Holocaust dalam periode perang dunia kedua.
Dalam bukunya, Man’s Search for Meaning, ia berkata, “Sebagian besar pria di kamp konsentrasi percaya bahwa peluang nyata dalam hidup telah berlalu. Namun, pada kenyataannya, ada peluang dan tantangan. Seseorang bisa menjadikan pengalaman itu sebagai kemenangan, mengubah hidup menjadi kemenangan batin, atau seseorang bisa mengabaikan tantangan dan hanya hidup dalam kelumpuhan, seperti yang dilakukan sebagian besar tahanan.”
Apa yang dialami oleh Stockdale dan Frankl adalah kesulitan yang dahsyat. Pada momen-momen tersebut, keduanya tidak pernah kehilangan harapan. Di saat bersamaan, keduanya juga tidak terjebak dalam situasi penyangkalan. Justru, mereka menunjukkan keberanian untuk menghadapi kenyataan yang sedang menimpanya. Secara tidak langsung, mereka mempraktikkan apa yang telah dilakukan oleh Nabi Ayub As ketika menghadapi kenyataan pahit, ribuan tahun sebelumnya.
Baca Juga Mencintai Anak dengan Tulus: Nasehat Gus Baha
Dalam terma agama, keberanian untuk menerima dan menghadapi kenyataan sulit disebut dengan sabar. Nabi Ayub As melewati kesulitannya dengan kesabaran yang luar biasa. Di sisi lain, Ia mengkombinasikannya dengan terus berharap kepada Allah Swt untuk menyelesaikan berbagai kesulitan yang dihadapinya.
Kisah Stockdale dan Frankl berakhir dengan happy ending. Lalu bagaimana dengan kisah Nabi Ayub As? Dalam ayat selanjutnya, Allah Swt berfirman,
فَٱسْتَجَبْنَا لَهُۥ فَكَشَفْنَا مَا بِهِۦ مِن ضُرٍّ ۖ وَءَاتَيْنَٰهُ أَهْلَهُۥ وَمِثْلَهُم مَّعَهُمْ رَحْمَةً مِّنْ عِندِنَا وَذِكْرَىٰ لِلْعَٰبِدِينَ
“Maka Kami kabulkan (doa)nya, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan (Kami lipat gandakan jumlah mereka), sebagai suatu rahmat dari Kami, dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Kami.” (QS. 21: 84)
Kesabaran Nabi Ayub As juga berbuah manis. Segala yang hilang darinya dikembalikan oleh Allah Swt, bahkan melipatgandakannya. Dr. Wahbah menyebutkan bahwa Allah Swt mengganti harta, keluarga, dan anak-anaknya yang hilang, serta mengembalikan kondisi fisiknya menjadi prima lagi. Lebih dari itu, Allah Swt juga mengapresiasi kesabaran Nabi Ayub As dengan memujinya dalam ayat lain,
اِنَّا وَجَدۡنٰهُ صَابِرًا ؕ نِعۡمَ الۡعَبۡدُ ؕ اِنَّـهٗۤ اَوَّابٌ
“Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sungguh, dia sangat taat (kepada Allah).” (QS. 38: 44)
Baca Juga Ushul Fiqh (3): Mengenal Enam Hukum Taklifi
Kehidupan meniscayakan adanya kesulitan dengan variasi bentuknya, baik itu yang terasa secara fisik maupun mental. Ada kalanya kesulitan datang bertubi-tubi, dan bebannya sangat berat. Ketika menghadapi momen-momen seperti itu, kita bisa meniru apa yang dilakukan oleh Nabi Ayub As. Akui saja kesulitan itu, tidak perlu denial dan berpura-pura tidak merasakan apa-apa. Dengan mengakui kesulitan tersebut, setidaknya kita telah siap untuk menghadapinya, sambil menjaga keyakinan dan harapan bahwa ini semua akan segera berlalu.
Dr. Wahbah menyebutkan bahwa ayat dalam Surat al-Anbiya ini mengingatkan kita untuk meneladani kisah Nabi Ayub As. Agar kita bersabar seperti kesabarannya dan mendapatkan pahala seperti yang didapatkannya. Selain itu juga bertujuan agar kita tidak berputus asa dari pengampunan, rahmat, dan karunia Allah Swt. Jangan sampai kita berpikiran bahwa kita tidak akan terkena musibah atau cobaan yang tidak diinginkan. Karena dunia adalah panggung ujian dan cobaan.
Pada akhirnya, berbagai kenyataan pahit yang kita lalui adalah kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Bagaimanapun, dunia adalah ladangnya akhirat. Apa yang kita tanam di dunia hari ini, kita akan memanennya kelak di akhirat.
Oleh karenanya, kita bisa menjadikan kisah Nabi Ayub As sebagai panduan untuk merespon setiap kesulitan yang silih berganti menghampiri kita. Dengan kesabaran dan keyakinan, Allah Swt akan mengangkat kesulitan kita dan menggantinya dengan berbagai kebaikan bagi kita, di dunia dan di akhirat. Yakinlah, rahmat-Nya selalu lebih besar dari segala kesulitan yang pernah dan akan kita hadapi.