Jika menilik tafsir yang adil dan tepat pada QS. An-Nisa: 34, kita dapat mengetahui bahwa kekerasan dalam rumah tangga sangat tidak sejalan dengan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin. Islam justru secara bertahap telah berusaha merevolusi dan memberikan penghargaan terhadap hak-hak perempuan.
Tsaqafah.id – Belakangan ini, banyak sekali kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang mencuat di media. Baik dari kalangan selebriti, pejabat, hingga masyarakat biasa. KDRT seakan tidak mengenal batasan sosial dan ekonomi sehingga dapat terjadi kepada siapa saja.
Data dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa pada tahun 2023 saja, sebanyak 12.000 lebih laporan mengenai kasus KDRT telah diterima. Angka ini bisa jadi hanyalah sebagian kecil dari angka sebenarnya, dikarenakan stigma terhadap korban KDRT yang masih kental. Tak jarang KDRT masih dianggap sebagai aib keluarga yang membuat korban juga takut untuk bersuara.
Pertanyaannya, mengapa KDRT justru marak terjadi di negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia?
Penyalahgunaan Tafsir QS. An-Nisa: 34
Seringkali stigma-stigma mengenai KDRT justru dicari-cari pembenarannya. Bahkan pembenaran itu tak jarang datang dari tafsir agama yang keliru. Salah satu contoh adalah QS. An-Nisa ayat 34, yang artinya:
“Para suami adalah penanggungjawab atas para istri karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka para istri yang salehah adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah menjaga (mereka). Para istri yang kalian khawatirkan nusyuz, hendaklah kalian beri nasihat kepada mereka (klarifikasi), tinggalkanlah mereka di tempat tidur, dan (jika gagal, barulah) pukul mereka. Tetapi jika mereka menaati kalian (tidak terbukti nusyuz), maka janganlah kalian mencari-cari alasan untuk menyusahkan mereka. Sungguh, Allah Maha Tinggi lagi Maha Agung.” (QS. An-Nisa: 34)
Ayat ini seringkali ditafsirkan sebagai yang laki-laki yang merupakan pemimpin mutlak dalam rumah tangga. Juga seringkali diartikan sebagai justifikasi pembenaran laki-laki yang memukul istri dalam rangka mendidik istrinya. Sedangkan menurut Dr. Nur Rofiah, Bil, uzm., seorang pakar tafsir Al-Qur’an, untuk melihat tafsir pada suatu ayat kita harus melihat asbabun nuzul (sebab turunnya) dan realitas sosial yang terjadi pada saat sebuah ayat diturunkan.
Asbabun Nuzul dan Konteks Sosial QS. An-Nisa: 34
QS. An-Nisa: 34 turun berkenaan dengan kejadian Saad ibn al-Rabi’ yang menampar istrinya, Habibah binti Zaid, karena dianggap nusyuz. Habibah mengadu kepada Rasulullah SAW bersama ayahnya, yang menginginkan keadilan. Awalnya Rasulullah membolehkan pembalasan, tetapi setelah menerima wahyu, beliau menyarankan pendekatan yang lebih bertahap dalam menyelesaikan konflik rumah tangga, yang memuat nasihat, pemisahan tempat tidur, dan pukulan ringan sebagai langkah terakhir.
Namun, tafsir ini harus dilihat dalam konteks zaman itu, di mana perempuan masih diperlakukan sebagai bagian dari harta suami. Pada abad ke-7, perempuan sering kali diperjualbelikan, diwariskan, dan bahkan dijadikan jaminan utang. Langkah-langkah dalam QS. An-Nisa: 34 dianggap revolusioner untuk waktu itu, karena dapat membatasi kekerasan
dan kesewenang-wenangan terhadap perempuan.
Baca juga Mengapa Perempuan Jadi Pilar Utama Kemajuan Peradaban?
Tafsir yang Berkeadilan
Selain Dr. Nur Rofiah, Prof. Quraish Shihab, seorang ahli tafsir terkemuka di Indonesia, juga menekankan bahwa pukulan yang dimaksud dalam ayat ini harus dipahami sebagai tindakan yang sangat dibatasi, bahkan hampir tidak relevan dalam konteks modern.
Dalam bukunya, Tafsir Al-Mishbah, Prof. Quraish Shihab menyatakan bahwa Islam selalu mendahulukan nasihat dan perdamaian. Beliau menekankan bahwa kekerasan fisik tidak sesuai dengan ajaran Islam yang menekankan kasih sayang dan keharmonisan dalam rumah tangga.
Pandangan lain datang dari Amina Wadud, seorang cendekiawan Muslim feminis. Dalam bukunya Qur’an and Woman, Wadud menyatakan bahwa QS. An-Nisa: 34 sering disalahpahami dan seharusnya dilihat sebagai bagian dari konteks reformasi sosial di mana Islam muncul. Menurutnya, pukulan dalam ayat ini adalah langkah terakhir, dan di zaman
sekarang, ada banyak cara lain yang lebih manusiawi dan adil untuk menyelesaikan konflik
tanpa kekerasan.
Kasus KDRT di Indonesia
Sebagai salah satu contoh, pada Agustus 2024 lalu, Armor Toreador ditetapkan sebagai tersangka atas kasus KDRT terhadap istrinya. Armor menganiaya istrinya karena ketahuan menonton video pornografi. Psikiater RSIA Limijati Kota Bandung, dr. Elvine Gunawan, menyebutkan, menonton pornografi dapat meningkatkan agresivitas dan kontrol impuls yang buruk. Sehingga dengan melakukan KDRT, Armor ingin menunjukkan perilaku dominasi terhadap keluarganya. Ia bahkan tak segan melukai istri dan anak apabila sang istri tidak mau menurut.
Kasus ini menunjukkan bahwa penafsiran yang keliru mengenai kewenangan suami atas istri dapat berdampak pada kekerasan dalam rumah tangga, yang jelas bertentangan dengan ajaran Islam.
Lantas, bagaimanakah contoh Rasulullah dalam memperlakukan istrinya?
Baca juga Perempuan Berpendidikan Tinggi Bukan Hanya Untuk Anaknya
Hadis Rasulullah tentang Perilaku terhadap Istri
Nabi Muhammad SAW sendiri tidak pernah sekalipun memukul istrinya. Banyak hadis yang menunjukkan bahwa kebolehan memukul istri ini sangatlah dibatasi. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW pernah mengatakan:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى
“Sebaik-baiknya kalian adalah yang paling baik atas keluarganya. Dan saya adalah sebaik-sebaiknya kalian atas keluargaku.”
Beliau juga pernah menyatakan bahwa mereka yang memukul istri, bahkan jika dengan alasan “benar,” bukanlah laki-laki yang baik. Contoh lain dari batasan ini adalah dalam riwayat Atha’ yang bertanya kepada Ibnu Abbas tentang apa dimaksud dengan memukul yang tidak melukai, Ibnu Abbas menjawab:
السِّوَاكِ وَمِثْلِهِ
“Memukul yang tidak melukai, seperti dengan siwak atau seukurannya.” (Siwak adalah kayu kecil untuk membersihkan gigi, yang panjangnya hanya sekitar jari telunjuk).
Maka, jika menilik tafsir yang adil dan tepat pada QS. An-Nisa: 34, kita dapat mengetahui bahwa kekerasan dalam rumah tangga sangat tidak sejalan dengan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin. Islam justru secara bertahap telah berusaha merevolusi dan memberikan penghargaan terhadap hak-hak perempuan. Islam menegaskan bahwa perempuan adalah manusia yang utuh dan berhak mendapatkan perlakuan yang seadil-adilnya.
Bukankah Rasulullah SAW telah mengatakan;
اِتَّقُوا اللهَ فِـي النِّسَـاءِ، فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَـانَةِ اللهِ، وَاسْـتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ، وَلَهُنَّ عَلَيْكُـمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ.
“Bertakwalah kepada Allah dalam perihal wanita. Karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanat Allah dan dihalalkan atas kalian kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Maka hak mereka atas kalian adalah memberi nafkah dan pakaian kepada mereka dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Muslim)
Wallahu a’lam bishawab