Perempuan Berpendidikan Tinggi Bukan Hanya Untuk Anaknya

Perempuan Berpendidikan Tinggi Bukan Hanya Untuk Anaknya

23 November 2021
485 dilihat
2 menits, 25 detik

Sebuah pertanyaan klise dari masyarakat dari negara yang masih berkembang dengan sejagat problemnya—ketimpangan ekonomi, sulitnya akses pendidikan dan kesehatan, serta budaya patriarkinya: “perempuan berpendidikan tinggi, untuk apa?”

Tidak heran muncul pertanyaan demikian, lha wong tujuan berpendidikan atau sekolah sampai jenjang tinggi saja masih diperdebatkan. Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau lapangan pekerjaannya tidak tersedia luas? Kalau akhirnya ikut nguli dan jualan. Ngabis-ngabisin biaya saja. Apalagi pendidikan tinggi untuk perempuan, pasti lebih dipermasalahkan.

Sebuah jawaban yang mashur untuk pertanyaan “perempuan berpendidikan tinggi, untuk apa?” mengatakan: perempuan berpendidikan tinggi, berprestasi, bersekolah sampai jenjang tinggi, adalah untuk anaknya. Adalah agar ia dapat mendidik anaknya dengan baik.

Jawaban itu memang betul. Namun rasanya, jawaban tersebut masih sempit dan keliru.  Seakan manfaat pendidikan bagi perempuan dibatasi hanya untuk anaknya. Jika muncul pernyataan “untuk apa laki-laki berpendidikan tinggi?” Pasti jarang muncul jawaban yang sempit sekedar “untuk mendidik anaknya”.

Jawaban tersebut mengesankan, pertama, seakan-akan urusan pengasuhan anak hanya dilimpahkan pada perempuan (istri atau ibu)

 Masyarakat kita masih beranggapan pengasuhan anak adalah kodrat perempuan. Disini jika terjadi kesalahan pengasuhan pada anak, rawan sang ibu yang paling disalahkan. Padahal kodrat perempuan adalah sesuai biologisnya—hamil, melahirkan, dan menyusui. Kodrat tersebut pun harus disertai lingkungan dan kesiapan diri yang mendukung. Pengasuhan anak sendiri, adalah kodrat kedua orang tuanya—ayahnya (lelaki) dan ibunya (perempuan).

Ungkapan al umm madrasatul ula, “ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anak”, dalam buku Qira’ah Mubadalah yang ditulis KH. Faqihuddin Abdul Qadir, adalah sebuah pernyataan tentang pentingnya pendidikan bagi perempuan agar kelak sat menjadi ibu, mampu mendidik anaknya dengan baik. Di sisi lain, secara substansi, ungkapan itu berarti siapa pun yang di dekat sang anak, maka merekalah yang akan menjadi sekolah pertama bagi anak tersebut.

Dalam Islam, pendidikan dan pengasuhan anak pada praktiknya adalah tanggung jawab yang diemban ayah dan ibu. Sehingga anak tumbuh dengan psikis dan fisik lebih sehat. Nabi Muhammad pun memberi teladan turut mengasuh anak—menggendong, bermain, memberi pengajaran, dan praktik pengasuhan lainnya.

Kedua, jawaban tersebut seakan-akan melimpahkan beban kemampuan menghasilkan anak pada perempuan saja. Seakan-akan perempuan adalah hanyalah mesin penghasil anak (hanya benda).

Walaupun kodrat biologis perempuan adalah hamil dan melahirkan, tidak semestinya perempuan direduksi seputar kemampuan hamil dan melahirkan saja. Masih seputar macak, masak, manak. Masyarakat kita pun masih banyak yang menodongkan kemampuan menghasilkan anak pada istri saja. Jarang suami mendapat tekanan (berkedok perhatian) “kapan isi?” atau “kapan punya anak?”.

Perempuan—baik yang tidak memiliki anak maupun yang memiliki anak, adalah manusia seutuhnya, sebagaimana laki-laki juga manusia seutuhnya. Manusia utuh yang memiliki dimensi spiritual dan intelektual. Manusia utuh yang terdiri dari tubuh dan jiwa. Manusia utuh dengan segala kompleksitasnya.

Akhirul kalam, setiap manusia berhak memenuhi kebutuhannya—sandang, pangan, papan, juga pendidikan. Nabi pun bersabda “menuntut ilmu wajib hukumnya bagi tiap muslim dan muslimah”. Perempuan berpendidikan tinggi dan laki-laki berpendidikan tinggi adalah untuk mengembangkan bakatnya, memenuhi kebutuhan intelektualnya, membentuk diri menjadi pembelajar sejati.

Manfaat pendidikan sejatinya adalah untuk individu itu sendiri, kemudian semestinya akan meluas kemanfaatannya untuk orang lain, keluarganya, masyarakatnya, hingga bisa jadi untuk seluruh manusia dan alam semesta.

Sudah saatnya tidak mempersempit ruang gerak perempuan sebatas seputar anak, suami dan kegiatan domestik. Saatnya kita wujudkan ruang publik yang aman bagi laki-laki dan perempuan pada tiap waktu. Dan saatnya kita wujudkan kesalingan kerja sama antara suami dan istri pada karirnya, anaknya, keluarganya, dan urusan domestiknya.

Sumber gambar: Hops.id

Profil Penulis
Farida Novita Rahmah
Farida Novita Rahmah
Penulis Tsaqafah.id

1 Artikel

SELENGKAPNYA