Gus Baha: Keistimewaan Bahasa dan Sanad al-Qur’an

Gus Baha: Keistimewaan Bahasa dan Sanad al-Qur’an

02 Desember 2020
881 dilihat
3 menits, 28 detik

Tsaqafah.id – Dalam bahasa Arab, lafaz yang sama namun memiliki harakat yang berbeda akan bermakna berbeda pula. Terkadang di beberapa kondisi bisa menjadi kebalikannya. Kaidah tersebut bisa menjadi terbalik apabila tulisan dalam lafaz yang berbeda justru memiliki makna dan kedudukan yang sama.

Selaras dengan apa yang dicontohkan oleh K.H. Ahmad Bahaudin Nursalim (Gus Baha). Kata madda (مدّ) memiliki dua fiil amr yakni umdud dan imdad. Contoh yang serupa pada kata sa’ala (سأل) juga memiliki dua fiil amr yakni is`al dan sal (bertanyalah).  Kedua fiil tersebut tertulis di dalam al-Quran pada lafaz ‘sal banii isroil’ (Al Baqarah ayat 211) dan ‘was’aluhum ‘anil qoryati.... (Al-A’raf ayat 163).

Bahasa Arab dalam al-Quran selain memiliki keistimewaan dalam segi penulisan juga memiliki keistimewaan dalam ragam dialek. Tidak sedikit suku-suku yang ada dan tersebar di jazirah Arab. Hal tersebut menyebabkan pemakaian dialek di beberapa tempat berbeda pula. Selain diperlukan ilmu sejarah untuk mengetahui perkembangan dan penyebaran dialek tersebut—kaitannya dengan al-Quran—juga perlu pemahaman mengenai ilmu yang membahas Manhaj Qira’at (metode atau variasi bacaan al-Quran).

Perbedaan dialek tidak berhenti pada pelafazan atau percakapan sehari-hari saja. Namun juga mempengaruhi cara mereka dalam membaca al-Quran. Salah satu perbedaan dialek yang mashur adalah antara Bani Quraisy dan Bani Tamim. Bani Quraisy dalam pengucapan huruf hamzah terbiasa dengan menyamarkannya sedangkan Bani Tamim sebaliknya.

Baca Juga: Memahami Tafsir Cinta Menurut Syaikh Mutawalli As-Sya’rawi

Seperti kisah pada zaman Nabi Muhammad SAW, terdapat seseorang yang datang kepada beliau dan berkata ‘Ya Nabi Allah’ (wahai orang orang yang dicintai Allah) -orang ini merupakan Bani Tamim yang identik menampakkan huruf hamzah ketika berbicara.  Lalu nabi tersenyum dan berkata ‘Ana Quraisy, la yuhammiz’ (saya orang Quraisy, orang Quraisy tidak menyukai hamzah) – kalimat Ya Nabi Allah bagi Nabi saw dibaca Ya Nabiyallah.

Dikisahkan pula dalam sejarah, dua murid Imam Ashim, yaitu Imam Hafs dan Imam Syu’bah berselisih pendapat tentang sebuah lafaz yang diajarkan gurunya. Imam Syu’bah mendengar bahwa gurunya melafazkan ayat terakhir surat Al-Ikhlas dengan lafaz walam yaqul lahu kufan ahad. Sedangkan Imam Hafs merasa yakin bahwa gurunya itu membaca dengan kalimat kufuwan ahad.

Akhirnya mereka bertanya kepada Imam Ashim, lalu beliau menjawab bahwa beliau membaca al-Quran kepada Syu’bah dengan menggunakan dialek dari Anizirrun bin Hubbais dari Abdillah bin Mas’ud (Bani Hudzali). Sedangkan kepada Hafs beliau membacanya dengan menggunakan dialek dari Ali bin Abi Tholib (Bani Quraisy).

Dari pemaparan tersebut, dapat dipahami bahwa mempelajari al-Quran tidak boleh dilakukan sembarangan. Perlu adanya seorang guru yang memiliki sanad keilmuan sampai ke Rasulluah. Sanad yang mashur di Indonesia dalam penyebutannya akan menjumpai sanad al-Quran sampai pada Imam Hafs. Setelah Imam Hafs maka ada Imam Ashim, setelah itu terdapat dua imam yang masyhur disebut yakni Abdurrohman Assalam Abi Abdillah dan Ziraih bin Hubbais. Kemudian guru dari mereka yang ditulis sebagai sahabat, di antaranya yang terkenal adalah Utsman bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubaid bin Ka’ab, dan Zaid bin Tsabit.

Bila diteliti, Zaid bin Tsabit merupakan orang Anshar –tentu tidak menjumpai periode Makkah-, padahal ayat al-Quran banyak yang diturunkan di Makkah. Hal ini menjadi pertanyaan bagaimana Tsabit dapat menjadi salah satu dari rangkaian sanad al-Quran.

Baca Juga: Pesan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: Mengapa Kita Harus Selalu Berdoa ?

Menyikapi Sanad

Terkait rangkaian sanad tersebut, Gus Baha mengingatkan apabila sanad itu baiknya ditulis tapi tidak diimani. Jadi yang ditulis itu sebagai perangkat mudawam, sebab kalau diimani nanti tidak haddid tawadur, karena itu kritik ahli hadis terhadap sanad ahli qiro’ah mereka hanya menyebut satu orang yang harus dicatat, padahal sanad, khusunya al-Qur’an itu lafadnya harus mutawattir kaifiyatul ada’  (harus sesuai dengan kaidah riwayatu jamun an jamin la yumkinu tawadhu’hum ala kazib). –periwayatannya harus dari kelompok besar kepada kelompok besar yang telah bersepakat untuk tidak berbohng-. Tujuannya untuk menjaga ke-mutawatir-an al-Quran. Sehingga walaupun yang mashur tertulis riwayatnya adalah Utsman bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubaid bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit, penyebutannya tetap memakai minhum.

Sebab itu, kalau mengaji sanad, katakanlah kita menyebut Simbah Munawwir itu fardlun min afrodi dzalika al jam’i, kalau tidak berarti sanad kamu menjadi ahad. Kita tahu, bahwa “hadis ahad” itu masalah. Hadis yang baik itu yang mutawattir, dan al-Qur’an itu fauqol hadis. Baiknya, sanad itu perlu ditulis tapi tidak perlu diimani. Harus diimani apabila itu sebagai jamun an jamin/dari kelompok besar ke kelompok besar, kebetulan yang kita tahu lewat satu orang ulama. 

Dalam kesempatan ini, Gus Baha begitu gamblang menjelaskan tentang ilmu qiraat—tentunya tidak bisa dijelaskan satu per satu di sini. Sebegitu luasnya cakupan keilmuan yang dikuasai oleh Gus Baha, sehingga, secara tidak langsung, beliau berpesan untuk secara serius mendalami khazanah keilmuan Islam, terutama khazanah intelektual pesantren.

Di akhir penyampaiannya, Gus Baha mengatakan “Ya Allah, betapa hebatnya Engkau, semua lughoh yang terjadi di Arab pernah dipraktikkan di Kitab Njenengan.”  

*Tulisan ini disarikan dari pengajian Gus Baha

Profil Penulis
Afrizal Qosim
Afrizal Qosim
Penulis Tsaqafah.id
penulis lepas.

42 Artikel

SELENGKAPNYA