Narasi mengenai kewajiban istri untuk taat kepada suami telah menjadi pembicaraan yang lumrah di masyarakat. Tak hanya di pengajian keagamaan, pada obrolan warung kopi pun narasi sejenis bisa kita temukan dengan mudah.
Pun tentu tak asing di telinga kita ketika mendengar frasa ridho Allah adalah ridho suami. Dengan begitu, apakah benar istri harus taat mutlak kepada suami agar tidak menghalangi ridho Allah?
Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm., menyebutkan, pendapat yang meluas di masyarakat ini di antaranya adalah hasil tafsir misoginis mengenai ayat nusyuz pada Q.S An Nisa : 34 yang artinya;
“Para suami adalah penanggungjawab atas para istri karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka para istri yang salehah adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah menjaga (mereka). Para istri yang kalian khawatirkan nusyuz, hendaklah kalian beri nasihat kepada mereka (klarifikasi), tinggalkanlah mereka di tempat tidur, dan (jika gagal, barulah) pukul mereka. Tetapi jika mereka menaati kalian (tidak terbukti nusyuz), maka janganlah kalian mencari-cari alasan untuk menyusahkan mereka. Sungguh, Allah Maha Tinggi lagi Maha Agung.”
Ayat ini sering ditafsirkan secara diskriminatif terhadap perempuan, bahwa dalam kehidupan rumah tangga hanya suamilah yang mempunyai wewenang dan kedudukan tertinggi. Sedangkan menurut Dr. Nur Rofiah, jika melihat Al-Qur’an sebagai sistem, sudah seharusnya kita tak boleh mengesampingkan realitas sosial juga ajaran lain di dalam Al-Qur’an. Seperti halnya tauhid, akidah, dan akhlak.
Baca Juga: Substansi Makna Menutup Aurat dan Berjilbab Menurut Syekh Ash-Shobuni
Apa yang terjadi jika kita memahami Al-Qur’an tanpa memperhatikan realitas sosial?
Realitas sosial Al-Qur’an tidak pernah terlepas dari sejarah manusia secara umum. Setiap ayat yang turun memiliki targetnya masing-masing. Dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an, kita harus mengetahui proses dan tujuan ayat tersebut. Apakah ayat tersebut bertujuan untuk melestarikan sebuah tradisi, atau justru mengubah tradisi yang melekat secara perlahan pada masa jahiliyah?
Pada Q.S An Nisa ayat 34, dalam sejarahnya kedudukan perempuan pada masa itu memiliki kedudukan yang sangat rendah. Kaum yang lemah harus tunduk mutlak kepada yang kuat sebagai bentuk perlindungan. Secara umum, perempuan kala itu dianggap sebagai milik laki-laki. Perempuan bisa dijual, dihadiahkan, diwariskan, bahkan bisa dijadikan sebagai jaminan hutang. Perempuan juga tak lepas dari kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki.
Maka, apakah Q.S An Nisa : 34 datang untuk melestarikan kejahatan kepada perempuan? Atau justru memberi perlindungan kepada perempuan?
Bukankah Rasulullah SAW telah mengatakan;
اِتَّقُوا اللهَ فِـي النِّسَـاءِ، فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَـانَةِ اللهِ، وَاسْـتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ، وَلَهُنَّ عَلَيْكُـمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ.
“Bertakwalah kepada Allah dalam perihal wanita. Karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanat Allah dan dihalalkan atas kalian kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Maka hak mereka atas kalian adalah memberi nafkah dan pakaian kepada mereka dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Muslim)
Maka, mari kita lihat bagaimana Islam datang merevolusi anggapan kedudukan perempuan pada masa jahiliyah. Bermula dari perempuan yang dianggap sebagai objek kepemilikan, hingga menjadi seorang individu yang juga merupakan khalifah fil ardh. Individu yang memiliki tugas mulia untuk memberi maslahat seluas-luasnya di muka bumi.
Baca Juga: Mengenal Seluk Beluk Jilbab
Lantas, apakah Islam mengharuskan istri untuk taat kepada suaminya?
Perempuan dan laki-laki sebagai khalifah fil ardh tentu memiliki tugas yang sama – memberi kemaslahatan seluas-luasnya. Ketika perempuan dianggap sebagai objek kepemilikan layaknya harta yang selalu dikurung dan disimpan dalam rumah, bisakah ia memberi kemaslahatan seluas-luasnya?
Sudah sepatutnya status perkawinan tidak boleh menggeser tauhid yang melekat pada kita. Dalam Islam, baik laki-laki dan perempuan hanya boleh tunduk taat kepada Allah dan dilarang untuk menghamba kepada siapa pun. Maka, Islam melarang keras seorang hamba menaati seorang figur tertentu.
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam berbuat maksiat kepada sang Khaliq (Allah)” (HR. Ibnu Abi Syaibah)
Secara spesifik, Islam menilai ketaatan seorang hamba dari taqwa kepada Tuhannya. Dan hubungan baik dengan Tuhan, sudah barang pasti melahirkan hubungan baik dengan makhluk lainnya.
Dengan ini, Islam jelas memerintahkan perempuan dan laki-laki untuk berpegang teguh kepada nilai-nilai Islam alih-alih tunduk kepada sesama hamba yang lain.
Maka, asumsi yang berkembang bahwa istri yang baik adalah yang taat kepada suami dirasa kurang sesuai dengan kaidah keislaman. Istri dan suami yang baik adalah yang selalu memegang teguh nilai-nilai keislaman yang melahirkan kebaikan untuk bersama. Istri dan suami yang baik adalah yang melihat perkawinan sebagai janji kokoh kepada agama, keluarga, negara, dan Tuhannya. Istri dan suami yang baik juga adalah yang mengerti bahwa segala sesuatu yang terjadi pada perkawinan yang mengatasnamakan Allah, tentu akan dipertanggungjawabkan kepada Allah di yaumul akhir.
Wallahu a’lam bishawab