Tsaqafah.id – Sejak berakhirnya abad pertengahan, pandangan global (world view) secara perlahan berubah arah; dari orotodoksi menuju kebebasan berpikir, dari dogmatisme menuju rasionalisme, dan dari Timur-sentris menuju Barat-sentris. Dunia kemudian memasuki babak baru, Era Modern.
Modernitas sebagai sebuah arus besar peradaban dan mindset berpikir yang berdasar pada ide pencerahan (aufklarung), sebagaimana kita ketahui, telah memberi sumbangan sangat penting bagi perkembangan peradaban dunia (weltentwicklungen). Bahkan mungkin tak dapat dibantah; keyakinan akan supremasi rasio, tentang gemerlapnya sains dan teknologi, kemudian mengiringi lahirnya abad rasio (age of reason), atau era pencerahan (enlighment).
Immanuel Kant (1784), memaknai pencerahan modern sebagai jalan keluar (ausweg) manusia dari situasi ketidakdewasaan. Situasi itu, maksud Kant adalah masa suram di mana manusia selalu menggantungkan dirinya pada bimbingan di luar dirinya karena kekurangberanian menuju ketegasan (lack of resolution and courage) dalam menggunakan rasio.[i]
Dalam pembacaan Syafi’i Ma’arif (2019), modernitas merupakan buah dari gerakan Renanissance di Eropa pada abad XVI berlanjut dengan rasionalisme pada abad-abad berikutnya, dan berpuncak pada materialisme pada abad setelahnya, XX.[ii] Dari titik itulah rasio atau rasionalitas menemukan panggungnya yang otentik menjadi ‘agama baru’ di kehidupan modern. Kepercayaan yang luar biasa akan supremasi rasio itu ditunjang oleh perkembangan intelektualitas dan ilmu pengetahuan.
Secara esensi, terdapat lima poin yang menjadi unsur utama pembangunan modernitas, yaitu: humanism (fokus kepada nilai-nilai kemanusiaan), materialism (apresiasi terhadap prestasi material), individualism (penghargaan kepada hak-hak individu), rationalism (menjunjung tinggi capaian pengetahuan), dan secularism (memisahkan agama dari urusan negara). Kelima unsur tersebut menjadi semangat yang memotivasi berbagai ekspresi peradaban Barat, mulai dari sosio-politik, ekonomi, budaya, filsafat hingga teologi (Ahmad Norma Permata, 2020).[iii]
Baca Juga: Syed Hossein Nasr, Orang Tersingkir dan Arus Balik Filsafat Islam
Retrospeksi
Dalam catatan sejarah, banyak ahli mengatakan sulit untuk menentukan secara pasti kapan modernitas dimulai dan bagaimana faktor-faktor partikular yang menyertainya. Dalam asumsinya, proses kebangkitan Era Pencerahan diduga memiliki motivasi dan kecenderungan bagi para penggerak Renaissance untuk melampaui corak pemikiran Abad Tengah yang diwarnai oleh paradigma Skolastik dan ketergantungannya terhadap abad klasik, yaitu corak pemikiran Yunani dan Romawi.
Namun demikian, pada realitas yang lain, dalam narasi dialektika dengan dunia Timur, perkembangan infrasturuktur intelektual Barat tidak dapat dilepaskan dari proses sintesis pengetahuan yang telah diperoleh ilmuwan Islam sebelumnya dengan cara menerjemahkan buku-buku pengetahuan Timur ke bahasa Eropa.
Abelard of Bath ialah di antara seorang penerjemah awal yang terkenal. Pada tahun 1126, ia menerjemahkan tabel-tabel astronomi karya al-Majriti yang disandarkan kepada Musa al-Khawarizmi ke dalam bahasa Latin, demikian juga sejumlah buku-buku matematika. Selain Bath, nama lain semisal Gerard of Cremona menerjemahkan naskah al-Farghani tentang Magest karya Ptolemy, argumen-argumen al-Farabi atas pemikiran Aristoteles, Elements karya Euclides, serta karya-karya Galenus dan Hippocrates.[iv]
Cara ini serupa dengan cara ilmuwan-ilmuwan Islam dahulu ketika mulai membangun peradaban keilmuan melalui menerjemahkan literatur-literatur Yunani Kuno ke dalam bahasa Arab.
Saat itu agaknya tidak berlaku motivasi dikotomis antara ilmu yang Islami dan ilmu pengetahuan orang ‘kafir’ (non-Islami) sehingga umat Islam menjaga jarak darinya. Bahkan sebaliknya, mereka dengan tekun mempelajari berbagai bidang pengetahuan, diadaptasi (adapt) dan diadopsi (adopt), mulai dari ilmu logika, filsafat, hukum, sosial, kesusastraan dan lain sebagainya.
Dengan demikian, Barat sendiri tidak mewarisi khazanah pengetahuan Yunani kuno maupun Romawi sebagai tonggak rasionalitas dalam sejarah secara langsung, melainkan melalui orang-orang Islam. Sehingga, dapat dikatakan, peradaban Islam saat itu (the golden age) telah menjadi jembatan antara peradaban Yunani Kuno dan peradaban ilmu pengetahuan modern yang berkembang hingga kini (the modern age).
Baca Juga: Islam Moderat yang Asyik di Indonesia
Karena itu Carra de Vaux dalam pengakuannya secara jujur mengatakan dari Islamlah Barat belajar banyak hal.[v] Begitupun, Frank P. Backman (1990) dalam bukunya The Story of Invention juga mengungkapkan nada yang sama bahkan mengajak Barat berterimakasih pada ilmuwan Musim: “What a noble people were the Arabs; we are indebted to them for much knlowledge and for many inventions of great utility; and we should have still more to thank them for.”
Singkatnya, zaman modern atau pencerahan di Eropa, tidak lahir dari ruang kosong, melainkan muncul melalui tahapan dan proses determinan yang panjang dengan dunia Islam. Proses dialektika inilah, menurut Azyumardi Azra (2016), yang mendorong munculnya studi filologi bahasa Arab, yang pada gilirannya menjadi apa yang saat ini dikenal dengan ‘Orientalisme’.[vi]
Sejak setelah proses transmisi dan revolusi intelektual itulah, fajar Renaissance di Barat muncul. Lahirnya Renaissance merupakan babak baru kemajuan Barat. Alam pikiran orang-orang Eropa-Amerika tercerahkan kembali ditandai dengan munculnya era Enlightment sebagai gerakan filsafat, kekuatan rasionalitas, ideologi, politik dan sains.
Dengan menjelaskan kontribusi dan hubungan komplementaristik sejarah Islam terhadap capaian modern di atas, bukan berarti penulis ingin terjebak pada utopia romantisisme masa lalu. Tetapi, penggambaran ini lebih bertujuan untuk memetakan lanskap estafet sejarah utamanya tentang interdependensi pengetahuan yang berlangsung, berdialog dan berdialektika antara Islam dan proses Era Modern saat ini.
[i] Immanuel Kant, 1784, Answer this Question, ”What is Enlighment?”, hlm. 54. http: www.ablika.com
[ii] Syafi’i Ma’arif, Membumikan Islam (Yogyakarta: IRCiSoD, 2019), hlm. 131.
[iii] Ahmad Normaa Permata, Intiusionalisasi vs Rasionalisasi (Yogyakarta: IRCiSoD, 2020), hlm. 43.
[iv] Faisal Ismail, Islam Dinamika Dialogis Keilmuan, Kebudayaan, Dan Kemanusiaan (Yogyakarta: IRCiSoD, 2021), hlm. 226.
[v] Omar Amin Hoesin, Kultur Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 140.
[vi] Joseph White dan Sir William Muir adalah contoh klasik pemikir atau pengamat Islam yang lahir dari tradisi Orientalisme Barat. Azyumardi Azra, Transformasi Politik Islam (Jakarta: Prenadamedia, 2016), hlm. 208-210.