Ketika Ali bin Abi Thalib Menjual Selembar Kain Buat Beli Takjil Buka Bersama Keluarga

Ketika Ali bin Abi Thalib Menjual Selembar Kain Buat Beli Takjil Buka Bersama Keluarga

13 April 2021
710 dilihat
2 menits, 9 detik

Tsaqafah.id – Pada suatu senja di bulan Ramadan, Sayidina Ali, Fatimah, Hasan dan Husain sedang berkumpul di rumah untuk ngabuburit, menanti waktu berbuka. Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Ternyata al-Haris, dia merajuk mengutarakan maksud sembari mengisahkan kondisi perutnya yang belum kemasukan apa-apa selama dua hari.

Sangat bisa ditebak, rajukan al-Haris itu beralamat pada secercah harapan untuk ikut buka bersama keluarga ‘bahagia’ itu. Padahal, keluarga Sayidina Ali sendiri “belum” punya apa-apa untuk santapan buka bersama.

Usai mendengar kisah al-Haris, Sayidina Ali dan Fatimah bersipandang. Belas kasih tidak memangkas kedermawanan keluarga itu meski dengan keterbatasan-keterbatasan. Hingga akhirnya Fatimah memberikan selembar kain—hadiah dari ayahandanya yang semula dipakai untuk berlebaran—kepada Sayidina Ali untuk dijual.

Sembari menitipkan harapan, hasil dari penjualan kain itu nantinya bisa dirupakan kurma dan roti buat santapan buka bersama keluarga.

Segera Sayidina Ali mendatangi sebuah pasar dan menjajakan kain berharga itu. Tak berselang lama, kain itu laku dengan harga enam dirham. Belum juga membelikan roti, Ali didatangi fakir miskin yang meminta sedekah. Ali yang merasa kasihan, lalu memberikan enam dirham tersebut kepada si fakir yang meminta sedekah.

Baca Juga: Obati Dahaga Ngaji Ramadan di Pesantren, Alumni Krapyak Buka Kelas “#NyantriKilat”

Sayidina Ali pun memutuskan tetap pulang meski dengan tangan kosong sembari mereka-reka jawaban untuk Sayidah Fatimah, sang istri tercinta.

Berada di ujung harapan yang memilukan, secara tiba-tiba—entah dari mana—muncul seseorang dengan seekor unta mencegat Sayidina Ali. Dia menawarkan untanya itu seharga seratus dirham. Tetapi, mana mungkin Sayidina Ali sanggup membelinya?

Orang itu pun menawarkan sebuah alternatif, “Karena saya tidak bisa melakukan perjalanan lagi, tolong jualkan unta saya dengan harga berapa saja. Yang jelas, saya nanti meminta seratus dirham.”

Sekali lagi, karena kasihan, Sayidina Ali pun menyanggupi dan berangkat juga. Blok demi blok dilalui. Di tengah perjalanan, dia dicegat seseorang. Dia langsung menawar unta yang dituntun Sayidina Ali. Kemudian orang itu menawar seratus enam puluh dirham. Tak ayal, jumlah itu segera disetujui Sayidina Ali dan berlangsunglah akad jual-beli.

Sayidina Ali pun bergegas menemui pemilik unta dan memberikan hasil penjualan senilai seratus enam puluh dirham. Akan tetapi, sang pemilik unta hanya mengambil seratus dirham. Sesuai akad pertolongan di awal. Sedangkan sisanya, diberikan kepada Sayidina Ali.

Baca Juga: Kisah Ibu dari Orang-Orang yang Syahid di Medan Perang, Khansa binti Amru

Lalu Sayidina Ali menempuh perjalanan pulang dengan ‘sangu’ enam puluh dirham. Setibanya di rumah, uang itu diserahkan kepada Fatimah, sembari berkata, “Saya telah berdagang dengan Allah. Kain yang tadi kamu berikan laku enam dirham, tetapi saya sedekahkan kepada fakir peminta-minta. Dan, Allah mengganti dengan kelipatan sepuluh. Enam puluh dirham!”

Dari kisah di atas dapat kita petik secuil pelajaran, bahwa kebaikan sekecil apapun yang ditujukan guna untuk menolong sesama memuat ganjaran yang tak ternilai.

Kisah ini juga memberi arti hidup bahwa di dalam rezeki yang kita peroleh terdapat sebagian rezeki milik orang lain. Lantas, kedekatan emosional yang tersusun atas perasaan tersebut membuat kita mengerti masing-masing kebutuhan sekaligus mengerti respon orang lain terhadap kita. Migunani lan tumrepang marang liyan.

*Tulisan ini diolah dari kitab Mawaidh Ushfuriyyah.

Profil Penulis
Afrizal Qosim
Afrizal Qosim
Penulis Tsaqafah.id
Kolumnis, Alumni Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga dan Santri PP Al Munawwir Krapyak.

30 Artikel

SELENGKAPNYA