Maskulinitas dan Santriwati: Telaah Konsepsi Diri Santri Putri di Pesantren

Maskulinitas dan Santriwati: Telaah Konsepsi Diri Santri Putri di Pesantren

24 Mei 2023
332 dilihat
2 menits, 26 detik

Tsaqafah.id – Wacana kesetaraan gender dalam dunia pesantren dirasa masih bias. Peran laki-laki dan perempuan secara sadar maupun tidak masih dalam posisi yang tak beraturan.

Gender diartikan sebuah bentuk pembeda antara sifat kaum adam maupun hawa yang condong pada perilaku sehari-hari (behavioral differences) dengan melalui konstruksi secara sosial atau kultural melalui sebuah proses yang tidak dekat. (Oakley, 2001). Dapat dipahami bahwa gender berbeda dengan sex. Gender lebih fokus ke sifat atau perilaku sedangkan sex mengarah pada perbedaan jenis kelamin secara biologis baik antara laki-laki dan perempuan.

Bicara wacana gender di pesantren, menarik untuk membahas maskulinitas yang disandingkan dengan santriwati di dalam pesantren. Perempuan banyak diartikan sebagai seseorang yang memiliki posisi setelah laki-laki. Sementara itu, konsep maskulin merupakan bagian dari kajian gender, yang membicarakan gerak-gerik atau sifat kejantanan (pria), yang berarti lawan kata atau antonim dari kata feminin yang bersifat keperempuanan.

Baca juga: Perempuan dalam Diskursus Filsafat Islam

Konsep maskulin maupun feminin, bisa saja masuk pada diri seorang laki-laki maupun permpuan tanpa terkecuali,  karena dalam diri seseorang memiliki kecenderungan pada dua konsep tersebut. Konsep maskulinitas memiliki ciri keberanian, kemandirian, ketegasan, maupun ciri-ciri lainnya yang terbentuk dari dunia sosial maupun budaya. Lalu bagaimana konsep maskulinitas jika dikaitkan dengan santriwati di pesantren?

Dalam jurnal dengan judul “Dekonstruksi Gender Dalam Pesantren” (Ma’ruf, 2016) dijelaskan pemetaan pembahasan gender. Pertama, laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Allah. Kedua, laki-laki dan perempuan sebagai pemimpin dan khalifah di bumi. Ketiga, laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial (sama-sama berikrar akan keberadaan Allah ta’ala). Keempat, laki-laki dan perempuan sebagai hamba yang mempunyai tanggung jawab yangdi tangan masing-masing. Kelima, laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi meraih sebuah prestasi. Maka dari itu tidak ada pembatasan dalam hal yang terurai di atas, sehingga laki-laki dan perempuan memiliki peluang dalam memimpin.

Konsep maskulinitas secara tidak sadar banyak teraplikasikan pada diri santri putri, yang mana sifat yang dimiliki laki-laki menjadi pijakan santriwati untuk survive dan menyesuaikan diri dengan lingkungan pesantren, meskipun tidak semua santriwati memiliki sifat maskulin. Seperti halnya menjadi pemimpin, mengatasi keamanan lingkungan pondok dan sebagainya. Bagi sebagian santri putri, memiliki sifat kelaki-lakian dianggap perlu dalam keadaan tertentu.

Puji Laksono dalam jurnalnya berjudul “Konstruksi Gender di Pesantren”, berhasil memetakan pandangan santriwati terkait gender. Pertama, santriwati modernis. Kedua santriwati tradisionalis-modernis. Ketiga, santriwati tradisionalis. Dari ketiga pokok pembagian tersebut bisa dipahami bahwa tidak semua santriwati setuju dengan kesetaraan gender maupun konsep maskulin yang hadir di kalangan santriwati, berdasarkan latar belakang santriwati yang berbeda-beda.

Baca juga: Haruskah Istri Taat Kepada Suami?

Pembahasan maskulinitas yang dikaitkan dengan santriwati dalam pesantren dapat dipahami bahwa konsep maskulin bisa dibenturkan dengan segala jenis gender, baik laki-laki maupun perempuan. Meninjau pengertian gender sendiri merupakan sebuah sifat atau karakteristik baik laki-laki maupun perempuan. Begitu juga maskulinitas adalah sikap kelaki-lakian yang dapat dimiliki oleh perempuan dalam pesantren (santriwati).

Maka dalam pemetaannya, ada beberapa kategori terkait maskulinitas dan santriwati. Pertama, santriwati tradisionalis yang mana ia hanya melihat realitas perempuan yang memiliki peran seperti ibu rumah tangga, memasak di dapur dan semacamnya. Kedua, santriwati tradisionalis semi modernis, yaitu santriwati yang mempertahankan posisinya sebagai perempuan tradisionali tapi juga memiliki keinginan dalam menyetarakan, akan tetapi terbatas dan dibatasi. Ketiga, atau terakhir yakni santriwati modernis yang mana mereka ingin menyetarakan posisi perempuan seutuhnya dengan laki-laki, menilai bahwa semua pekerjaan ideal untuk lak-laki dan perempuan yang tidak mempermasalahkan pertukaran peran antara laki-laki dan perempuan. Tapi hal ini masih dalam lingkup dunia sosial atau budaya keseharian, tidak termasuk dalam pembahasan dalam konsep agama.

Profil Penulis
Muhammad Syihabuddin
Muhammad Syihabuddin
Penulis Tsaqafah.id
Seorang Takmir Mesjid dan Pembelajar

3 Artikel

SELENGKAPNYA