Tsaqafah. id – Belakangan ini, publik gempar karena video lafaz “hayya alal jihad” dalam redaksi azan. Saya tergelitik sekaligus penasaran. Apakah aksi tersebut benar secara hukum? dan bagaimana kira-kira makna jihad yang sesungguhnya mereka hendaki?
Demi membuka wacana fikih Islam yang inklusif dan progresif, sejumlah kalangan menyikapi fenomena ini dengan banyak karya tulis. Seperti artikel rekan kami Ilyas al-Zuhri berjudul “Pandangan Gus Baha terkait Seruan Jihad dalam Azan.” Dalam artikel tersebut penulis mencoba memaparkan perspektif atau tanggapan kiai muda asal Rembang itu terkait redaksi azan yang kontroversial tersebut.
Dalam kesempatan ini, kami mencoba untuk mengkaji secara sederhana, baik dalam pandangan fikih maupun substansi jihad—sebagai praksis keagamaan yang multitafsir.
Sebuah Koreksi
Pertama, azan merupakan seruan muazin ketika hendak melaksanakan sholat, baik secara munfarid (sendirian) maupun berjamaah (kolektif). Azan pertama kali pada zaman Rasulullah, dan atas intruksi langsung dari beliau. Pada saat itu, waktu sholat ditandai dengan azan dan iqamah sebagai penanda sholat akan segera dilaksanakan.
Di dalam fikih ada sebuah konsep dalil yang menopang metode menentapkan hukum (istinbath al-ahkam). Konsep dalil tersebut bermuara dari sumber hukum primer; Alquran dan hadis. Akan tetapi tidak semua nash/teks dapat masuk ke dalam ranah ijtihad yang melibatkan akal budi. Dari sini dalil terpilah menjadi dua yakni dalil yang sifatnya qat’iy (pasti) dan dzanniy (asumtif).
Baca Juga: Sikap Pesantren dalam Menangani Covid-19
Kita fardu bertindak lebih jeli dan objektif. Pasalnya dua kriteria dalil tersebut memiliki kecenderungan dan konsekuensi yang berbeda. Pada sebuah masalah yang bersumber dari dalil qathiy kelak melahirkan produk hukum yang statis. Dengan kata lain, ketetapan hukum mengacu pada tuntunan yang telah digariskan oleh pembuat dalil syar’iy (syari’). Dengan demikian tidak ada potensi sedikit pun yang mengarah pada keterlibatan rasio untuk mengambil langkah ijtihad.
Sementara dalil dzanniy alih-alih berdiri kokoh di atas prinsip ilahiahnya, ia justru membuka lebar pintu ijtihad kepada siapapun. Dalam konteks ini, tentu merujuk kepada orang yang sudah mencapai maqam mujtahid. Setidaknya ia punya kapasitas ilmu agama yang cukup dalam menyingkap kasus hukum dan solusinya. Dengan ini, harapannya masyarakat bisa memahami ijtihad dan mengamalkan secara tepat.
Berkaitan dengan ini, azan secara syariat berlandaskan pada hadis Nabi–riwayat Bukhari Muslim. Dari sini, jumhur ulama bersepakat jika dalil perintah azan beserta redaksinya bersifat qath’iy (statis). Ulama yang berpendapat demikian adalah Imam An-Nawawi. Namun ada pengecualian, tepatnya pada kalimat assholatu khoirum minannaum. Kalimat itu sengaja ditambah oleh Rasulullah sebagai pengganti (naskh;red.) kalimat “hayya ala khairil amal”. Faidah dari penggantian tersebut adalah untuk membangunkan warga yang masih tidur dan memotivasi kaum muslimin untuk melaksanakan sholat Subuh. Oleh karena itu, menambah hayya alal jihad dalam azan tidak benar secara fikih.
Salah Kaprah tentang Jihad
Kedua, kata jihad secara etimologi berarti bersungguh-sungguh. Kata jihad secara literal dapat bersanding dengan nomina yang memotret perilaku serius dan sungguh-sungguh. Sementara kata jihad secara terminologi mengacu pada praktik peperangan pada zaman awal Islam melawan musuh yang pada umumnya non-muslim.
Sementara itu, Alquran menyebut kata jihad sebanyak 41 kali dan rata-rata bermakna “perjuangan” dalam seluruh aspek kehidupan. Ada juga yang berarti perjuangan memerangi musuh (Tafsir al Kabir). Tak heran jika Gus Baha menilai fenomena azan ini sebagai ghairu muqtadlal hal (tidak sesuai konteks). Mengingat pada era ini tidak sepatutnya menggaungkan seruan jihad. Apalagi sistem pemerintahan Indonesia ini, menurut KH Afifuddin Muhajir dengan mempertimbangkan segala aspeknya merupakan negara yang tatanannya telah sesuai dengan konsep daulah dalam Islam.
Baca Juga: Menunda Pembayaran Hutang, Begini Aturannya dalam Hadis
Lebih lanjut, kiai yang saat ini menjadi dewan pengasuh PP Salafiyah Syafi’iyah ini menambahkan bahwa sistem pemerintahan dalam Islam harus memegang teguh setidaknya tiga prinsip dasar yakni kesetaraan (almusawah), keadilan (al-adalah), musyawarah (al-syura), kebebasan (al-hurriyah), dan pengawasan umat (riqabatul ummah). Faktanya, pemerintahan Indonesia telah mengakomodir prinsip tersebut dalam UUD 1945 dan Pancasila sebagai landasan berbangsa dan bernegara.
Sehingga menurut hemat penulis tidak perlu lagi sembunyi tangan menggaungkan jihad milenial dengan mengatasnamakan membela agama, malah dampaknya merusak persatuan bangsa. Alih-alih bernilai ibadah, jihad kini senilai dan identik dengan perilaku bughat (pemberontak) dan karena itu ia menjadi sumbu pemicu munculnya banyak tindakan intoleransi yang mengancam stabilitas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terlebih, Nabi Muhammad sudah mewanti-wanti , bahwa hakikat jihad adalah jihad rohani untuk melawan hawa nafsu bukan jihad fisik.