Perempuan Berkalung Sorban (2009): Menilik Kembali Perempuan di Ranah Pesantren

Perempuan Berkalung Sorban (2009): Menilik Kembali Perempuan di Ranah Pesantren

21 Mei 2022
669 dilihat
4 menits, 58 detik

“Istri jika menolak ajakan suami maka akan dilaknat malaikat”

“Hubungan dalam pernikahan harus didasarkan pada prinsip mu’asyarah bil ma’ruf (memperlakukan pasangan dengan baik)”

TSAQAFAH.ID – Kedua kutipan tersebut sama-sama bersumber dari agama, namun boleh jadi keduanya memiliki pemaknaan yang berbeda.

Film Perempuan Berkalung Sorban yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama karya Abidah El Khalieqy menunjukkan bagaimana dua pemaknaan yang berbeda bisa terjadi. Film yang dirilis pada tahun 2009 ini disutradarai oleh Hanung Bramantyo.

Film ini menceritakan kisah seorang perempuan bernama Annisa (Revalina S. Temat) yang terlahir di keluarga pesantren. Pesantren tersebut bernama “Al-Huda” yang menaungi santri-santri putri. Ayahnya seorang kiai yang dihormati dan disegani oleh para santrinya.

Hidup di lingkungan yang tradisional dengan sikap yang sangat mempertahankan tradisi yang berlaku membuat Annisa sering mempertanyakan keadilan Islam terhadap perempuan.

Hanya karena Annisa seorang perempuan ia dilarang belajar naik kuda, dilarang menjadi ketua kelas, dan ia merasa doktrin-doktrin keagamaan yang ia terima selalu menakut-nakuti dan membatasi ruang perempuan.

Seseorang yang sering kali membantu Annisa menemukan jawaban, dia adalah Lek Khudori (Oka Antara), saudara jauh Annisa namun tidak sedarah.

“Kamu harus pintar Annisa, sekolah yang bener, kamu harus lihat dunia luar, nggak cuma di balik tembok pesantren ayahmu.” Ucap Lek Khudori kepada Annisa.

Suatu hari Khudori berangkat ke Kairo-Mesir untuk kuliah. Annisa merasa kehilangan sosok yang sangat  melindunginya. Diam-diam, baik Annisa maupun Khudori saling menaruh rasa.

Baca Juga Budi Utomo: Risalah Kebangkitan Nasional Indonesia

Annisa adalah perempuan yang cerdas, kritis, dan memiliki rasa ingin tahu yang besar. Tekadnya bulat untuk kuliah. Ia mendaftar kuliah di dua tempat, Kairo dan Yogyakarta. Ia mendapat surat dari pak pos bahwa ia diterima kuliah di Yogyakarta. Annisa sangat senang dan langsung menyampaikan kabar baik tersebut pada orang tuanya.

Alih-alih direstui sang ayah untuk kuliah di Jogja, Annisa justru dijodohkan dengan seorang putra kiai, bernama Samsudin (Reza Rahadian). Annisa menerima dengan terpaksa perjodohan tersebut, namun dengan harapan setelah menikah ia diizinkan suaminya untuk kuliah.

Nasib baik  belum berpihak kepada Annisa, ternyata Samsudin hanya seorang laki-laki yang manis di awal saja. Selama berumah tangga, Annisa diperlakukan dengan kasar, ia tidak diizinkan untuk kuliah, dipaksa melakukan hubungan badan kapan pun suaminya ingin, dipaksa memenuhi hasrat seksualnya, dan apabila menolak, ia diancam dengan doktrin-doktrin agama.

Agama disalahgunakan, dijadikan tameng Samsudin untuk memenuhi nafsunya semata, bahkan sampai Samsudin melakukan poligami karena sebelum menikahi Annisa, ia telah menghamili perempuan lain yang akhirnya dijadikan istri kedua.

Annisa sangat tidak tahan dengan perlakuan Samsudin dan berharap bisa cerai darinya. Suatu hari Khudori pulang dari Mesir dan Annisa menemuinya. Annisa menceritakan penderitaannya selama hidup dengan Samsudin kepada Khudori, Khudori sangat berempati dan ingin menikahi Annisa dengan cara baik-baik, pada saat itu seujung kuku pun Khudori tidak menyentuh Annisa. Ia sangat menghormati dan memuliakan perempuan.

Namun pertemuan keduanya mengundang kesalahpahaman hingga Annisa diceraikan Samsudin dengan cara yang tidak terhormat. Setelah bercerai dari Samsudin, Annisa melanjutkan kuliah di Yogjakarta.

Ia bertekad kuat untuk hidup mandiri dan tidak bertumpu pada laki-laki. Khudori masih berusaha mencari Annisa. Hingga suatu saat Khudori mengirimi Annisa buku Pramoedya Ananta Toer berjudul Bumi Manusia, dan di suratnya terdapat kutipan:

“Jangan sebut aku perempuan sejati jika hidup hanya berkalang lelaki, tapi bukan berarti aku tidak butuh lelaki untuk aku cintai. (Nyai Ontosoroh)”

Akhirnya Annisa dan Khudori menikah.

Baca Juga Kisah Penyakit Misterius dalam Kitab Usfuriyah

Bersama Khudori, Annisa benar-benar merasa dimuliakan sebagai perempuan, pekerjaan domestik seperti mencuci, memasak, dan pekerjaan rumah lainnya dikerjakan bersama. Jika Annisa sedang tidak bisa memenuhi ajakannya, Khudori mengerti dan memahami. Pun bukan hal yang tabu jika Annisa yang meminta lebih dulu, karena bagi Khudori hubungan pernikahan harus didasarkan pada prinsip mu’asyarah bil ma’ruf (memperlakukan pasangan dengan baik).

Istri jika menolak ajakan suami maka akan mendapat laknat malaikat berangkat dari hadits Rasulullah Saw:

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا المَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu istrinya menolaknya sehingga dia (suami) melalui malam itu dalam keadaan marah, maka malaikat melaknat istrinya itu hingga subuh.”

Hadis ini tergolong shahih, namun bukan berarti kita boleh sembarangan menafsirinya. Imam Nawawi dalam Kitab “Riyadush Shalihin” menjelaskan bahwa keadaan istri yang dimaksud dalam hadis tersebut apabila tidak ada udzur syar’i. Apabila istri memiliki udzur syar’i, semisal sakit atau  udzur lainnya, maka menolak ajakan suami diperbolehkan. Cara menolaknya pun harus menggunakan cara yang santun.

Dijelaskan lebih lanjut oleh Imam Nawawi, sebagaimana hak suami atas istri, apabila suami melihat istrinya ingin terlebih dahulu, maka suami harus memenuhinya. Ini sejalan dengan prinsip mu’asyarah bil ma’ruf (memperlakukan pasangan dengan baik). Sebagaimana firman Allah Swt.

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

Dan bergaulah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (Q.S An-Nisa : 19)

Pada awal peluncurannya, film ini banyak memancing kontroversi karena berani mendobrak tradisi konservatif yang ada di pesantren. Pemaknaan-pemaknaan yang menjadikan perempuan sebagai obyek, perempuan sebagai makhluk kelas dua, perempuan hanya sebagai pelayan lelaki pada hakikatnya bukan bersumber dari spirit agama. Karena agama memandang perempuan dan lelaki setara, yang membedakan adalah tingkat ketakwaannya.

Baca Juga Memaafkan Bukan Perkara Mudah, Begini Kiat dari Abi Quraish Shihab

Pemaknaan-pemaknaan tersebut berasal dari kultur budaya dan kondisi masyarakat pada saat itu. Sementara kultur dan kondisi seiring zaman dapat berubah. Ada hal-hal yang mungkin pada zamannya relevan, tapi tidak lagi relevan jika dijadikan pegangan di zaman sekarang.

Sebagaimana disampaikan oleh Dr. (Hc) KH. Husein Muhammad (Ketua Yayasan Fahmina dan Pengasuh PP Dar Al-Fikr Cirebon) bahwa

“Mereka yang melihat dirinya sebagai orang-orang yang teralienasi (terasing) dari proses perubahan dunia, akan terperangkap dalam sirkuit gelisah, kemelut, dan stress. Mereka akan menyalahkan orang lain sebagai penyebabnya. Ekspresinya mudah marah, dan marah itu tanda kalah.”

Melihat “Perempuan Berkalung Sorban” sebagai sebuah karya, saya tidak sepenuhnya sepakat. Film ini melulu hanya menyoroti tentang perempuan yang hidup dalam kondisi tidak seimbang.

Padahal jika mau dikaji lebih dalam lagi, banyak nilai-nilai kebaikan yang diajarkan di pesantren. Tentang adab (tata krama) kepada orang tua, kepada guru, tentang beribadah, tentang kemandirian, dan masih banyak hal lagi. Film ini seakan hanya melihat sisi negatif dari pesantren saja, tanpa menonjolkan keunggulan dalam karakter pendidikan pesantren.

Terlepas dari itu, saya sangat sepakat dengan pesan yang hendak disampaikan di film ini. Disampaikan oleh Annisa di depan santri-santrinya “Kalian semua adalah muslimah, calon istri untuk suami kalian tercinta, dan calon ibu untuk anak-anak yang kalian sayangi. Surga menurut janji Allah ada di bawah telapak kaki kita, perempuan. Tapi jangan lupa satu hal, bahwa Allah juga memberi manusia kebebasan. Mau jadi apa pun kalian nanti, pilihlah jalan Allah dengan rasa bebas dan dengan hati yang ikhlas. Dengan begitu insya Allah kita akan hidup dengan tenang dan tanpa rasa benci.”

Sebagai penutup dari tulisan singkat ini, terdapat satu ungkapan dari Prof. Alimatul Qibtiyah, Ph.D. (Dosen UIN Sunan Kalijaga).

“Sumber fitnah itu bukan Harta, Tahta, Wanita. Tetapi Harta, Tahta, dan Nafsu seksual yang tidak pada tempatnya (siapa pun pelakunya).”

Referensi: Bernakah Istri Dilaknat Malaikat Jika Menolak Permintaan Jimak dari Suami, (Islami.co, 2019)

Profil Penulis
Hanin Nur Laili
Hanin Nur Laili
Penulis Tsaqafah.id
Santri PP Salafiyah Pemalang yang melanjutkan nyantri di PP Al-Munawwir Krapyak. Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga. Kidal, tapi kalau makan dan nulis bisa kanan kok.

2 Artikel

SELENGKAPNYA