Perkara Sandal Jepit dan Kaum Tipis Iman Menyifati Tuhan

Perkara Sandal Jepit dan Kaum Tipis Iman Menyifati Tuhan

14 April 2021
444 dilihat
2 menits, 44 detik

Tsaqafah.id – Ketika sedang apes kita sering ingah-ingih nyelethuk mengucap kufur nikmat. Seketika itu, pikiran kita tidak bisa tidak terangsang untuk berperasangka buruk. Menganggap bahwa keadilan Allah Swt itu selektif, tidak lagi berpihak kepada kita—yang budiman.

Efek domino dari anggapan kekecewaan itu sering jatuh-menjatuhi pada perubahan sikap seseorang. Menikung perbuatan baik yang, sebelumnya sudah kita niati. Seperti voltase listrik, iman kita lamat-lamat menurun. Mati lampu.

Lantas, benarkah keadilan Allah itu selektif?

Menjawab itu, saya tidak akan mengutip seribu ayat dan hadis. Saya hanya ingin berkisah. Kisah yang saya serap dari obrolan di kubus pesantren. Sembari berharap, kisah ini bisa merangsang penjelasan ilmiah dari beberapa hal yang menghantam keimanan kita dalam meragukan keadilan Allah Swt.

__

Kisahnya begini. Ketika sedang menziarahi sebuah kubur di hari Jum’at, mendekati waktu salat Jum’at, Kang Adwa memilih melanjutkan ritual kuburnya daripada menunaikan salat Jum’at. Pilihan ini mengambil jatah rukhsah, bagi dirinya yang sedang dalam misi bepergian. 

Cuap-cuap mulutnya merapal mantra, entah sudah berapa lembar dia khidmat menikmati ritual nderes al-Qur’an di pesarean tersebut. Kang Adwa memilih duduk persis di samping kepala kubur seorang ‘alim di daerah pesisir utara Jawa.

Kang Adwa yang sudah hafal Qur’an itu, sambil nderes, dia kerap mencuri pandang, mengamati suasana di selingkar kompleks pesarean.

Ketika sudah manjing waktu salat Jum’at, dia melihat segerombolan santri yang hendak berangkat ke masjid, guna menambah kegantengan. Eh, menunaikan salat Jum’at.

Baca Juga: Ketika Ali bin Abi Thalib Menjual Selembar Kain Buat Beli Takjil Buka Bersama Keluarga

Pada saat itu juga, Kang Adwa mendapati seorang santri hendak masuk ke pesarean. Ketika sudah tiba di bibir pelataran, santri itu mak-njegagik urung diri. Keluar dan kembali menyatu dan tertelan rombongan yang menuju masjid.

Kang Adwa yang masygul kemudian bertanya-tanya. “Kenapa anak ini enggan masuk ke pesarean?” Tentu dalam hati.

Setelah ritual nderesnya dirasa cukup, Kang Adwa berinisiatif pamit, hendak keluar tapi mendapati sandal jepitnya hilang.

Kemasygulan yang sempat mendistrak deresan tadi terjawab sudah, adakah seorang santri tadi yang mengambil sandal jepit bersejarah itu.

“Sandal jepit bersejarah? Maksudnya gimana, kang?”

“Kusebut itu sandal bersejarah karena sandal itu menemani masa-masa tirakatku di makam leluhur di ujung timur Jawa. Saya merasa berat, kalau dipaksa harus kehilangan sandal itu. Lhawong, kenangan je.”

Kang Piter yang sedari tadi mendengar cericauan Kang Adwa merasa simpatik. Kang Piter menyadari perjuangan dan laku tirakat Kang Adwa yang sudah banyak memakan asam garam laku tirakat tersebut.

“Tapi kang, bagaimanapun, setiap manusia pasti akan menerima ke-apes-annya sendiri. Apes tidak bisa dihindari. Meski kita merasa sudah banyak beramal saleh.” Kang Piter dengan dingin menerangkan.

Baca Juga: Mengintip Santri Huffadh yang Kegandrung Drama Korea “Start-Up”

“Ya meskipun begitu, sandal itu sudah akan kumuseumkan buat saksi bisu perjalanan tirakatku, kang. Betapa semesta tidak pernah berpihak kepadaku, padahal segala laku baik sudah kujalankan.” Kang Adwa masih memprotes.

“Hus. Ndak boleh begitu, kang,” Kang Piter sedikit menggertak lalu melanjutkan, “Barangkali ya, barangkali, sandal samean tadi menyelamatkan kaki santri cilik yang mengepul sebab aspal yang terpercik terik matahari. Memanggang. Toh, santri cilik tadi pergi ke masjid kan, menunaikan salat Jum’at. Bukannya tadi samean masih ragu-ragu buat pergi ke masjid untuk salat Jum’at apa tidak?”

“Aku berharap asumsimu itu benar, kang. Jadi segala laku yang sudah kulalui bersama sandal tersebut, masih memberikan nilai baik kepada orang lain.” Kang Adwa mencoba berdamai.

“Jadi sudah. Relakan. Toh, samean masih cukup uang toh buat beli sandal lagi?” Seringai Kang Piter.

“Ndak Punya! Sudah habis! Sini pinjem!” Kang Adwa melunjak.

Belum juga suara jawaban terdengar, langkah kaki Kang Piter sudah tunggang-langgang seperti kesetanan, menjauh dari Kang Adwa yang hendak menghutang.     

Kang Adwa yang naik pitam lantas mengutuk,“Woo, tak kutuk jadi #$&%^%@&#”

Sambil mengamati Kang Piter yang semakin jauh, Kang Adwa meneruskan dengan suara lirih dengan harapan kutukan baiknya setengah terkabul “… wong sugeh”

Profil Penulis
Afrizal Qosim
Afrizal Qosim
Penulis Tsaqafah.id
Kolumnis, Alumni Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga dan Santri PP Al Munawwir Krapyak.

29 Artikel

SELENGKAPNYA