Perspektif Pernikahan Dini dalam Kisah Sayyidah Aisyah

Perspektif Pernikahan Dini dalam Kisah Sayyidah Aisyah

14 November 2024
25 dilihat
4 menits, 16 detik

Tsaqafah.id – Pernikahan dini di Indonesia menduduki peringkat kedua teratas di kawasan Asia Tenggara berdasarkan data penelitian pusat kajian gender dan seksualitas Universitas Indonesia. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yang beragam; di antaranya faktor tradisi yang dianut oleh masyarakat setempat dan kebutuhan ekonomi. Tidak jarang juga banyak dari perempuan yang merasa takut menghadapi stigma masyarakat “perawan tua“.

Kebanyakan masyarakat Indonesia, dari faktor tradisi, mempresepsikan pernikahan sebagai suatu keharusan sosial dan merupakan bagian warisan yang dianggap sakral. Dari faktor ekonomi, pihak keluarga perempuan merasa teringankan karena terlepas dari tanggung jawab. Hal tersebut terjadi sebab putrinya beralih tanggung jawab kepada suami, tanpa menimbang dampak setelahnya.

Secara tidak sadar, budaya demikian yang telah mengakar kini merupakan bagian dari budaya patriarki. Di mana perempuan lebih diutamakan menikah pada usia dini ketimbang melanjutkan pendidikannya. Mereka seakan tidak tahu, bahkan tak mau tahu tentang UU perkawinan.

Padahal, Peraturan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019, Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang usia perkawinan, tiada lain dengan tujuan terwujudnya perkawinan yang baik. Juga, mewujudkan keturunan yang sehat dan berkualitas, serta menghindari dari kasus perceraian dini. Demikian dinilai untuk menimbang perceraian serta kematian antara ibu dan anak yang banyak terjadi atas pernikahan di bawah umur.

Baca Juga: Pernikahan Dini Prespektif Maqashid Syariah

Akhir-akhir ini tak jarang kita jumpai dari banyak khalayak yang hendak menikahi perempuan di bawah umur. Bahkan masih banyak dari beberapa selebgram muslim di Indonesia yang melaksanakan pernikahan pada usianya yang begitu relatif dini. Mirisnya, hal demikian tak lepas dari teks-teks agama untuk dijadikan alat legitimasi. Hemat saya hal ini menjadi problem tersendiri bagi ajaran Islam. Di mana Islam selalu mengedepankan kemashlahatan dalam bab apapun, termasuk kesiapan dalam berumah tangga.

Pertanyaan krusial tentang pernikahan dini sering kali muncul dalam kehidupan masyarakat umum. Beberapa dari mereka beranggapan bahwa ajaran Islam mendukung praktik pernikahan dini.

Islam memandang pernikahan dini

Dalam Islam sendiri, mengenai pernikahan, tidak ditemukan teks atau redaksi fikih yang secara eksplisit berbicara ketentuan batas minimal usia menikah. Kendati demikian tidak bisa langsung diklaim, bahwa Islam mendukung atas pernikahan dini.

Namun, dapat kita lihat lebih jeli lagi mengenai perhatian hukum Islam atas kesiapan seseorang yang ingin menikah, Hal ini tercermin dari hukum sunnah bagi wali untuk tidak menikahkan putrinya sampai ia baligh. Sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Syafi’i:

“Disunnahkan bagi ayah untuk tidak menikahkan putrinya sampai ia baligh. Agar tergolong orang yang dipertimbangkan izinnya. Sebab pernikahan mewajibkan beberapa tanggung jawab”.

Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari dalam kitabnya Asna al-Mathalib, menyampaikan hal yang senada yakni, “Dan makruh bagi wali yang hendak menyerahkan putrinya pada usia belum siap untuk disetubuhi”. Melalui apa yang disampaikan Imam Syafi’i dan Syaikh Zakariyya al-Anshari, dapat dipahami, bahwa pada prinsipnya Islam selalu mengedepankan kemashlahatan. Termasuk dalam kesiapan bagi orang yang hendak menikah dan berumah tangga, yang dapat diukur dengan menimbang kedewasaan usianya.

Pernikahan dini juga mengajarkan untuk selalu menimbang antara kemashlahatan dan kerusakan. Maka, tidak diperbolehkan jika memang pernikahan dini tersebut dapat menimbulkan kerusakan. Menurut KH. Husein Muhammad, dalam buku Fiqh Perempuan, melangsungkan pernikahan tersebut tidaklah diperbolehkan.

Baca Juga: Mencintai Anak dengan Tulus: Nasehat Gus Baha

Menyoal usia dewasa saat ini, Elizabeth B. Hurlock dalam bukunya Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan disampaikan, “Setiap kebudayaan selalu membentuk usia kedewasaan yang berbeda, untuk kapan seseorang dianggap dewasa secara resmi. Sekarang, umur 18 tahun adalah umur yang dianggap dewasa secara sah”.

Dapat kita tarik dan ikat, bahwa para ulama sendiri mengenai hal pernikahan, selalu menimbang kemashlahatan yang dapat diukur dari sisi kedewasaan yang terikat dengan usia. Dari redaksi tersebut, mafhum bahwa ajaran Islam tidak serta merta memperbolehkan pernikahan dini. Sehingga perlu untuk selalu memperhatikan aspek kedewasaan dan kesiapan dari segi usia, kesehatan dan juga psikologi, terlebih seorang perempuan.

Pernikahan Nabi dengan Sayyidah Aisyah

Lalu, bagaimana mengenai pernikahan Nabi dengan Sayyidah Aisyah?

Yang sering dijadikan argumen inti bagi orang-orang yang ingin menikahi perempuan di bawah umur. Bahkan, seringkali dijadikan argumen dasar dari kalangan seseorang yang tidak mendukung ajaran Islam.

Mengutip keterangan dari M. Quraish Shihab, dalam buku Islam yang Disalahpahami: Menepis prasangka, Mengikis Kekeliruan, beliau menyampaikan, “Terdapat poin penting yang mesti kita pahami, yakni dari segi riwayat hadis yang menceritakan pernikahan Nabi dengan Sayyidah Aisyah. Hadist tersebut diriwayatkan oleh Hisyam bin Urwah ketika ia telah berpindah dari Madinah ke Irak dalam usia 71 tahun. Sehingga dapat dipahami, riwayat ini datang dari penduduk Irak bukan dari Madinah”.

Baca Juga: Antara Selawat dan Selawatan: Mencari Batasan yang Jelas

Selanjutnya, terdapat keterangan yang mengungkapkan bahwa Hisyam bin Urwah dalam masa tua nya, mengalami kemunduran ingatan yang mencolok. Sehingga riwayat pernikahan Nabi dengan Sayyidah Aisyah yang berumur relatif dini kurang dapat dipercaya dari segi riwayatnya. Hal ini menurut Imam Malik yang disampaikan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Tahdzib at-tahdzib.

M. Quraish Shihab, dalam keterangan lebih lanjut, menyampaikan bahwa, “Seorang pakar hadis, Ibnu Hajar mengatakan bahwa putri Nabi, yaitu Fathimah Azzahra lahir ketika Ka’bah sedang kembali dibangun, bertepat 35 tahun usia Nabi Muhammad SAW. Dan sebagaimana banyak riwayat, bahwa Sayyidah Aisyah lebih muda lima tahun dari Sayyidah Fathimah. Berarti Sayyidah Aisyah lahir di saat Nabi pertama kali menerima wahyu. Artinya Sayyidah Aisyah berumur 13 tahun ketika hijrah dan usia 14 tahun ketika tinggal bersama Nabi, bukan lagi 9 tahun”.

Demikianlah, pernikahan Nabi dan Sayyidah Aisyah pada saat usianya 9 tahun, yang dari segi riwayatnya belum dapat dipercayai secara utuh. Hemat penulis, dengan mengangkat kutipan riwayat dan keterangan yang lain di atas tersebut sangat valid untuk meng-counter mereka yang saat ini menjadikan teks-teks keagamaan sebagai alat legitimasi. Kendati dalam teks-teks fikih tidak ditemukan ketentuan usia batas minimal untuk menikah, namun aturan negara, secara jelas tertulis mengenai ketentuan usia bagi seorang yang hendak membangun rumah tangga.

Maka kaidah hukmu al-hakim ilzamun wa yarfa’u al-khilaf (keputusan pemerintah dapat mengikat dan mengangkat perbedaan pendapat) di mana ketika penguasa memutuskan hukum, maka hukum tersebut mengikat, dan perbedaan diantara ulama tidak lagi berlaku. Hal ini dapat dijadikan pegangan agar setiap muslim taat terhadap aturan pemerintah, juga dapat move on dari pernikahan dini.

Wallahu a’lam bishowab.

Profil Penulis
Muhammad Asyrofudin
Muhammad Asyrofudin
Penulis Tsaqafah.id

2 Artikel

SELENGKAPNYA