Tsaqafah.id – Dalam Islam, selawat merupakan salah satu bentuk ibadah yang memiliki tempat khusus di hati umat Muslim. Selawat adalah doa yang dipanjatkan kepada Allah agar memberikan rahmat, keberkahan, dan kedamaian kepada Nabi Muhammad Saw.
Membaca selawat merupakan salah satu amalan yang sangat dianjurkan karena menunjukkan kecintaan dan penghormatan kita kepada Rasulullah Saw. Namun, ada pemahaman yang kerap kali menimbulkan perdebatan, yaitu mengenai perbedaan antara membaca selawat dan selawatan.
Selawat secara etimologis berasal dari kata “salat” yang berarti doa atau permohonan kepada Allah. Dalam konteks selawat kepada Nabi, kata ini berarti memohonkan rahmat dan kesejahteraan untuk Nabi Muhammad Saw. Salah satu bentuk selawat yang paling dikenal adalah:
“Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad, wa ‘ala ali sayyidina Muhammad.”
Artinya, “Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada junjungan kami, Nabi Muhammad, dan kepada keluarganya.”
Baca Juga Peringatan Maulid Nabi, Sarana Berukhuwah dengan Cinta
Selawat memiliki berbagai keutamaan. Dalam Al-Qur’an, Allah Swt memerintahkan para hamba-Nya untuk berselawat kepada Nabi:
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab: 56)
Hadis Nabi juga menggarisbawahi pentingnya membaca selawat. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah Saw bersabda: “barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali, Allah akan memberikan sepuluh rahmat kepadanya.”
Dengan demikian, selawat menjadi ibadah yang memiliki nilai pahala besar dan termasuk amalan sunnah yang dianjurkan untuk dilakukan secara rutin oleh setiap Muslim.
Meskipun membacanya dianjurkan dalam Islam, istilah selawatan sering menimbulkan pemahaman yang salah. Di berbagai tempat, istilah ini sering kali identik dengan acara yang melibatkan nyanyian, musik, dan kegiatan seremonial yang melebihi sekadar membaca selawat. Tidak jarang dalam praktiknya, terdapat campuran unsur-unsur budaya lokal yang menyimpang dari prinsip-prinsip ajaran Islam yang lurus.
Baca Juga Maulid Nabi Saw (1): Awal Tradisi, Pionir, Seremoni, dan Perspektif Para Pakar
Selawat adalah amalan ibadah yang berupa doa. Membacanya dengan hati yang ikhlas, lisan yang fasih, serta tanpa menambah-nambahkan hal yang tidak sesuai dengan sunnah adalah perbuatan yang dianjurkan. Sementara itu, selawatan dalam pengertian di masyarakat bisa merujuk pada acara-acara ritualistik atau perayaan-perayaan tertentu yang menggabungkan elemen-elemen musik, tari, atau bentuk ekspresi lainnya, yang mungkin tidak seluruhnya memiliki dasar dalam ajaran Islam.
Batasan yang Harus Diperhatikan dalam Selawat
Ada beberapa hal yang perlu dicermati oleh seorang Muslim dalam membedakan antara membaca selawat dan selawatan yang mungkin melanggar batasan-batasan syariat:
Pertama, menjaga ketulusan ibadah. Membaca selawat adalah bagian dari ibadah yang memiliki dasar dalam syariat Islam. Oleh karena itu, setiap amalan yang terkait dengannya harus dilakukan dengan niat yang tulus dan ikhlas semata-mata untuk mencari ridha Allah Swt. Apabila selawatan dilakukan hanya sebagai hiburan atau ajang pertunjukan, maka hal ini dapat menyimpang dari esensi ibadah itu sendiri.
Kedua, tidak menambahkan inovasi dalam ibadah. Dalam Islam, ada prinsip yang disebut ittiba’ (mengikuti sunnah Nabi). Artinya, setiap amalan ibadah harus sesuai dengan petunjuk yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw dan tidak boleh ditambah-tambah atau diubah-ubah tanpa dasar yang jelas.
Baca Juga Haruskah Hadir di Majelis Maulid untuk Memperingati Maulid Nabi?
Selawatan yang disertai dengan musik, nyanyian, atau tari-tarian yang tidak ada dalam tuntunan Nabi Saw bisa dikategorikan sebagai bentuk inovasi yang tidak dianjurkan (bid’ah). Dalam hadis, Rasulullah Saw bersabda: “Setiap inovasi (bid’ah) dalam agama adalah kesesatan, dan setiap kesesatan akan membawa ke neraka.” (HR. Muslim).
Ketiga, menjauhi unsur-unsur kemaksiatan. Ada praktik selawatan yang dalam pelaksanaannya bercampur dengan kegiatan yang justru menjauhkan dari nilai-nilai ibadah, seperti pergaulan bebas, pertunjukan yang berlebihan, atau unsur-unsur musik yang membawa pada kelalaian. Hal ini jelas tidak sejalan dengan semangat selawat yang harusnya mengingatkan kita kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan menjadikan hati kita lalai.
Keempat, menghindari syirik dan pengagungan yang berlebihan. Meskipun mencintai Nabi Muhammad Saw adalah bagian dari iman seorang Muslim, kita juga perlu menjaga diri dari pengagungan yang berlebihan hingga mendekati kesyirikan. Ada sebagian kelompok yang dalam selawatan mengagungkan Nabi Saw seolah-olah beliau memiliki sifat-sifat yang hanya layak dimiliki oleh Allah Swt. Ini adalah kesalahan yang besar dan harus dihindari.
Baca juga Maulid Nabi Saw (2): Dari Tradisi Kerajaan hingga Syiar Masyarakat Indonesia
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa boleh membaca selawat, tapi tak boleh selawatan yang keluar dari batas-batas syariat Islam. Membaca selawat adalah bentuk ibadah yang dianjurkan, namun harus dilakukan sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw tanpa tambahan unsur-unsur yang tidak syar’i.
Selawat memiliki tempat khusus dalam Islam sebagai wujud cinta kepada Nabi Muhammad Saw dan sebagai doa yang penuh berkah. Namun, penting untuk tidak mengubahnya menjadi ritual yang menyalahi aturan agama atau memasukkan elemen-elemen yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Setiap Muslim hendaknya selalu mengedepankan keikhlasan dan menjaga ibadah dari hal-hal yang bisa merusak makna shalawat itu sendiri. Dengan demikian, kita dapat memetik berkah dari amalan ini dan mendekatkan diri kepada Allah serta meneladani kehidupan Nabi Muhammad Saw dengan cara yang benar dan sesuai tuntunan.