Tsaqafah.id – Perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw di Indonesia adalah salah satu tradisi keagamaan yang memiliki akar sejarah panjang, yang berkembang seiring dengan penyebaran Islam di Nusantara.
Tradisi ini tidak hanya menjadi ritual keagamaan, tetapi juga telah berbaur dengan berbagai dimensi budaya asal dan sosial masyarakat Indonesia. Dalam perkembangannya, Maulid Nabi di Indonesia telah melampaui fungsi religius menjadi fenomena sosial-budaya yang sarat dengan simbolisme dan makna komunitas/jamaah.
Awal Tradisi Maulid di Indonesia: Dari Kerajaan ke Masyarakat
Penelusuran yang bisa al-faqir jangkau adalah bahwa ‘Penyelenggaraan Maulid Nabi di Indonesia’ diperkirakan mulai berlangsung pada masa kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, terutama setelah Islam mulai mengakar kuat di wilayah pesisir pada abad ke-13 hingga ke-16 Masehi.
Salah satu kerajaan yang mempopulerkan peringatan Maulid adalah Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa. Pada masa itu, peringatan Maulid bukan sekadar acara keagamaan, tetapi juga digunakan sebagai medium untuk memperkuat legitimasi politik kerajaan melalui syiar Islam.
Menurut catatan sejarawan Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya, kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, seperti Demak dan Cirebon, memainkan peran penting dalam menanamkan tradisi Maulid Nabi di kalangan masyarakat Jawa.
Baca Juga Maulid Nabi Saw (1): Awal Tradisi, Pionir, Seremoni, dan Perspektif Para Pakar
Acara ini sering kali diadakan dengan kemeriahan besar, melibatkan upacara keagamaan dan seni pertunjukan seperti gamelan dan wayang. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Lombard:
“Perayaan Maulid di istana bukan hanya sekadar peristiwa religius, melainkan juga upacara politik untuk menunjukkan kekuasaan raja atas rakyat dan pengesahan kekuatan spiritualnya.” (Nusa Jawa: Silang Budaya Vol. 2, Denys Lombard)
Dalam konteks sosiologis, peringatan Maulid di masa awal Islamisasi ini menjadi salah satu sarana pengikat sosial yang kuat. Tradisi ini membantu mengukuhkan identitas keislaman masyarakat Jawa dan sekaligus mempererat hubungan antara rakyat dengan pemimpin spiritual mereka, yaitu raja yang dianggap sebagai representasi kekuasaan Islam dimasa itu.
Medium Sinkretisme Islam-Jawa
Tradisi Maulid Nabi di Indonesia mengalami akulturasi dengan budaya lokal. Misalnya, di Jawa, Maulid sering kali diiringi dengan upacara “Sekaten,” sebuah perayaan besar yang diadakan di Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta setiap tahunnya. Sekaten berasal dari kata “syahadatain” (dua kalimat syahadat), yang melambangkan ajakan untuk masuk Islam.
Pada masa Kesultanan Demak, Sekaten menjadi bagian dari Maulid, di mana Sultan mengundang masyarakat luas untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad sembari memperkenalkan ajaran Islam kepada mereka.
Dalam ‘Serat Sekar Seda Kaping’, sebuah naskah kuno Jawa, disebutkan bahwa Sekaten adalah salah satu instrumen penting bagi raja-raja Islam di Jawa untuk mempromosikan Islam:
“Sang Sultan Panatagama iku asring nindakake upacara Sekaten kanggo nindakake syi’ar agama Islam marang tiyang bumi Jawa.”
Artinya: “Sultan Panatagama sering kali menyelenggarakan upacara Sekaten sebagai cara untuk menyebarkan syi’ar Islam kepada rakyat Jawa.” (Serat Sekar Seda Kaping)
Baca Juga Menyelami Makna Maulid melalui Tiga Puisi Gus Mus
Di luar Jawa, tradisi Maulid juga disesuaikan dengan konteks budaya lokal. Di Sumatera Barat, misalnya, perayaan Maulid disebut “Maulud” dan diwarnai dengan tradisi makan bersama atau “berjamba” di masjid-masjid. Sementara di Aceh, perayaan ini dikenal dengan istilah “Khanduri Maulid,” di mana masyarakat berkumpul untuk berzikir dan membaca riwayat hidup Nabi Muhammad Saw.
Tradisi-tradisi ini menunjukkan bagaimana Maulid Nabi menjadi bagian integral dari kehidupan sosial masyarakat Indonesia, melibatkan unsur keagamaan sekaligus kearifan lokal.
Dinamisasi Penyebaran Maulid
Perkembangan Maulid Nabi di Indonesia tidak lepas dari peran para ulama, tarekat, dan kiai pesantren dalam menyebarluaskan tradisi ini ke lapisan masyarakat yang lebih luas. Di berbagai wilayah, terutama di Jawa dan Sumatra, para ulama dan tokoh agama menggunakan peringatan Maulid sebagai sarana dakwah dan pendidikan agama.
Salah satu karya literatur keagamaan yang banyak dibacakan dalam perayaan Maulid adalah Al-Barzanji, kitab yang berisi pujian dan kisah kelahiran serta perjalanan hidup Nabi Muhammad. Pembacaan Al-Barzanji menjadi bagian penting dalam perayaan Maulid di banyak tempat di Indonesia, terutama di masjid-masjid dan pesantren.
Dalam hal ini, Maulid Nabi memiliki fungsi sosial yang signifikan, tidak hanya sebagai ritual keagamaan, tetapi juga sebagai medium sosialisasi nilai-nilai keislaman, penguatan identitas kelompok, dan solidaritas sosial.
Peringatan Maulid menciptakan momen berkumpulnya masyarakat lintas kelas sosial, di mana semua terlibat dalam berbagai kegiatan bersama, dari zikir, shalawat, hingga makan bersama. Tradisi ini membantu menciptakan kohesi sosial yang kuat di kalangan umat Islam.
Baca Juga Sayyidah Fatimah az-Zahra: Teladan Muslimah Masa Kini
Maulid di Masa Kolonial hingga Modern
Penyebaran tradisi Maulid terus berlanjut selama periode kolonial Belanda. Pada masa ini, Maulid juga menjadi bagian dari resistensi simbolik terhadap dominasi kolonial. Para kiai dan tokoh agama sering menggunakan momentum peringatan Maulid sebagai cara untuk memperkuat semangat kebangsaan dan keagamaan di tengah tekanan penjajah.
Sejarawan MC Ricklefs dalam bukunya ‘Mystic Synthesis in Java’ menulis bahwa peringatan Maulid pada masa kolonial tidak hanya diisi dengan kegiatan spiritual, tetapi juga menjadi tempat berkumpulnya pemimpin-pemimpin masyarakat untuk mendiskusikan isu-isu sosial dan politik:
“Maulid celebrations in the colonial era often became arenas for collective discussions among local leaders about the future of the nation under colonial rule.” (Mystic Synthesis in Java, MC Ricklefs)
Artinya: Perayaan Maulid pada masa kolonial sering menjadi ajang diskusi kolektif para pemimpin daerah tentang masa depan bangsa di bawah kekuasaan kolonial.
Pada masa modern, perayaan Maulid Nabi di Indonesia tetap lestari, bahkan semakin berkembang dengan berbagai variasi bentuk perayaannya. Beberapa ormas Islam besar, seperti Nahdlatul Ulama (NU), menjadikan Maulid sebagai bagian dari kegiatan tahunan yang dirayakan di berbagai komunitasnya, juga di lembaga-lembaga seperti pondok pesantren, madrasah. Pembacaan Simtudduror, dan Al-Diba’, yang merupakan kitab shalawat dan kisah hidup Nabi, menjadi tradisi di berbagai tempat.
Baca Juga Demokrasi dalam Al-Qur’an
Penguat Harmoni Sosial
Dari perspektif sosiologis, Maulid Nabi memiliki peran penting dalam mempererat jalinan sosial antar-umat. Tradisi ini membangun jembatan antara berbagai lapisan masyarakat melalui ritual bersama yang melibatkan partisipasi kolektif. Perayaan ini menghubungkan dimensi spiritual dengan budaya, serta menjadi momentum memperkuat ikatan sosial di tengah masyarakat yang beragam.
Tradisi Maulid juga memainkan peran sebagai sarana integrasi sosial, di mana masyarakat dari berbagai latar belakang ekonomi, budaya, dan politik berkumpul bersama untuk merayakan kecintaan kepada Rasulullah. Hal ini menciptakan harmoni sosial yang penting dalam konteks masyarakat plural seperti Indonesia.
Sejarah Maulid Nabi di Indonesia menunjukkan bagaimana tradisi keagamaan ini berkembang melalui interaksi sosial dan budaya yang kompleks. Dari perayaan yang dipelopori oleh kerajaan-kerajaan Islam hingga tersebar luas di masyarakat, Maulid menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas keislaman dan kebudayaan lokal di Nusantara.
Melalui perayaan Maulid, umat Islam Indonesia tidak hanya merayakan kelahiran Nabi Muhammad, tetapi juga membangun solidaritas sosial yang memperkuat jalinan kebersamaan.
—
Referensi:
– Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya Vol. 2. Jakarta: Gramedia, 1996.
– Ricklefs, M.C. Mystic Synthesis in Java: A History of Islamisation from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries*. Leiden: Brill, 2006.
– Serat Sekar Seda Kaping (naskah kuno Jawa).