Maulid Nabi Saw (1): Awal Tradisi, Pionir, Seremoni, dan Perspektif Para Pakar

Maulid Nabi Saw (1): Awal Tradisi, Pionir, Seremoni, dan Perspektif Para Pakar

08 September 2024
135 dilihat
3 menits, 42 detik

Tsaqafah.id – Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, sebuah perayaan yang merayakan kelahiran sosok agung Rasulullah telah menjadi tradisi yang melekat dalam kehidupan umat Islam di berbagai belahan dunia.

Namun, banyak yang tidak mengetahui sejarah dan asal mula penyelenggaraan pertama kali Maulid Nabi di muka bumi. Menurut hemat saya, hal ini menarik untuk dikaji dan ditelusuri, sebab perjalanan tradisi ini tidak hanya kaya akan aspek spiritual, tetapi juga mengandung warisan budaya dan peradaban yang dalam.

Latar Belakang dan Makna Maulid Nabi

Maulid, yang berasal dari kata Arab “mawlid” (مولد), secara harfiah berarti “kelahiran”. Dalam konteks Maulid Nabi, ini merujuk pada perayaan hari kelahiran Rasulullah Muhammad SAW pada tanggal 12 Rabiul Awal menurut kalender Hijriah (terlepas dari silang pendapat ulama tentang riwayat mana yang lebih kuat perihal tanggal kelahiran Nabi Saw.).

Di luar makna historis dan teologisnya, Maulid juga merupakan momen refleksi mendalam tentang keteladanan hidup Rasulullah.

Banyak ulama menyepakati bahwa meskipun Maulid tidak disyariatkan secara eksplisit dalam al-Qur’an maupun hadis, tradisi ini berkembang dan menjelma sebagai sarana umat Islam untuk mengekspresikan cinta dan penghormatan kepada Rasulullah.

Lantas siapa sebenarnya yang pertama kali memperkenalkan dan menyelenggarakan Maulid Nabi Saw?

Baca Juga Mengapa Kita Bershalawat?

Disclaimer: meskipun al-faqir bukan antropolog, sosiolog, ataupun muarrikh/sejarawan, sebagaimana al-faqir berusaha menjadi pembaca yang baik maka al-faqir belajar menulis resume yang baik pula. Berikut hasil langkah penelusuran yang bisa al-faqir tulis;

Orang Pertama yang Menyelenggarakan Maulid Nabi di Muka Bumi

Dalam lintasan sejarah, tokoh yang diidentifikasi sebagai the first man, orang pertama yang menyelenggarakan Maulid Nabi secara resmi adalah Sultan Al-Muzaffar, Penguasa Irbil (dalam wilayah Irak modern) pada abad ke-12 Masehi, lebih tepatnya pada abad ke-6 Hijriah. Menurut penuturan para sejarawan, Sultan Al-Muzaffar menjadi pelopor penyelenggaraan Maulid dalam skala besar dan terorganisir.

Sejarawan Ibn Khallikan (w. 681 H/1282 M) dalam karyanya, Wafayāt al-Aʿyān, menyebutkan bahwa Sultan Al-Muzaffar adalah seorang pemimpin yang saleh dan memiliki kecintaan yang mendalam kepada Rasulullah, Ibn Khallikan menulis:

‎”وكان الملك المظفر صاحب إربل يعمل المولد الشريف في ربيع الأول ويحتفل به احتفالاً هائلاً.”

“Sultan Al-Muzaffar, penguasa Irbil, mengadakan perayaan Maulid yang mulia pada bulan Rabiul Awal, dengan perayaan yang megah dan luar biasa.” (Ibn Khallikan, Wafayāt al-Aʿyān).

Penyelenggaraan Maulid oleh Sultan Al-Muzaffar ini dilaporkan sebagai acara yang sangat meriah, melibatkan seluruh lapisan masyarakat, ulama, dan para sufi, serta dirayakan dengan pembacaan pujian kepada Nabi, zikir, dan jamuan makanan.

Baca Juga Memahami Tafsir Cinta Menurut Syaikh Mutawalli As-Sya’rawi

Sejarawan Sibt Ibn al-Jawzi juga mengonfirmasi hal ini, menyebut bahwa perayaan Maulid di Irbil dilakukan dengan penuh kekhusyukan dan penghormatan.

Perspektif Para Ulama tentang Maulid Nabi

Meski Maulid Nabi bukanlah bagian dari ibadah yang disyariatkan, banyak ulama menganjurkan perayaannya sebagai bentuk ekspresi kecintaan kepada Rasulullah. Ulama besar, seperti Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H/1449 M), menulis dalam Al-Durar al-Kamina:

‎”وأصل عمل المولد بدعة لم تنقل عن أحد من السلف الصالح من القرون الثلاثة، ولكنها مع ذلك مشتملة على محاسن وضدها. فمن تحرى في عملها المحاسن وتجنب ضدها كان بدعة حسنة.”

“Pada dasarnya, pelaksanaan Maulid adalah bid’ah yang tidak diriwayatkan dari generasi awal umat Islam, namun perayaan ini mengandung kebaikan dan keburukan. Barang siapa yang mencari kebaikan dalam perayaan ini dan menjauhi keburukan, maka itu menjadi bid’ah hasanah (inovasi yang baik).” (Ibn Hajar al-Asqalani, Al-Durar al-Kamina).

Ulama besar lainnya, Al-Suyuti (w. 911 H/1505 M), bahkan memberikan justifikasi yang lebih kuat tentang keutamaan perayaan Maulid Nabi. Dalam risalahnya Husn al-Maqsid fi Amal al-Mawlid, beliau menulis:

‎”وأما ما يعمل فيه من إطعام الطعام وظهور السرور ففيه ما لا بأس به، بل هو حسن.”

“Adapun dalam perayaan Maulid di mana makanan disajikan dan kegembiraan ditunjukkan, tidak ada yang salah dalam hal itu, bahkan hal tersebut adalah baik.” (Al-Suyuti, Husn al-Maqsid fi Amal al-Mawlid).

Baca Juga Peringatan Maulid Nabi, Sarana Berukhuwah dengan Cinta

Pandangan ini menekankan bahwa perayaan Maulid dapat menjadi sarana positif untuk mempererat hubungan spiritual umat dengan Nabi Muhammad, asalkan tidak dicampur dengan praktik-praktik yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Jejak Maulid di Dunia Islam

Sejak Sultan Al-Muzaffar memperkenalkan Maulid di Irbil, tradisi ini menyebar luas ke berbagai wilayah dunia Islam, termasuk di Mesir, Hijaz, dan Maghrib (Afrika Utara). Salah satu yang paling terkenal adalah perayaan Maulid di Mesir pada masa Dinasti Fatimiyah, yang kemudian diadopsi oleh berbagai kerajaan dan kesultanan di dunia Islam. Tradisi ini terus berkembang dan meluas hingga menjadi bagian integral dari kehidupan keagamaan umat Islam di banyak negara hingga hari ini.

Perayaan Maulid Nabi di berbagai negara sering kali dikemas dengan nuansa lokal, diiringi oleh kegiatan sosial dan keagamaan, seperti pembacaan kitab Al-Barzanji atau Al-Diba’i, dzikir bersama, dan ceramah keagamaan.

Di Indonesia sendiri, Maulid Nabi menjadi salah satu momentum besar dalam kalender keagamaan, di mana umat Islam merayakannya dengan penuh khidmat dan kegembiraan.

Baca Juga Sampai Di Tahap Mana Kita Meneladani Akhlak Nabi Muhammad Saw?

Peringatan Maulid Nabi Saw merupakan cerminan dari kecintaan umat Islam kepada Rasulullah. Sejak penyelenggaraan pertama kali yang dipelopori oleh Sultan Al-Muzaffar di Irbil, tradisi ini berkembang dan diterima oleh banyak ulama sebagai bentuk penghormatan kepada Nabi.

Meski ada perdebatan mengenai status hukumnya, sebagian besar ulama sepakat bahwa selama Maulid dijalankan dengan niat yang baik dan tanpa menyimpang dari ajaran Islam, ia bisa menjadi sarana memperkuat hubungan umat dengan Rasulullah.

Peringatan Maulid Nabi adalah momentum spiritual yang membawa umat lebih dekat kepada Nabi Muhammad SAW, tidak hanya melalui refleksi terhadap sejarah hidupnya, tetapi juga melalui aksi nyata dalam meneladani akhlaknya yang mulia.

Referensi:

– Ibn Khallikan, Wafayāt al-Aʿyān,

– Sibt Ibn al-Jawzi, Mir’āt al-Zamān,

– Ibn Hajar al-Asqalani, Al-Durar al-Kamina,

– Al-Suyuti, Husn al-Maqsid fi Amal al-Mawlid.

Profil Penulis
MS Lubaid Said
MS Lubaid Said
Penulis Tsaqafah.id
Pengajar di Pondok Pesantren Roudlotut Thullab (@pondoknosari) Tempuran Magelang

5 Artikel

SELENGKAPNYA