Tsaqafah.id – Di era yang semakin canggih dan modern semua menjadi serba mudah dan cepat, tetapi kemudahan ini selain membawa manfaat juga membawa dampak buruk bagi orang yang tidak bisa memanfaatkan dengan baik. Seperti pada saat ini, tantangan menjadi seorang wanita Muslimah yang shalihah jauh lebih besar dan berat.
Dapat dilihat wanita di akhir zaman ini banyak yang mengaku sebagai Muslimah, tetapi perilaku dan tindakannya sebaliknya. Banyak wanita bersaing untuk mencari kebahagiaan dunia, melupakan perintah Allah SWT, ada juga yang berkhianat pada suami, mengabaikan suami dan anak-anak mereka, bertindak durhaka pada kedua orangtua dan suami. Selain itu, ada perilaku boros, menggosipkan keburukan orang lain, dan tindakan lain yang jelas-jelas dilarang bahkan dibenci oleh Allah SWT.
Bahkan mereka terkadang menampilkan aurat mereka kepada orang yang bukan mahram, contoh kecilnya seperti hal yang sering ditemui di media sosial, saat ini tidak sedikit Muslimah yang mengikuti trend kekinian seperti menggunakan trend jilbab yang kelihatan leher dan dadanya, padahal dalam Al-Qur’an surah al-Ahzab ayat 59 Allah sudah jelas-jelas memerintahkan wanita untuk menjulurkan hijabnya keseluruh tubuh.
“Wahai Nabi (Muhammad), katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin supaya mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali sehingga mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-Ahzab: 59)
Baca juga: Perempuan dalam Islam: Dulu, Kini, Esok dan Nanti
Oleh karena itu mari kita meneladani akhlak salah satu wanita mulia sepanjang sejarah, beliau adalah Sayyidah Fatimah az-Zahra putri Rasulullah SAW.
Sayyidah Fatimah az-Zahra merupakan putri bungsu Nabi Muhammad SAW dari pernikahannya dengan Khadijah binti Khuwailid. Nama “Fatimah” sendiri adalah nama yang di berikan Nabi Muhammad untuk putri tercintanya, selain itu karena Nabi Muhammad menduga bahwa putrinya itu akan menjadi orang yang berpengaruh di dunia ini kemudian Nabi Muhammad memberikan julukan “az-Zahra” yang berarti cemerlang.
Sayyidah Fatimah az-Zahra mendapat didikan langsung dari Nabi Muhammad sehingga dirinya tumbuh menjadi seorang wanita yang selalu menjaga kesuciannya dan kehormatan dirinya, menyukai perbuatan yang baik, memiliki budi pekerti yang luhur, dan mampu mengikuti contoh Rasulullah, yang merupakan teladan tertinggi dan panutan terbaik dalam semua tindakannya. Dia menjadi teladan yang dihormati dan patut dicontoh dalam sifat-sifat mulianya.
Sayyidah Fatimah az-Zahra menjadi panutan dan tauladan dalam sifat-sifatnya, seperti empati, tanggung jawab, harga diri, kesucian, kepedulian sosial, kecerdasan, dan pengetahuan yang luas. Hal ini sangatlah wajar mengingat bahwa dia lahir dalam keluarga Nabi, dibesarkan di sekitar lingkungan pendidikan kenabian, dan menerima pengajaran langsung dari ayahnya.
Baca juga: Membuka Diskusi tentang Ruang Aman Perempuan dari Film Wadjda
Sayyidah Fatimah az-Zahra sangat menjaga kesucian dirinya dan mengangkat tinggi rasa malunya, suatu riwayat dari Ibnu al-Maghazili mencatat dalam kitab beliau, Al Manaqib, bahwa Ali bin Al-Hasan pernah mengatakan, “Suatu ketika, seorang pria buta meminta izin untuk masuk ke dalam rumah Fatimah, namun Fatimah tetap mempertahankan hijab (pemisah) di antara keduanya. Rasulullah melihat tindakan ini dan bertanya, “Mengapa engkau menjaga hijab di antara kalian berdua, padahal dia tidak dapat melihatmu?”, Fatimah menjawab, “Ya, Rasulullah, memang benar dia tidak bisa melihatku, tapi aku dapat melihatnya, dan dia bisa mencium bau harumku.’ Setelah mendengar ini, Nabi SAW berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah bagian dari diriku.'”
Jika ada seorang lelaki yang ingin berbicara dengan Sayyidah Fatimah az-Zahra, ia akan berkomunikasi dari balik tirai atau pemisah, sehingga dapat menjaga dirinya dari pandangan laki-laki yang bukan mahramnya. Kepeduliannya terhadap kesucian dirinya sangat besar, hingga ia bahkan menginstruksikan bahwa ketika ia meninggal nanti, tubuhnya harus diselimuti secara menyeluruh dan tidak boleh terlihat oleh orang yang bukan mahramnya. Fatimah menganggap bahwa praktik pada masa itu, yang hanya menutupi wajah mayat perempuan sementara bagian tubuh lainnya terbuka, adalah perilaku yang tidak patut.
Baca juga: Mengenal Seluk Beluk Jilbab
Suatu ketika Sayyidah Fatimah az-Zahra merasa bahwa ajalnya semakin dekat, dia berbicara dengan Asma’ binti Umais, yang hampir setiap hari mengunjungi rumahnya. Dia mengungkapkan rasa tidak senangnya terhadap cara perempuan diperlakukan setelah meninggal, yaitu hanya diselimuti dengan kain sehingga bentuk tubuhnya terlihat.
Maka, Asma’ memperlihatkan sesuatu yang pernah dia lihat di Habasyah kepada Sayyidah Fatimah az-Zahra, kemudian dia setuju untuk melihatnya. Asma’ kemudian membuatkan sebuah keranda dari pelepah pohon kurma dan meletakkan kain di atasnya. Sayyidah Fatimah az-Zahra sangat senang melihat keranda tersebut dan tertawa sambil berkata, “Ini sangat baik. Semoga Allah menyelimutimu seperti engkau menyelimutiku. Ketika aku meninggal nanti, mandikanlah aku bersama Ali, dan jangan ada yang lain yang ikut dalam proses itu. Setelah itu, buatlah aku seperti keranda ini.” Saat tiba saatnya, Asma’ meneruskan wasiatnya kepada Ali, dan hanya Ali yang memandikan jenazahnya.
Kisah Sayyidah Fatimah az-Zahra diatas memberikan pelajaran yang sangat penting dan suri tauladan yang baik terutama bagi seluruh Muslimah di akhir zaman ini dalam hal menjaga marwah sebagai seorang wanita Muslimah yang shalihah. Bahkan pada saat sudah meninggal pun Sayyidah Fatimah az-Zahra tidak rela apabila auratnya terlihat oleh seorang yang bukan mahramnya.
Jagalah kehormatanmu dan hiasi pakaianmu dengan rasa malu wahai Wanita Muslimah serta tauladanilah sifatnya meski dengan tertatih-tatih supaya engkau bisa ikut ke dalam barisan Sayyidah Fatimah az-Zahra, yang kelak akan menjadi pemimpin para wanita di surga.