Maraknya pertunjukan seni bantengan ini menjadikan masyarakat memiliki penyaluran kebahagiaan tersendiri dalam melepas penatnya. Setelah beraktivitas dengan segala kegiatan yang dimiliki masing-masing, seperti sekolah, bertani, berladang dan atau pekerjaan lainnya, adanya bantengan ini, bagi sebagian orang, mampu menjadi pemulih suasana dan energi.
Tsaqafah.id – Pertunjukan seni bantengan merupakan salah satu tradisi budaya yang masih hidup di tengah masyarakat Kabupaten Malang. Saya menyaksikan sendiri saat berkesempatan KKN pada bulan lalu, di Desa Duwet Dusun Petungsewu, bagaimana acara ini menjadi momen yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat sekitar.
Bantengan bukan sekadar tradisi seni budaya yang dapat menjadi hiburan biasa, tapi juga membawa rasa kebersamaan dan kebahagiaan. Hal tersebut sangat terasa ketika pertunjukan seni bantengan digelar, banyak warga kampung yang ingin menyaksikannya. Waktu pagelarannya pun bersahabat dengan waktu libur, yakni di hari Sabtu dan Minggu.
Maraknya pertunjukan seni bantengan ini menjadikan masyarakat memiliki penyaluran kebahagiaan tersendiri dalam melepas penatnya. Setelah beraktivitas dengan segala kegiatan yang dimiliki masing-masing, seperti sekolah, bertani, berladang dan atau pekerjaan lainnya, adanya bantengan ini, bagi sebagian orang, mampu menjadi pemulih suasana dan energi.
Baca Juga Melacak Budaya Islam di Pesisir Jawa Timur
Bagaimana tidak, perlengkapan yang digunakan selama pertunjukan berlangsung tidak main-main. Mulai dari bambu panjang yang dirancang seakan membentuk kandang banteng, kain panjang sebagai kostum badannya, kepala banteng yang dikreasi sedemikian rupa, dan yang tidak kalah heboh sound horeg yang menggelegar, beserta lighting yang menyinari dengan kelap-kelip pancaran cahaya. Semuanya menyempurnakan kemeriahan pertunjukan.
Bantengan: Seni Budaya yang Menyatukan Masyarakat
Pertunjukan seni bantengan menghadirkan suasana semarak yang mampu mengumpulkan berbagai kalangan masyarakat. Pertunjukkan ini menjadi media rekreasi dan penyegaran bagi masyarakat di saat waktu senggang pada akhir pekan mulai menyapa.
Tidak hanya itu, bantengan memperkuat ikatan sosial dengan menghadirkan kebersamaan, baik bagi penonton maupun pemain beserta grup bantengan yang terlibat. Pertunjukan seni semacam ini begitu diperlukan untuk menjaga keseimbangan emosi dan menciptakan momen kebahagiaan yang dibagikan bersama-sama.
Suasana menegangkan pada saat sesi kalapan atau kerasukan berlangsung menjadi puncak pertunjukan yang dinanti-nanti kebanyakan penonton. Pasalnya, situasi menjadi agak ricuh dan riweh.
Hal tersebut disebabkan oleh pengendalian eksternal para pemain yang tidak terkontrol karena dirasuki oleh arwah atau makhluk halus yang dibantu peran sang dukun dengan sesajen dan pecut sebagai alat utamanya. Serudukan pemain dengan kepala banteng yang dibawanya setelah dipecut dukun menjadi ciri khas sesi kalapan ini.
Baca Juga Mencintai Anak dengan Tulus: Nasehat Gus Baha
Pada saat-saat seperti inilah penonton merasa lebih senang dan semangat untuk menganggu dengan pluit atau teriakan-teriakan yang mereka bunyikan. Tujuan yang mereka harapkan agar sang banteng mengarah kepadanya.
Menurut saya, itu yang menjadi ‘gong’ di pertunjukan seni bantengan. Mereka tidak menganggap rasa khawatir dan takut itu menjadi hal negatif, justru hal tersebut puncak kesenangan mereka. Alunan musik yang bertambah besar ritme dan suaranya pun menambah cekam suasana.
Pertunjukan Seni Bantengan dalam Perspektif Agama
Jika ditelusuri melalui sirah nabawiyah, seni dan budaya sebenarnya sudah menjadi bagian dari kehidupan sejak masa Rasulullah saw, dan beliau tidak melarangnya. Salah satu contohnya adalah ketika Rasulullah saw memasuki kota Madinah bersama Abu Bakar ra, di mana beliau disambut dengan syair Thola’al Badru yang diiringi dengan lantunan musik rebana.
Para ulama fiqih telah merumuskan sebuah kaidah yang dikenal sebagai kaidah fiqhiyah, yang menyatakan bahwa “pada dasarnya segala sesuatu itu mubah (diperbolehkan), kecuali ada dalil yang melarangnya.” Artinya, selama pertunjukkan seni bantengan tetap dalam batas-batas yang sesuai dengan ajaran agama, maka hal itu dianggap mubah atau boleh.
Merujuk pernyataan tersebut, pertunjukan seni bantengan dapat diperbolehkan secara prinsip. Asalkan tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan syariat, seperti ajakan kepada kemusyrikan, perilaku mungkar, atau hal-hal yang dapat merusak tatanan sosial masyarakat.
Baca Juga Sepilihan Puisi Afrizal Ulinnuha: Laulaka Ya Muhammad
Secara umum bantengan dapat dipandang selaras dengan syariat. Namun, hemat saya, ada elemen tertentu yang mungkin perlu diperhatikan lebih dalam. Sesi kalapan dari puncak pertunjukan mungkin memerlukan penyesuaian agar tetap sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Beberapa praktik dalam pertunjukan seni bantengan saat sesi kalapan, seperti pemanggilan arwah menggunakan pecut, penyajian sesajen, atau penggunaan mantra oleh dukun, perlu dievaluasi ulang, karena praktik-praktik tersebut berpotensi mengarah pada kemusyrikan. Dalam Islam, segala bentuk penyekutuan Tuhan (syirik) tidak dapat diterima dan harus dihindari, karena dapat menggoyahkan keimanan seseorang.
Dengan demikian, pertunjukan seni bantengan, jika dijaga dan dipelihara sesuai dengan batas-batas syariat, bisa menjadi sarana hiburan yang bermanfaat bagi masyarakat. Akan tetapi, akan menjadi mudharat bila unsur-unsur yang berpotensi membawa kepada kesyirikan atau perilaku negatif lainnya masih tetap dipertahankan. Sehingga harmonisasi antara budaya dan agama harus tetap dilestarikan agar keduanya dapat berjalan secara beriringan dan tidak melahirkan kesesatan. Harmonisasi antara budaya dan agama inilah yang membuat bantengan tetap relevan dan dicintai oleh masyarakat sekitar.