Tsaqafah.id – Abu Qasim an-Naisaburi mencatat Rihana dalam daftar 1000 muslim gila dalam kitab al-Uqala’ al-Majanin. Rihana adalah perempuan yang dianggap gila dari Aballiyah atau dikenal dengan kota Ubulla.
Rihana diceritakan sebagai perempuan gila dengan ciri berkulit hitam. Ibrahim ibn Adham diberitahu mengenai Rihana yang berada di kota Aballiyah, kemudian ia bergegas menuju kota tersebut. Setelah menemukan Rihana, Ibrahim menyebut bahwa selain berkulit hitam, di pipi Rihana terdapat semacam bekas tangisan. Rihana memang perempuan gila yang sering bermunajat kepada Allah hingga menangis.
Farqad al-Subkhi menyebut Rihana sebagai perempuan yang rajin sholat malam, bahkan tidak ada perempuan yang lebih rajin sholat malamnya daripada Rihana di kota Ubullah dan Basrah.
Rihana menggambarkan keutamaan sholat malam dalam sebuah syair:
Jadikanlah dirimu waspada di malam hari,
Bangun malam akan menyadarkan tidurmu.
Sukailah sholat lama hingga membeku.
Tinggalkanlah nikmat tidur dan mimpi.
Dalam kesempatan lain, Abbad al-Qathan tengah bermunajat kepada Allah dalam sholat tahajud. Selesai sholat ia berdoa, “Ya Allah! Berilah pakaian untuk wajahku berupa rasa malu kepada-Mu.” Setelah melafazkan doa tersebut, tiba-tiba Rihana datang lalu berteriak, “Berdoalah dengan meruntuhkan pamer, sikap warak lebih utama bagimu dari pada sikap itu.”
Kegilaan Rihana sudah menjadi hal yang lumrah bagi masyarakat. Seorang sufi terkemuka, Ibrahim ibn Adham pernah menemukannya tengah berguling-guling di atas pasir di antara reruntuhan bangunan. Rupanya ia sedang bersyair. Rihana bersyair tentang masa depannya ketika menghadapi hisab di akhirat.
Celakalah aku karena dosa di catatanku.
Celakalah aku jika dipanggil namaku.
Celakalah aku jika disuruh ambillah itu.
Celakalah aku jika neraka nasibku.
Ibrahim ibn Adham pernah berkata mengenai akhirat, lagi-lagi Rihana membalasnya dengan bersyair:
Orang yang akan melalui hari yang menggelisakan.
Pun tidur di malam-malam setelah habisnya dunia.
Bagaimana dia bisa menikmati hidup dunia yang tak baik baginya.
Bagaimana matanya merasa nikmat kala terpejam.
Rihana memang tidak menyukai persoalan duniawi, hidupnya dihabiskan untuk bermunajat kepada Allah. Ia juga gemar dalam bersyair. Syair-syairnya digunakan untuk menjawab pertanyaan orang lain kepadanya atau sebagai nasihat serta doa kepada Allah. Seperti Sya’wana yang pernah membicarakan masalah duniawi bersama beberapa orang, seketika itu datanglah Rihana dan kemudian bersyairlah dia kepada Sya’wana dan kawan-kawannya:
Baca Juga: Kisah Pertemuan Dua Wali Allah
Perindu dunia tidak akan selamat dari kehinaan
Tak ada orang yang keluar darinya tanpa kedengkian
Berapa banyak raja yang rumahnya dikosongkan oleh kematian?
Lalu dikeluarkan dari naungan Dzat yang menguasai naungan.
Dalam syair ini, Rihana bermaksud memberikan nasihat kepada Sya’wana akan bahayanya mencintai dunia. Rihana menyebut orang yang merindukan dunia tidak akan selamat dari kehinaan dan diselimuti kedengkian. Karena mengejar dunia memang tidak ada habisnya. bahkan seorang raja juga tidak lepas dari yang namanya kematian sekalipun hidup dengan tahta dan harta.
Kegilaan Rihana bukan berarti tidak ada seorang yang melamarnya,karena memang Rihana adalah seorang yang menghabiskan hidupnya sebagai ahli ibadah. Adalah Abdullah bin Sahal, seorang lelaki yang pernah menyatakan lamarannya kepada Rihana, lalu bagaimana reaksi Rihana mendengar lamaran tersebut?
“Wahai orang yang melamar orang gila untuk dirinya sendiri!
Apa jawabanmu bila engkau berhenti dalam kehinaan?”
Rihana melayangkan penolakan secara halus melalui syair tersebut. Tak ubahnya seperti Rabi’ah al Adawiyah seorang wali perempuan yang menolak lamaran Hasan al Basrih dengan beragam pertanyaan yang membingungkan.
Abdul Aziz bin Jabir menceritakan kisah pertemuannya dengan Rihana di Masjidil Haram. Rihana tengah melakukan tawaf dan bersuara cukup keras. Kerudungnya terlepas dari kepalanya sembari berkata: “Rumah ini rumah-Mu. Haram ini haram-Mu. Makhluk-makhluk ini pelayan-pelayan-Mu. Sedangkan aku adalah tamu dan perziarah-Mu. Jika Engkau mengembalikanku ke Basrah dalam kondisi selamat dan kemudian aku ditanya, ‘Apa yang lebih utama pada dirimu?’ Maka aku akan menjawab ‘Pengampunan’. Itu karena prasangka baikku kepada-Mu, sementara Engkau yang Terkasih bertindaklah sesuai kehendak-Mu.”
Mendengar Rihana yang berteriak, mendekatlah Abdul Aziz bin Jabir kepadanya. “Diamlah!” Perintah Abdul Aziz bin Jabir kepada Rihana. Segera ditimpalinya perintah Abdul Aziz bin Jabir dengan berkata, “Hai anak kecil! Rumah ini rumahmu atau rumah Tuhan?”
“Tentu Rumah Tuhan”
“Lalu apakah aku ini tamumu atau tamu Tuhan?” Rihana kembali bertanya.
“Tentu tamu-Nya”
“Duhai, cita-cita yang jauh! Dia menjadikan kita tamunya kemudian tidak mengampuni kita? Tidak, Dia tidak melakukannya”
Setelah perdebatan kecil tersebut, Rihana berteriak keras hingga terguncang dan kemudian ia menghembuskan nafas terakhirnya. Demikianlah Rihana, seroang wali perempuan dari kota Ubullah yang menghabiskan waktunya untuk beribadah dan memilih untuk menolak lamaran seseorang kepadanya.
Sumber: Kitab al Uqala’ al Majanin