Tsaqafah.id – Menguatnya paham radikalisme agama pasca-reformasi memperkaya lokus keberagamaan di Indonesia. Taburan-taburan ajaran ekslusif-radikalis yang tersemai melalui mimbar halaqah, khotbah maupun mimbar media sosial agaknya rentan tertanam di benak Muslim tempo hari.
Tentu, meningkatnya spirit keberagamaan merupakan hal baik bagi stamina keberagamaan di Indonesia. Namun, menilik beberapa fakta konflik agama yang belakangan terjadi, agaknya mimbar virtual kini menjelma sebagai mimbar anyar guna memobilisasi virtual community dalam kerangka laku maupun gerakan-gerakan keagamaan di Indonesia.
Sejauh ini, ada dua podium yang dekat dengan generasi milenial yaitu sinema dan media sosial. Keduanya merupakan titik kumpul di mana milenial hidup. Dua medium itu berpotensi memanaskan sebuah isu, bahkan medium konfliktual. Terutama isu yang rentan memicu konflik etnoreligius bangsa Indonesia.
Secara moralitas dan kesadaran berbangsa, tentu kita menyepakati untuk menolak kekerasan atas nama apapun, apa lagi agama. Bagaimanapun, kekerasan merupakan tindakan tidak terpuji yang merugikan.
Karena itu, ketahanan nasional fardu dipelihara secara lahir-batin melalui pemanfaatan dua kanal: sinema dan media sosial. Sanggupkah dua medium itu diejawantahkan oleh generasi muslim milenial dalam kerangka yang lebih kooperatif dengan modernitas?
Baca Juga: Memekarkan Pendidikan Literasi Digital
Takwa Inovatif
Lokus takwa pada dasarnya mengarah pada dua hal, ke dalam dan ke luar. Ke dalam atau “takwa preventif”, merupakan ketakwaan yang diikat oleh rasa kehati-hatian dalam mengambil beberapa simpul revolusi digital. Seperti memperhatikan secara seksama konten yang bersifat relaksasi di jagad maya. Di era pasca kebenaran ini (post-truth era), dimana otoritas agama bergeser tak tentu, tidak sedikit konten kebencian, hoaks, dan kerancuan dalam menafsirkan teks agama. Apalagi penafsiran teks keagamaan yang bersinggungan dengan agama lain.
Daripada itu, perlu diperjelas ruas makna takwa. Pertama, “takwa preventif”, merupakan nilai ketakwaan kepada Tuhan dengan cara mentaati perintah serta menjauhi larangannya (amr ma’ruf nahi munkar).
Kedua, adalah “takwa inovatif”. Yaitu ketakwaan yang didorong tidak hanya oleh pesan moral amar ma’ruf nahi munkar. Ia juga diperkuat oleh kehausan dalam memodifikasi ciptaan Tuhan (al-Baqarah 2: 190-191).
Takwa inovatif ini tidak hanya terpaku pada penguasaan teknologi digital belaka. Melainkan juga pada pembangunan narasi dan konten-konten yang mendamaikan. Tentu, sebagai proses yang bertujuan mencounter hegemoni dari ajaran-ajaran islamis-radikal di dunia digital.
Oleh karena itu, sudah saatnya rasa berdigital (sense of digitalizing) diikuti oleh rasa kemanusiaan (sense of humanity). Allah swt berfirman dalam surat at-Thalaq 65;11: Artinya “(dan mengutus) seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum) supaya Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari kegelapan kepada cahaya.” (at-Thalaq 65:11)
Berdasarkan ayat tersebut, ajaran Rasulullah saw sebagai ajaran profetik melahirkan nilai-nilai keagamaan yang menuntun orang beriman untuk beramal saleh. Mengajak untuk keluar dari kegelapan menuju kebajikan. Ketika Tuhan memberikan dua imbalan bagi mereka yang bertakwa, yakni kemudahan dalam setiap urusan dan dilebarkan pintu rezeki. Kedua prinsip tersebut menjadi katalisator dari takwa inovatif.
Ala kulli hal, internalisasi nilai ketakwaan tersebut menjadi modal sosial (capital social) mereka untuk melahirkan gagasan inovatif dalam balutan kebhinnekaan dan kebangsaan.