Ushul Fiqh (3): Mengenal Enam Hukum Taklifi

Ushul Fiqh (3): Mengenal Enam Hukum Taklifi

22 Oktober 2024
12 dilihat
4 menits, 21 detik

Sebagaimana fiqh, sasaran utama ushul fiqh adalah penentuan hukum syariat. Posisi ushul fiqh sebagai perumus hukum sebelum fiqh tentu mempunyai konsep atas hukum yang sedang dibicarakannya.

Tsaqafah.id – Kemarin kita, anggap aja, sudah mengenal definisi dan objek kajian ushul fiqh, beserta kedudukannya di antara ilmu-ilmu lain yang sejenis seperti fiqh, qawaid fiqh, dan maqashid syariah.

Tulisan edisi ini mulai masuk dalam pembahasan ushul fiqh. Sebagai permulaan, kita bahas topik yang ringan-ringan dulu ya. Meski tergolong ringan, namun topik ini sangat mendasar. Jadi, jangan sekali-kali mengaku pernah belajar ushul fiqh jika belum memahami pembahasan kali ini, serius ini, okee.

Konsep Hukum Syariat dalam Ushul Fiqh

Oke lanjutt, kali ini kita mulai masuk pembahasan awal dalam setiap pengantar (muqaddimah) ushul fiqh. Sebagaimana fiqh, sasaran utama ushul fiqh adalah penentuan hukum syariat. Posisi ushul fiqh sebagai perumus hukum sebelum fiqh tentu mempunyai konsep atas hukum yang sedang dibicarakannya. Mari kita lihat konsep hukum ini dalam kitab Ghayah al-Wushul karya Zakariya al-Anshari:

خطاب الله المتعلق بفعل المكلف اقتضاء أو تخييرا وبأعم وضعا, وهو الوارد سببا وشرطا ومانعا وصحيحا وفاسدا. فلا يدرك حكم إلا من الله.

 “Khitab Allah yang berkaitan dengan tindakan orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, atau lebih umum (dari tindakan orang mukallaf) berupa hukum wadl’i, yakni khitab yang berlaku menjadi sabab, syarat, mani’, sahih, dan fasid. Tidaklah diketahui suatu hukum kecuali dari Allah.” (Thariqah al-Hushul ‘ala Ghayah al-Wushul, hlm. 15-17).

Baca Juga : KDRT dan An-Nisa Ayat 34: Tafsir yang Berkeadilan

Sederhananya, hukum adalah khitab Allah atau ketentuan Allah, baik yang berhubungan dengan tindakan manusia maupun tidak. Dalam hukum taklifi, khitab Allah hanya berkaitan dengan tindakan manusia saja.

Sementara hukum wadl’i mencakup relasi yang lebih umum, bisa dengan tindakan manusia, bisa juga dengan selain tindakan manusia. Penjelasan tentang hukum wadl’i, insyaallah akan kita bahas di edisi tulisan selanjutnya.

Setelah mengenal konsep hukum dalam ushul fiqh, kita mulai geser pada pertanyaan, “Terus siapa yang membuat hukum tersebut?”. Jika kita membaca dengan cermat definisi hukum dalam kitab Ghayah al-Wushul di atas, kita bisa langsung ngeh bahwa sebagai khitab Allah, hukum tentu saja berasal dari-Nya.

Inilah yang membedakan kita, sebagai Asy’ariyah, dengan kaum Mu’tazilah tentang penentu hukum syariat. Apakah pengetahuan atas suatu hukum itu murni berasal dari Allah ataukah cukup melalui akal saja kita mampu menemukannya.

Baca Juga : Pernikahan Dini Prespektif Maqashid Syariah

Hukum Taklifi

Pembagian pertama hukum syariat adalah hukum taklifi. Sebagian besar dari kita ketika mendengar ‘hukum syariat’, maka yang ada di benak kita adalah hukum taklifi ini. Agar pemahaman kita lebih konseptual, coba kita lihat konsep hukum taklifi dalam kitab Ghayah al-Wushul:

فإن اقتضى فعلا غير كف اقتضاء جازما فإيجاب, أو غير جازم فندب, أو كفا جازما فتحريم, أو غير جازم فكراهة, أو بغير مقصود فخلاف الأولى, أو خير فإباحة.

“Jika (khitab Allah) menuntut (terealisasinya) perbuatan -bukan larangan- dengan (tuntutan) yang kuat maka dinamakan wajib, atau (jika) tanpa tuntutan yang kuat maka sunnah, atau dengan larangan yang kuat maka haram, atau (dengan larangan) yang tidak kuat maka makruh, atau selain tujuan (dalil) maka khilaful aula, atau dipersilahkan memilih maka mubah.” (Thariqah al-Hushul ‘ala Ghayah al-Wushul, hlm. 23-25).

Dari sini, bisa ditemukan bahwa hukum taklifi ada enam macam; wajib, sunnah, haram, makruh, khilaful aula, dan mubah. Sebagian besar hukum-hukum tersebut sudah kita pahami bersama kecuali hukum khilaful aula. Namun, saya tetap mencoba mengelaborasikannya secara ringkas sesuai konsep di atas.

Pertama, wajib adalah tuntutan untuk mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tegas. Dalam definisi lain, wajib adalah perbuatan yang diberi pahala jika dikerjakan dan berdosa jika ditinggalkan, seperti sholat lima waktu.

Kedua, sunnah juga merupakan tuntutan atas suatu perbuatan sebagaimana wajib, namun dengan tuntutan yang tidak setegas wajib. Dalam definisi lain, sunnah adalah perbuatan yang mendapatkan pahala jika dikerjakan namun tidak berdosa jika ditinggalkan, seperti sholat dluha.

Ketiga, haram adalah suatu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tegas. Dalam definisi lain, haram adalah perbuatan yang berdosa jika dikerjakan dan mendapatkan pahala jika ditinggalkan, seperti zina.

Baca Juga : How to Become More Financially Literate for Younger Generations?

Keempat, mirip dengan haram, makruh berbeda dalam hal tuntutannya yang tidak tegas. Dalam definisi lain, makruh adalah perbuatan yang diganjar pahala jika ditinggalkan namun tidak berdosa jika dikerjakan, seperti membaca surat al-Fatihah dalam rukuk.

Khusus haram dan makruh, disyaratkan adanya niat meninggalkan dan potensi adanya perkara yang diharamkan atau dimakruhkan. Sebagai contoh, seseorang akan mendapat pahala meninggalkan zina jika ia niat meninggalkannya dan ada potensi melakukan perzinaan.

Jika semisal ia tidak niat meninggalkan zina dan ada potensi zina, maka tidak bisa mendapat pahala meninggalkan haram. Begitu pula jika ia niat meninggalkan zina namun tidak ada potensi untuk melakukannya, seperti ketika lagi nyantai-nyantai ngopi sendirian di rumah, maka ia tidak bisa mendapatkan pahala meninggalkan zina juga, nggak ada potensi eh.

Kelima, khilaful aula statusnya berada di antara makruh dan mubah, karena hukum tersebut tidak muncul dari suatu dalil nahi-nya makruh, namun dipahami dari kebalikan dalil amr­-nya sunnah.

Sederhananya, secara konsep -menurut saya- khilaful aula adalah kebalikan dari sunnah jika tidak dikerjakan, seperti meninggalkan sholat dhuha dan berbukanya seorang musafir yang tidak mengalami kesulitan dalam perjalanannya.

Semua tuntutan tersebut berasal dari dalil yang menunjukkan amr (perintah) dalam wajib, sunnah, dan khilaful aula, atau nahi (larangan) dalam haram dan makruh. Dalilnya pun bisa bervariasi, adakalanya berasal dari al-Quran, hadis, ijma, maupun qiyas. Variasi sumber dalil ini pun tidak bertentangan dengan status Allah sebagai pembuat hukum, karena secara hakikat, semuanya bersumber dari-Nya.

Keenam, mubah tidak berdasarkan dalil yang menuntut untuk dilakukan ataupun ditinggalkan. Oleh karenanya, mubah paling berbeda dengan kelima hukum sebelumnya. Tidak ada tuntutan di dalamnya. Kita dibolehkan untuk memilih antara mengerjakan suatu perbuatan atau meninggalkannya, seperti makan, minum, dll.

Baca Juga : Pendidikan Karakter Melalui Shalat: Membangun Akhlak Mulia Sejak Dini

Namun, semua konsep hukum tersebut hanya dilihat dari hakikatnya (dzat-nya), tanpa melihat faktor eksternalnya (amrun kharij-nya). Sebagai contoh, hukum asli sholat maghrib adalah wajib, namun jika dilakukan di tengah jalan raya akan memunculkan hukum lain, yakni haram.

Jadi, hukum wajib dan haram dalam kasus ini akan berdampingan. Kira-kira ya, semisal pahala sholat adalah 100 dan dosa sholat di jalan adalah 10, maka sisa pahala yang kita dapat adalah 90.

Kasus lain sebagaimana yang sering dicontohkan oleh Gus Baha adalah ngopi itu baik jika diniatkan untuk meninggalkan maksiat. Hukum asli ngopi adalah mubah, namun jika diniatkan sebagai rasa syukur dan agar tidak mengeluhkan ruwet-nya kehidupan -yang diharamkan-, maka ngopi kita akan berpahala. Enak kan agama kita, ngopi aja bisa dapat pahala.

Profil Penulis
Agil Muhammad Mudhofar
Agil Muhammad Mudhofar
Penulis Tsaqafah.id
Pengajar di PP Qomaruddin Gresik dan Alumni Pesantren Krapyak

3 Artikel

SELENGKAPNYA