Maulid nabi dalam tradisi Islam disepakati bahwa mesti disambut dengan rasa bahagia penuh sukacita. Yang paling masyhur adalah kisah tentang Abu Lahab yang di-nash di dalam Al-Quran masuk neraka, diringankan siksanya setiap Senin karena pernah bergembira atas kelahiran Rasulullah.
Tsaqafah.id – Seperti biasa, tiap bulan maulid, perayaan merebak di mana-mana. Di kampung saya, Mojokerto, maulid nabi digelar gegap gempita. Saat melangkah bersama anak-anak ke lapangan untuk maulidan, dada ini berdegup kencang. Bukan karena jatuh cinta, tapi efek dentuman sholawat dari sound horeg yang begitu kuatnya. Sound horeg, sebutan untuk sound system super kencang yang biasa disetel warga desa saat menggelar hajatan. Saking kerasnya, ia bisa meng-horeg-kan alias menggetarkan sekitarnya.
Selain sound horeg, di desa saya, maulid nabi juga identik dengan rebutan doorprize, gen Z yang clueless apa itu doorprize, anggaplah semacam giveaway. Hadiah-hadiah digantung di bawah tenda atau terop untuk diperebutkan audiens di akhir acara. Ada baskom plastik, kemoceng, minyak goreng, sampai terong. Itu mungkin juga berfungsi sebagai daya tarik supaya jamaah semangat datang ke majelis.
Baca Juga Menyelami Makna Maulid melalui Tiga Puisi Gus Mus
Di tempat lain serba-serbi maulid nabi mewujud pada pembagian berkat, bendera dua ribuan yang diberikan pada anak-anak, gemerlap kembang api, hingga saweran sholawat. Semua dikerangkai sebagai ekspresi cinta nabi, bahagia atas kelahiran nabi.
Dalam tradisi Islam disepakati bahwa kelahiran Nabi mesti disambut dengan sukacita. Yang paling masyhur adalah kisah tentang Abu Lahab yang di-nash di dalam Al-Quran masuk neraka, diringankan siksanya setiap Senin karena pernah bergembira atas kelahiran Rasulullah. Sukacita atas kelahiran Rasulullah juga kerap disenandungkan dalam penggalan syair Kisah Rasul, “Roohatil athyaaru tasyduu fii layaaliil maulidi…” yang berarti bahkan burung-burung pun berkicauan di malam kelahiran sang nabi penuntun umat Islam.
Soal bagaimana kemudian sukacita tersebut mesti diekspresikan, banyak terdapat silang pendapat. Hemat saya, cinta itu soal selera, semua boleh punya versinya masing-masing.
Baca Juga Antara Selawat dan Selawatan: Mencari Batasan yang Jelas
Malam itu, di Menturo, sebuah desa di pelosok Jombang, hanya lima belas menit dari rumah, saya menemukan ekspresi yang memenuhi selera saya. Padhangmbulan adalah nama untuk majelis rutin yang dihidupi Cak Nun, Emha Ainun Madjid, di desa kelahirannya itu sejak lama. Majelis serupa bernama Maiyah di Jogja, sementara di Jakarta disebut Kenduri Cinta. Sejak 1993 hingga hari ini, setara dengan usia saya, Padhangmbulan digelar tiap tanggal 15 bulan Jawa atau tiap bulan bulat purnama. Setelah Cak Nun sakit, perannya digantikan oleh yang lain. Malam itu, motivasi saya hadir karena berharap sang anak, Sabrang Mowo Damar Panuluh atau Noe Letto, akan datang.
Peringatan maulid di Padhangmbulan malam itu minim keriuhan. Berjalan dari parkiran yang berjarak lima ratusan meter, saya hanya mendengar sayup-sayup suara anak-anak bershalawat lewat pengeras suara yang tak begitu membahana. Usai kawanan anak-anak itu undur diri, sekelompok ibu-ibu warga setempat menyumbangkan sebuah tembang shalawat dengan iringan hadrah alakadarnya.
Jamaah Padhangmbulan duduk di pelataran panggung yang telah didirikan permanen, sisanya tersebar di pendopo dan sekitarnya. Semua generasi terwakili, anak-anak, muda mudi, hingga lansia ramai berkumpul. Beberapa tampak tertidur pulas. Segelintir penjaja makanan mengasongkan dagangannya.
Saat ayat-ayat suci dilantunkan dan disusul dengan tawasul, orang-orang tampak menundukkan kepala, beberapa bahkan menaruh telapak tangan di dada. Persis instruksi yang diberikan di institusi saya tiap menyanyikan lagu Bagimu Negeri.
Baca Juga Maulid Nabi Saw (1): Awal Tradisi, Pionir, Seremoni, dan Perspektif Para Pakar
Pada inti pembacaan shalawat, beda dari kebanyakan tempat, Kiai Kanjeng, grup musik pengiring Cak Nun tidak membaca syair populer tertentu secara utuh. Bukan Simtudduror, Burdah, Barzanji, atau Diba’ kecuali hanya sepenggal-sepenggal. Dalam pandangan saya yang awam soal musik, ritme hadrah, alat musik yang dimainkan saat itu juga berbeda. Hadrah diketuk pelan dengan intensitas jarang. Diiringi alunan lembut keyboard dan suara bariton vokalis, sholawat mengalun hikmat mengisi keheningan malam Desa Menturo.
Musik Kiai Kanjeng memang telah masyhur hingga berbagai negara. Tapi kesakralan yang dibangun oleh setiap yang hadir malam itu menurut saya adalah buah keberhasilan Padhangmbulan membangun komunitas, atau sebutlah jamaah, dengan karakter kuat.
Saat mahallul qiyam, saya makin terbawa suasana. Di sekeliling, orang-orang berdiri menunduk dan memejamkan matanya. Mereka yang telah sedari awal terlelap termasuk salah seorang anak saya, tampak semakin lelap alih-alih terganggu dengan suara-suara itu.
Kyai Lubaid Said dalam serial kajiannya menjelaskan dengan jernih bagaimana tradisi peringatan maulid bermula dari pusat kekuasaan. Perayaan maulid pada awalnya diperkenalkan oleh penguasa muslim kepada rakyatnya dan tidak jarang disusupi misi-misi politis. Ratusan tahun berselang, kini perayaan maulid tak lagi top-down, maulid nabi telah lahir dari inisiatif-inisiatif masyarakat. Wujud ekspresi cinta nabi pun diterjemahkan secara lebih terbuka menurut kearifan lokal selama dalam koridor apa yang dianggap baik -yang juga bisa multitafsir.
Baca Juga Haruskah Hadir di Majelis Maulid untuk Memperingati Maulid Nabi?
Sama halnya dengan para imam mazhab yang bersilang pendapat mengenai hal ini, kita juga kemudian bisa memilih ekspresi macam apa yang paling merepresentasikan kebahagiaan kita, tanpa menghakimi pilihan yang berbeda. Sebagaimana jamaah lain, malam itu dari Menturo, saya pulang tanpa membawa apa-apa, tidak ada nasi berkat, atau doorprize. Niat hati berjumpa dengan idola pun gagal karena Noe urung hadir. Tapi kerinduan pada idola yang paling sejati justru menyesaki dada. Saya pulang dengan keharuan memenuhi apa yang Noe bilang dalam lagunya sebagai, lubang di dalam hati.