Ushul Fiqh (2): Kedudukannya di antara Fiqh, Qawaid Fiqh, dan Maqasid Syariah

Ushul Fiqh (2): Kedudukannya di antara Fiqh, Qawaid Fiqh, dan Maqasid Syariah

12 Oktober 2024
99 dilihat
5 menits, 18 detik

Tsaqafah.id – Kemarin, kita telah ngobrol santai tentang ushul fiqh dari sisi definisinya. Sebenarnya, dari definisi kemarin sudah nampak objek kajian dalam ushul fiqh sendiri, yang terdiri dari (1) dalil-dalil fiqh ijmali, (2) metode operasional dalam memproses dalil-dalil ijmali menjadi dalil tafshili, juga (3) karakteristik dan prasyarat bagi sosok yang akan memproses dan mengolah dalil-dalil tersebut.

Biar lebih sederhana, saya akan memperkenalkan posisi ushul fiqh di hadapan fiqh, qawaid fiqh, dan maqasid syari’ah. Ketiga cabang ilmu terakhir ini cukup berbeda dengan ushul fiqh, meski di beberapa pembahasannya masing-masing saling beririsan satu sama lainnya.

Ushul Fiqh dan Fiqh: antara Ibu dan Anak

Sebelum memutuskan hubungan antara ushul fiqh dengan fiqh, mari kita cek definisi fiqh dalam kitab Ghayah al-Wushul karya Zakariya al-Anshari. Disebutkan bahwa fiqh adalah:

علم بحكم شرعي عملي مكتسب من دليل تفصيلي.

“Ilmu tentang hukum syariat yang berkaitan dengan perbuatan (amaliah) yang diperoleh dari dalil-dalil tafshili.” (Thariqah al-Hushul ‘ala Ghayah al-Wushul, hlm. 13).

Baca Juga Ushul Fiqih (1): Mengenal Dalil Fiqh Ijmali, Metode Operasional, dan Operatornya

Cukup jelas, bahwa fiqh adalah ilmu tentang hukum, bukan ilmu tentang dzat dan sifat seperti halnya ilmu filsafat. Fiqh adalah ilmu tentang hukum syariat, bukan seperti ilmu nahwu yang membahas tentang -semisal- hukum mubtada’ dibaca rafa’. Fiqh adalah ilmu tentang hukum syariat amaliah, bukan seperti ilmu tauhid yang membahas tentang hukum syariat keyakinan akal, semisal hukum bahwa Tuhan itu wajib qidam.

Fiqh pun harus digali dari dalil tafshili, maka orang—seperti kita—yang belum mampu mengambil fiqh dari dalil tafshili belum bisa dikategorikan sebagai seorang faqih (ahli fiqh), alih-alih sebagai ushuli (ahli ushul fiqh) yang lebih sulit prosesnya. Sebab orang yang bergelar ushuli sudah tentu faqih, namun seorang faqih belum tentu ushuli.

Jika kita telah memahami konsep dalil tafshili dan dalil ijmali, yang telah kita bahas di tulisan sebelumnya, maka kita akan lebih mudah dalam mengidentifikasi perbedaan antara keduanya. Ushul fiqh sebagai induk dari fiqh, sebagaimana ibu yang melahirkan anaknya.

Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqh: antara Kakek dan Cucu

Lanjut, kita akan geser membahas tentang kedudukan ushul fiqh di hadapan qawaid fiqh. Agar lebih jelas, mari kita lihat definisi qawaid fiqh dalam kitab Idlah al-Qawaid al-Fiqhiyyah karya Abdullah bin Said bin Muhammad Ubadi al-Hadlrami. Dijelaskan bahwa qawaid fiqh adalah:

قانون تعرف به أحكام الحوادث التى لا نص عليها فى كتاب أو سنة أو إجماع.

Formulasi untuk mengetahui hukum-hukum baru (hasil ijtihad) yang tidak ditemukan secara tersurat dalam al-Quran, hadis, maupun ijma’.” (Idlah al-Qawaid al-Fiqhiyyah, hlm. 14).

Hukum-hukum baru dalam definisi tersebut sudah tentu merupakan hukum fiqh yang berasal dari proses ijtihad, dan diproses terlebih dahulu melalui ushul fiqh. Qawaid dirumuskan dari hukum-hukum fiqh, bukan dari dalil tafshilisebagaimana fiqh. Bukan pula berasal dari dalil ijmali sebagaimana yang dilakukan oleh ushul fiqh.

Baca Juga Mencintai Anak dengan Tulus: Nasehat Gus Baha

Contoh sederhananya gini prosesnya; ulama fiqh menyatakan bahwa tidak wajib berdiri dalam sholat sunnah, tidak wajib tabyit (niat di malam hari) dalam puasa sunnah, dan sedekah tidak harus pada fakir-miskin. Selanjutnya, dalam qawaid fiqh dirumuskan suatu kaidah al-nafl awsa’u min al-fardl (Ibadah sunnah itu lebih longgar daripada ibadah fardlu).

Dalam sholat fardlu, berdiri merupakan salah satu rukun sholat, sementara tidak harus berdiri dalam sholat sunnah. Jadi kalau malas tarawih, mending sambil duduk saja. Wajib tabyit dalam puasa Ramadhan, dan tidak diwajibkan dalam puasa senin-kamis. Sasaran zakat mal haruslah orang fakir-miskin, berbeda dengan sedekah yang boleh pada orang kaya, masjid, dan saya.

Alasan dari dirumuskannya qawaid fiqh adalah agar kita mudah menghafalkan keseluruhan hukum fiqh, karena hampir mustahil kita hafal semua hukum fiqh tanpa bantuan qawaid fiqh, itu pun masih sangat sulit.

Jadi, hubungan antara ushul fiqh dengan qawaid fiqh bisa digambarkan sebagai seorang ‘kakek’ ushul fiqh yang mempunyai seorang ‘anak’ fiqh, yang nantinya melahirkan ‘cucu’ yang bernama qawaid fiqh.

Ushul Fiqh dan Maqasid Syariah: Kedua Orangtua Fiqh

Terakhir, kita akan membahas relasi antara ushul fiqh dengan maqasid syariah. Sebagaimana sebelumnya, mari kita bahas definisi maqasid syariah terlebih dahulu. Saya coba mengutip pendapat Ahmad al-Raisuni dalam karyanya yang berjudul Nadhariyyah al-Maqashid ‘inda al-Syathibi. Dia memaparkan bahwa maqasid syariah adalah:

الغايات التى أنزلت الشريعة لتحقيقها لمصلحة الخلق فى الدارين.

Tujuan-tujuan yang diturunkan oleh syariat untuk merealisasikan kemaslahatan makhluk di dunia dan akhirat.” (Nadhariyyah al-Maqashid ‘inda al-Syathibi, hlm. 7).

Dengan melihat definisi di atas, posisi ushul fiqh dan maqasid syariah sebenarnya setara dan saling berbagi tugas dalam merumuskan hukum syariat yang terkandung dalam fiqh. Mereka berdua bagaikan ‘duet’ Thom Haye dan Nathan Tjoe-A-On di lini tengah Timnas kita dalam membantu ‘serangan dan pertahanan’ (fiqh) demi lolos ‘ke Pildun 2026’ (kemaslahatan dunia-akhirat). Bismillah, Ya Allah

Baca Juga Maulid Nabi Saw (5-Selesai): Adab, Spiritualitas dan Sikap dalam Majlis Shalawat: Refleksi Fenomena Kekinian

Ushul fiqh fokus dalam pengelolaan dalil ijmali secara rinci dari aspek tekstual dan kebahasaannya. Kemudian maqasid syariah bertugas dalam memahami dan merealisasikan hikmah dan tujuan syariat yang diturunkan bagi manusia. Keduanya bekerja sama dalam mewujudkan kemaslahatan kita di dunia dan akhirat.

Dalam bab tertentu, kedua ilmu ini terlihat nyata dalam bekerja sama, seperti dalam pembahasan maslahah mursalahistihsan, dan sadd al-dzari’ah

Maslahah mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak dibahas, tidak diperintahkan, dan tidak dinafikan oleh syariat dalam ushul fiqh. Maqasid syariah bertugas dalam mengukur kemaslahatannya hingga bisa menjadi maslahah mursalah.

Istihsan dalam ushul fiqh adalah suatu kondisi ketika qiyas khafi lebih maslahat daripada penggunaan qiyas jali sebab ada pertimbangan maslahat tertentu. Tugas maqasid syariah di sini adalah penentuan maslahat tersebut apakah bisa memenangkan qiyas khafi menjadi istihsan.

Sadd al-dzari’ah adalah suatu proses perubahan suatu hukum yang pada mulanya dibolehkan menjadi perkara yang dilarang sebab ada pertimbangan mafsadah di dalamnya menurut ushul fiqh. Selanjutnya, tugas maqasid syariah adalah menakar kadar mafsadah tersebut hingga menjadikannya sebagai sadd al-dzari’ah

Saya beri contoh kasus fiqh yang tidak disukai oleh Mbah Moen yang pernah Gus Baha’ singgung dalam salah satu pengajiannya. Ketika seorang suami tidak memberikan nafkah, secara fiqh, istri berhak menolak ajakan jima’ suami. Begitu pula ketika istri menolak ajakan suami, maka suami berhak tidak memberikan nafkah.

Baca Juga Perubahan Iklim: Mengapa Negara Muslim Cenderung Diam?

Kasus ini akan mbulet dan berputar-putar jika dilihat dari sisi fiqh pernikahan. Nah, maqasid syariah harus turun tangan di dalamnya. Salah satu tujuan pelengkap (mutammimah) dalam pernikahan adalah terwujudnya ketentraman hati kedua pasangan suami-istri. Demi mewujudkannya, masing-masing pihak sebaiknya mengalah dan menoleransi kekurangan haknya, bukan malah kekeuh untuk saling menuntut haknya masing-masing.

Konsolidasi yang sukses antara ushul fiqh dengan maqasid syariah itulah yang mewujudkan corak fiqh-sufistik sebagaimana yang dianut oleh ulama Nusantara kita. Tahu sendiri lah ya kapasitas keimanan kita, sehingga ulama kita benar-benar bekerja keras agar syariat Islam bisa diterima dan diamalkan masyarakat tanpa menimbulkan masalah yang lebih besar.

Jika diumpamakan, ushul fiqh adalah orangtua biologis fiqh, yang merumuskan bentuk fiqh melalui dalil ijmali-nya. Maqasid syariah adalah guru dari fiqh sebagai orangtua ideologisnya, yang membawa visi dan tujuan diturunkannya syariat pada manusia.

Dari silsilah keempat ilmu ini, bisa terlihat urutan dan kurikulum dalam mempelajari masing-masing keilmuan ini. Fiqh harus dipelajari terlebih dahulu dibandingkan semuanya. Ushul fiqh dan qawaid fiqh bisa dipelajari bersamaan setelah mempelajari fiqh. Maqasid syariah yang membutuhkan kearifan dan kebijaksanan baru dipelajari setelah mempelajari ketiganya. 

Jenjang ini perlu dilalui agar tidak menggaya mujtahid dan ngawur dalam memberikan fatwa. Jangan langsung loncat belajar maqasid syariah tapi nggak paham fiqh, kayak anak dan dosen UIN aja! (NB. Maaf, saya juga lulusan UIN, nda).

Profil Penulis
Agil Muhammad Mudhofar
Agil Muhammad Mudhofar
Penulis Tsaqafah.id
Pengajar di PP Qomaruddin Gresik dan Alumni Pesantren Krapyak

6 Artikel

SELENGKAPNYA