Ushul Fiqih (1): Mengenal Dalil Fiqh Ijmali, Metode Operasional, dan Operatornya

Ushul Fiqih (1): Mengenal Dalil Fiqh Ijmali, Metode Operasional, dan Operatornya

05 Oktober 2024
204 dilihat
5 menits, 10 detik

Karena ‘kebetulan’ topik tesis saya kemarin membahas tentang ushul fiqh, saya coba ngajak ‘ngobrol’ ushul fiqh sekalian lah ya. Mbok menowo banyak yang minat jadi ushuliyyun (ahli ushul fiqh) juga.

Tsaqafah.id – Sebagai teman yang baik, saya mencoba menerima permintaan serius kawan saya, Kang Qosim, untuk ikut nyumbang sedikit tulisan di website ngerii ini. Yah, itung-itung ‘tobat’ untuk kembali menulis tulisan santai -tapi serius dikit- tentang topik sak penakku juga.

Karena ‘kebetulan’ topik tesis saya kemarin membahas tentang ushul fiqh, saya coba ngajak ‘ngobrol’ ushul fiqh sekalian lah ya. Mbok menowo banyak yang minat jadi ushuliyyun (ahli ushul fiqh) juga.

Oke, tapi sebelum mempromosikan ushul fiqh, saya coba mewanti-wanti dulu bagi yang mulai minat untuk belajar ilmu ini agar mencoba ‘sadar diri’ dulu. Ushul fiqh memang nampak ‘keren’, karena pembahasannya mencakup logika-logika yang dipakai ulama dalam merumuskan suatu hukum fiqh.

Namun, diperlukan modal fiqh yang cukup -minimal pernah khatam semua bab-bab fiqh- agar tidak menggaya mujtahid pasca mempelajari ilmu ini, khususnya bagi para pemula -seperti saya juga-.

Bagi kami, dalam tradisi pesantren, ushul fiqh dipelajari agar kita mampu untuk lebih memahami fiqh dan logika ulama dalam merumuskannya, bukan untuk langsung fatwa fiqh berdasar modal ilmu kita yang masih cetek ini.

Baca Juga Lebih Dekat dengan Syekh Hasan Hitou, Pengarang Kitab Fiqh Shiyam

Definisi Ushul Fiqh

Saya coba mengutip definisi ushul fiqh melalui kitab favorit saya di bidang ini, yakni kitab Ghayah al-Wushul karya Zakariya al-Anshari. Kitab ini menyebutkan bahwa ushul fiqh adalah:

أدلة الفقه الإجمالية وطرق استفادة جزئياتها وحال مستفيدها

Dalil-dalil fiqh yang ijmali, metode operasional dalil-dalilnya, dan karakteristik operator dalil-dalil tersebut.

Dari definisi tersebut, kita bisa tahu bahwa ushul fiqh mempunyai tiga segmen pembahasan di dalamnya, yakni dalil ijmali, metode operasionalnya, dan karakteristik operatornya. Ketiganya akan saya coba preteli masing-masing agar lebih kenal dan akrab beneran, nggak sok kenal aja.

Dalil-dalil Fiqh Ijmali

Dalil-dalil fiqh ijmali adalah dalil-dalil yang masih umum pembahasannya dan belum mengarah ke hukum tertentu. Kebalikan dari dalil ijmali adalah dalil tafshili, yakni dalil yang sudah jelas arah hukumnya dalam ranah fiqh.

Dalil ijmali dan dalil tafshili adalah titik utama perbedaan antara ushul fiqh dan fiqh. Dalil ijmali adalah sasaran dalam ushul fiqh hingga masuk dalam proses ‘menyajikannya’ dan karakter ‘penyajinya’. Sementara dalil tafshili adalah ‘sajian’ yang dihidangkan dalam fiqh.

Lebih lanjut, dalil ijmali belum bisa menjawab suatu persoalan, karena ‘data’ yang digunakan masih sangat umum. Dalil ijmali tersebut perlu diproses terlebih dahulu hingga bisa menjadi dalil tafshili yang bisa menjawab persoalan yang dipermasalahkan.

Contoh dari dalil ijmali dalam ushul fiqh adalah kesimpulan bahwa suatu perintah umum (amr mutlak) dalam suatu dalil adalah bermakna wajib secara hakikatnya. Sebaliknya, suatu larangan umum (nahi mutlak) secara hakikat mempunyai hukum haram.

Baca Juga Kisah Hidup Syaikh Mulla Romdlon Al-Buthi

Diskursus dan petetapan bahwa ijma’ dan qiyas adalah suatu ‘hujjah syariat’ merupakan contoh dari dalil ijmali ini. Termasuk dalam dalil ijmali adalah pembahasan ‘apakah istihsan, istishab, ‘urf, dan istiqra bisa dijadikan ‘hujjah’ atau tidak?’. Dalil-dalil ijmali ini belum mampu menjawab permasalahan fiqh masyarakat yang biasanya mempertanyakan hukum atas suatu tindakan yang dipersoalkan.

Keruwetan ushul fiqh dalam pembahasan -semisal- status qiyas dan istishab adalah keterbatasannya pada status ‘kehujjahan’ saja, bukan hasil dari qiyas dan istishab itu sendiri. Nah, hasil dari qiyas dan istishab masuk pada dalil tafshilinya fiqh.

Semisal hasil dari qiyas adalah keputusan bahwa narkoba adalah haram. Contoh hasil istishab adalah orang yang ragu-ragu apakah wudlunya sudah batal atau belum, maka status wudlunya dianggap belum batal.

Keharaman narkoba dan bertahannya status suci orang yang ragu-ragu merupakan dalil tafshili yang dibahas dalam fiqh. Dalil tafshili bisa menjawab pertanyaan masyarakat tentang hukum fiqh. Sementara dalil ijmali sebagai objek dalam ushul fiqh malah bikin masyarakat ‘frustasi’ akan keruwetannya.

Contoh lebih ringan bisa dilihat dari suatu pertanyaan, “Apakah hukumnya haram, ketika seorang pengendara motor menerobos lampu merah?”. Dalil ijmali dalam ushul fiqh akan fokus untuk mempermasalahkan “Apa itu hukum?” dan “Apa itu haram?”. Sementara fiqh dengan dalil tafshilinya akan menjawab, “Iya, haram” atau “Boleh, jika sepi”.

Lebih lanjut, istilah ‘dalil-dalil fiqh ijmali’ hanya terbatas pada urusan yang mengarah pada fiqh saja, bukan pada yang lain. Otomatis, dalil-dalil ijmali dalam ilmu kalam bukan termasuk ushul fiqh.

Begitu pula istilah ‘dalil-dalil fiqh ijmali’ haruslah mencakup semua dalilnya, bukan hanya sebagian dalil ijmalinya. Maksud dari sebagian dalil fiqh ijmali adalah sebagian bab dalam ushul fiqh. Konsekuensinya adalah orang yang tidak menguasai seluruh pembahasan dalil ijmali tidak bisa disebut sebagai ushuliyyun. Gimana, sulit kan jadi ushuliyyun?

Baca Juga Perempuan: Dijodohkan atau Menentukan Jodohnya Sendiri?

Metode Operasional Dalil-dalil Ijmali

Segmen berikutnya dalam ushul fiqh adalah pembahasan mengenai tata cara pengelolaan dalil-dalil ijmali tersebut supaya menjadi dalil tafshili yang akan dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh fiqh.

Dari penjelasan sebelumnya, kita memahami bahwa dalil ijmali ‘belum berguna’ dalam menjawab persoalan masyarakat akan hukum syariat. Maka, dalil ijmali ini perlu diproses menjadi dalil tafshili agar dalil ijmali ini ‘berguna’, ‘merakyat’, dan ‘tidak melangit’ terus di kalangan para ushuliyyun.

Ushul fiqh harus bertanggung jawab atas sikap ‘tidak merakyatnya’ ini. Bentuk kongkritnya adalah ushul fiqh harus memproses dan ‘memasak’ dalil ‘mentah’ ini. Salah satu contohnya adalah mengubah konsep qiyas yang rumit menjadi hasil qiyas yang bisa ‘dinikmati’ bersama seperti hukum keharaman narkoba sebelumnya.

Di antara pembahasan yang paling menarik dalam segmen ini adalah adanya ‘duel’ antara dua dalil yang sama kuat, manakah dalil yang menang? Padahal hakikat keduanya berasal dari sumber yang sama, yakni wahyu. Kok bisa bertentangan?

Ketika kedua dalil yang sedang ‘berduel’ tersebut ternyata bisa ‘didamaikan’, maka dinamakan dengan metode jam’u. Ketika keduanya tidak bisa ‘berdamai’, kita adu saja sampai salah satunya menang, dan cara satu ini dikenal dengan metode tarjih.

Baca Juga Pengajian Gus Baha: Tidurnya Orang Puasa Apa Termasuk Ibadah?

Karakteristik Operator Dalil-dalil Ijmali

Segmen terakhir dari ushul fiqh adalah pembahasan tentang karakteristik dan persyaratan khusus sosok pelaku yang mampu dalam mengelola dan memproses dalil ijmali agar bisa menjadi dalil tafshili.

Mengingat ruwetnya proses ini, maka diperlukan seseorang yang memenuhi persyaratan keahlian dan kualifikasi khusus untuk mengelola dalil ‘mentah’ ini agar bisa ‘dinikmati’ secara umum di masyarakat.

Tentu tidak mungkin, ketika ada suatu pasien dengan penyakit kronis yang perlu dioperasi, sosok yang menanganinya adalah selain dokter spesialis. Sudah tentu, kemungkinan terbesar adalah terjadinya malpraktik yang membahayakan pasien, meski sebenarnya tetap ada sedikit kemungkinan untuk sukses dalam pengobatannya.

Lebih-lebih dalam urusan syariat agama, yang urgensinya lebih penting daripada perkara kesehatan pasien. Maka diperlukan pula ‘dokter spesialis’ pada ‘pasien’ tersebut agar selamat dari bahaya ‘malpraktik’ ini.

Baca Juga Haruskah Hadir di Majelis Maulid untuk Memperingati Maulid Nabi?

Meski sang ahli tersebut masih berpotensi salah, namun kesalahan darinya dianggap lebih sedikit risikonya daripada orang yang tidak berkompeten di bidangnya. Sosok ahli tersebut dalam ushul fiqh dikenal dengan sebutan mujtahid.

Karena kita doyan makan, akan lebih mudah jika ketiga segmen ushul fiqh ini diibaratkan seperti seorang juru masak yang mengolah bahan mentah dan memasaknya menjadi masakan padang yang bisa dinikmati oleh pelanggannya.

Juru masak adalah mujtahid. Bahan mentah adalah dalil-dalil fiqh ijmali. Proses pengolahan dan memasaknya adalah metode operasional dalil-dalilnya. Masakan Padang adalah fiqh. Pelanggan adalah kita sebagai muqallid.

Lebih enak, praktis, dan aman ketika kita sebagai muqallid hanya ikut makan masakan Padang yang disajikan oleh mujtahid. Apalagi para mujtahid dalam realitanya memberikan makanannya secara gratis dan cuma-cuma. Logika orang ‘waras’, jika bisa gratis dan tinggal makan aja, ngapain ikut repot-repot masak?

Profil Penulis
Agil Muhammad Mudhofar
Agil Muhammad Mudhofar
Penulis Tsaqafah.id
Pengajar di PP Qomaruddin Gresik dan Alumni Pesantren Krapyak

6 Artikel

SELENGKAPNYA