Dengan lisan manusia dapat membuat seseorang saling mengetahui dan memahami, disamping itu bahasa juga dapat membuat pertengkaran dan permusuhan, dalam proses berbicara dapat menggambarkan karakter seseorang sehingga perlunya berhati hati dalam berbicara, demikian pula dengan orang Jawa yang terkenal akan budi luhurnya sehingga Pencitraan ada pepatah jawa mengatakan “Ajining diri ana ing lathi”
Falsafah ajining diri ana ing lathi memiliki makna bahwa harga diri (bisa sifat, kelakuan) seseorang bisa dilihat dari bagaimana orang tersebut berbicara. Seringkali orang mendapat malapetaka karena tidak bisa menjaga bicaranya, misal bicara “ngawur” dan “sembrana”. Tetapi tak jarang juga kita mendapati keselamatan atau kemudahan karena menjaga lidah.[1]
Bisa dikatakan, orang harus selalu menjaga setiap ucapan agar senantiasa berkata baik dan tidak berbohong. Selain itu, pada masyarakat Jawa juga memiliki tata krama berbicara, seperti tingkatan-tingkatan tertentu, contohnya : Jika anak berbicara kepada orangtua, maka anak harus mengunakan bahasa Jawa krama (halus), sedangkan jika orang tua berbicara kepada anak boleh menggunakan bahasa ngoko (Jawa sehari-hari).
Ajining diri ana ing lathi berkaitan dengan nilai sosial kemasyarakatan agar selalu tercipta kondisi harmoni (rukun), maka Orang Jawa berusaha untuk selalu dipandang baik di mata orang lain. Dengan demikian selalu diperhatikan dan menjadi bagian dari tujuan berbagai tindakannya. Di kalangan priyayi, upaya pencitraan itu antara lain dilakukan dengan berusaha menjaga lisan dan penampilannya. Para priyayi Jawa, berusaha membangun citra dirinya dengan selalu menjaga lisannya ketika berbicara dengan selalu berpelilaku jujur dan tidak merendahkan orang lain supaya tercipta lingkungan yang harmonis dan bermasyarakat, dan apabila kondisi demikian dapat dikontekstualisasikan dengan para pemimpin, pejabat penyelenggara negara dan eksekutif di negeri ini yang mayoritas adalah berasal dari Jawa. Maka seharusnya menjadi sosok pemimpin yang jujur, serta amanah .[1]
Ajaran Agama Islam Tentang ‘Ajining Diri Ana Ing Lathi‘
Integrasi antara nilai-nilai adat dan islam melaui falsafah ajining diri ana ing lathi memiliki titik temu yang kokoh dan diwujudkan sebagai pedoman sehingga terjalinlah transaksi yang relative utuh dan berkesinambungan.
Baca juga;
- Makna “Ajining Rogo Soko Busono, Ajining Diri Soko Lathi” dalam Prinsip Kepemimpinan
- Tari Gandrung Banyuwangi dalam Pusaran Sejarah
- Islam Pantura: Penikmat Sarung Juga Bisa Cingkrang!
- Jika Sunan Bonang Masih Ada, Beliau Tidak akan Menganggap Data Kematian sebagai Angka Statistik Saja
Setiap pemimpin sesuai dengan falsafah ajining diri ana ing lathi harus bisa menjaga lisannya karena di antara ciri kepemimpinan yang diridhoi Allah adalah pemimpin yang jujur, amanah dan bertanggung jawab. Sehingga pemimpin tersebut mampu menjadikan rakyatnya semakin bertakwa kepada Tuhannya, pemimpin yang mampu melindungi rakyatnya dari segala bentuk keburukan, kezaliman, ketidakadilan, penjajahan, perpecahbelahan, permusuhan dan keterpurukan.
Hal ini sebagaimana firman Allah yang terdapat pada surat al a’raf ayat 96 :[2]
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰۤى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَـفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَآءِ وَالْاَرْضِ وَلٰـكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS. Al-A’raf 7:96).
Dalam masalah kepemimpinan ini Rasulullah s.a.w pernah bersabda:
اِذَا أَرَدَاللهُ بِقَوْمٍ خَيْرًا وَلَّى عَلَيهِم حُلَمَاءَهُمْ، وَقَضَى بَيْنَهُمْ عُلَمَاؤُهُمْ، وَجَعَلَ الْمَالَ فِى سُمَحَائِهِمْ. وَأِذَا اَرَادَبِقَوْمٍ شَرًّا وَلَّى عَلَيْهِمْ سُفَهَاءَهُمْ، وَقَضَى بَيْنَهُمْ جُهَّالُهُمْ، وَجَعَلَ الْمَالَ فِى بُخَلَاءِهِمْ. (الدّي لامى)
“Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi suatu bangsa, maka dijadikan pemimpin-pemimpin mereka orang-orang yang bijaksana, dan dijadikan ulama-ulama mereka yang mengendalikan hukum & peradilan, Allah juga jadikan harta perbendaharaan di tangan orang-orang dermawan. Tetapi jika Allah menghendaki kehancuran suatu bangsa, maka dipilihlah pemimpin-pemimpin mereka dari orang-orang sufaha (dungu), hukum dikendalikan oleh orang-orang yang dzalim (jahil), dan harta benda dikuasai oleh segelintir orang yang bakhil” (HR. Ad Dailami).
Oleh karena itu, kita harus menjadi warga negara yang ikut bertanggung jawab atas terciptanya kemakmuran negeri, misalnya dengan ikut serta memilih pemimpin yang cerdas, amanah dan bertanggung jawab. Yaitu pemimpin yang didukung oleh para ulama dan yang taat kepada ulama, sehingga umaro dan ulama dapat berjalan beriringan dalam proses kepemimpinan.
Abu Hasan Al-Mawardi dalam kitab al-Ahkam as-Sulthaniyah menetapkan tujuh syarat bagi seorang Kepala Negara, yaitu:[3]
1) keadilan yang meliputi segala hal,
2) Ilmu pengetahuan sampai pada tingkat sanggup berijtihad,
3) kesejahteraan indera pendengaran, penglihatan dan lisan,
4) kesejahteraan anggota badan,
5) kecerdasan sampai pada tingkat sanggup memimpin rakyat dan mengurus kesejahteraan mereka,
6) keberanian dan ketabahan sampai pada tingkat sanggup mempertahankan kehormatan dan berjihad melawan musuh,
7) berbangsa dan berdarah Qurays.
Rasululullah saw pernah bersabda
سلامة الإنسان في حفظ اللسان
“Keselamatan manusia tergantung pada kemampuannya menjaga lisan.” (HR. al-Bukhari).
Aktualisasi ‘Ajining Diri Ana Ing Lathi’ pada Masa Kini
Falsafah ajining diri ana ing lathi juga sesuai dengan karakteristik Rasulllah saw. Sebagai pemimpin yang memiliki sifat shiddiq, tabligh, amanah. dan fathanah. Adapun prinsip kepemimpinan yang berhubungan dengan ajining dini ana ing lathi adalah seorang pemimpin harus sesuai antara perkataan dengan perbuatan dan mempunya sifat amanah dalam memimpin apa dan siapa yang harus dipimpinnya.
Posisi atau status sangat mementukan sebesar apa tanggung jawab kita sebagai pemimpin, baik itu sebagai pemimpin keluarga, pemimpin dalam suatu organisasai sampai pemimpin negara. Namun posisi tersebut tidak boleh terlepas dari prinsip ajining diri ana ing lathi harus dimiliki oleh pemimpin tersebut agar bisa menjadi teladan yang baik bagi siapapun yang dipimpinnya. Layakya seorang ayah dan ibu dalam memimpin keluarganya, maka pemimpin harus selalu menjaga lisannya karena itu akan menjadi contoh untuk anak-anaknya, dimana apabila orang tua selalu baik dalam berkata maka orang tua akan memiliki wibawa didepan anak-anaknya, begitupun sebaliknya. Lisan orang tua dapat menjadi doa bagi anak-anaknya, maka itulah pentingnya dalam menjaga lisan.
Berani mengambil resiko dalam diri, terdapat sebuah hal ini dikarenakan bahwa mental sangat mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan. Jika seseorang mempunyai mental yang kuat, maka dia akan dapat memutuskan keputusan dengan cepat sehingga ia akan lebih mengetahui apakah keputusannya baik atau buruk.
Pada tingkat daerah maupun nasional, seorang pemimpin harus memiliki sifat jujur agar dapat dipercaya oleh rakyatnya, terlebih lagi saat ini, adanya pemillu di masa pandemi yang dimanfaatkan oleh para penguasa untuk kepentingan politik dan kekuasaan. Namun di zaman sekarang banyak pemimpin yang memberi janji-janji manis untuk mempengaruhi masyakat agar mendapatkan pendukung namun ketika sudah terpilih banyak yang dilupakan.
Pada dasarnya semua orang bisa menjadi pemimpin, tapi tidak semua orang layak menjadi pemimpin bagi masyarakat. Untuk itu dibutuhkan kejujuran dan kebijakan untuk memutuskan seseorang pemimpin yang akan menjadi orang yang mengarahkan kita pada tujuan yang telah ditentukan. Indonesia merupakan negara yang besar dengan penduduk yang banyak, oleh karena itu seorang yang memimpin di tanah air Indonesia haruslah orang yang jujur dan dapat menjaga lisannya.
[1] Moh, Soehadha, “Wedi isin (takut malu)Ajining diri (harga diri) orang jawa dalam perspektif wong cilik (Rakyat jelata). Studi agama-agama, vol. X, no. 1, 2014. hal 2.
[2] https://tafsirweb.com/2550-surat-al-araf-ayat-96.html
[3] A. F. Djunaedi, “Filosofi dan etika Kepemimpinan dalam islam”.Vol. 8, No. 1. 2005. Hal 63.
[1]https://rahma.id/pesan-di-balik-falsafah-jawa-ajining-diri-soko-lathi-ajining-rogo-soko-busana/ (diakses pada 10 Desember 2021)