Anxiety bukan lagi barang langka, sejumlah data menunjukkan angka kecemasan di kalangan anak muda terus meningkat dalam beberapa tahun.
Tsaqafah.id – Saya sedang duduk di sebuah cafe yang cozy. Hembusan udara dari AC menyejukkan ruangan, alunan musik lirih membawa vibes yang tenang. Di hadapan saya, secangkir cappuccino hangat tersaji di samping layar laptop yang menyala.
Hari itu saya memilih tidak pergi ke kampus karena tidak ada jadwal mengajar. Sengaja saya menyepi untuk sejenak beristirahat dari rentetan tugas-tugas. Cappuccino hangat saya sesap perlahan. Let’s slowing down this time, batin saya. Anehnya, bersantai tidak semudah itu.
Meski diri saya duduk di kursi cafe bergaya industrial itu, pikiran saya melompat ke sana ke mari. Di layar laptop yang terbuka itu terpampang sekian to do list yang mesti dikerjakan. Saya menatapnya kosong, bingung mulai dari mana.
Akhir-akhir ini saya sering diliputi rasa bersalah. Saya merasa bersalah kalau membiarkan waktu berlalu tanpa berbuat apa-apa. Setiap ada waktu nganggur, saya terus mempertimbangkan pekerjaan apa yang bisa saya lakukan. Saya tidak ingat persis kapan ini bermula, tapi yang jelas ini memburuk semenjak saya bekerja, dalam artian menjadi pekerja formal.
Setiap hari saya membuat to do list hal-hal apa yang harus saya selesaikan. Saya juga membuat target jangka menengah dan jangka panjang. Baik terkait kewajiban pekerjaan, maupun capaian-capaian pribadi saya. Ternyata, dengan memancang target-target itu saya bagai menciptakan sendiri sosok hantu yang menggentayangi setiap waktu.
Di hari libur itu pikiran saya nggak bisa diam. That day I found out that slowing down my mind was not as easy as it seems.
Baca juga Bagaimana Al-Qur’an Menanggapi Kasus Bullying dan Kesehatan Mental?
What’s Wrong With Me?
Saya merasa ini sebuah kesalahan, ketika waktu hanya dianggap bernilai dari sebuah pekerjaan yang dituntaskan. Hidup seakan direduksi pada kemampuan men-checklist daftar tugas.
Tapi apa sebagai manusia kita tidak boleh menyusun rencana dan target-target? Tentu saja boleh, sebuah pepatah populer mengatakan perencanaan itu setengah dari kesuksesan. Kegagalan dalam berencana berarti merencanakan kegagalan. Namun, wajarkah jika rencana-rencana itu sudah pada taraf mengusik?
Setiap kali saya gagal mencontreng sebuah to do list, saya merasa buruk. Saya merasa mestinya saya bisa mengelola waktu lebih baik. Dan itu akan mempengaruhi mood saya seharian. Kepala saya sering terasa berat, saya jadi mudah lelah dan marah. Yang paling menyedihkan adalah orang-orang terdekat saya sering menjadi pelampiasan emosi itu.
Lebih jauh, akhir-akhir ini saya mulai khawatir dengan masalah kesehatan. Tapi itu lebih karena saya memandang tubuh bagai sebuah mesin, alat untuk menuntaskan pekerjaan-pekerjaan saya. Saya ingin obsesi saya tercapai, maka saya perlu merawat mesin yang saya punya agar dapat terus berfungsi dalam jangka panjang. Tiap minggu saya mengunjungi dokter spesialis berbeda-beda untuk memastikan di tubuh saya tidak ada masalah. Saya rajin merawat diri dengan perspektif bahwa itu adalah investasi yang bisa dikonversi menjadi hasil tertentu di kemudian hari.
Rasanya, keadaan yang saya alami telah memenuhi gejala kecemasan atau anxiety. Gangguan mental berupa rasa cemas atau kekhawatiran berlebih. Terutama terkait masalah pekerjaan dan kesehatan.
Saya pun mulai mencemaskan kecemasan saya. Saya cemas selalu hidup dalam bayang-bayang masa depan dan tidak bisa menikmati apa yang di depan mata. Saya cemas jika tiba-tiba waktu berlalu dengan cepat, dan ternyata saya melewatkan momen berarti yang tidak saya sadari.
Baca juga Harmoni Malam: Relaksasi dengan Musik Islami untuk Atasi Insomnia
Lalu dari mana kecemasan itu bermula? Saya memikirkan konteks internal dan eksternal.
Dari sisi internal, saya pikir ada sejarah hidup yang berkontribusi pada pembentukan watak yang terlalu keras pada diri, kelewat menuntut target tinggi. Bisa jadi, tumbuh di lingkungan yang kurang apresiatif, tidak mudah puas atas apa yang telah dikerjakan membuat saya menentukan nilai diri dari pencapaian-pencapaian tertentu. Saya kemudian mengingat lagi bagaimana tumbuh besar, keping-keping peristiwa yang menyusun karakter saya hari ini.
Di sisi lain, saya kira faktor struktural turut memberi andil. Bagaimana mekanisme dunia modern membentuk mentalitas saya dan banyak orang di zaman ini. Anxiety bukan lagi barang langka, sejumlah data menunjukkan angka kecemasan di kalangan anak muda terus meningkat dalam beberapa tahun. Fenomena ini sangat boleh jadi dipengaruhi dari bagaimana modernitas yang bisa kita runut sejak revolusi industri menetapkan tolak ukur kesuksesan dari sisi material. Sukses adalah seberapa banyak volume produksi yang dihasilkan, seberapa maksimal laba yang dikeruk, dan seberapa banyak pekerjaan dilakukan secara efektif dan efisien.
Alat-alat diciptakan untuk mempercepat selesainya pekerjaan mulai dari mesin uap pemintal benang, sampai hari ini era AI yang bisa membantu mempercepat riset para akademisi, misalnya, untuk melakukan literatur review secara lebih kilat dan lain sebagainya.
Nahasnya, munculnya mesin-mesin itu justru membuat manusia makin sibuk, sebab berbanding lurus dengan tuntutan yang kian meninggi. Target produksi ditingkatkan, di ranah akademik banyak indeks-indeks yang mesti dipenuhi. Manusia modern menanggung ekspektasi menjadi multitasking, tangkas alias sat-set, sekaligus efektif mencapai target.
Memaknai Kembali Produktivitas
Akhir-akhir ini kampanye slow living menggema sebagai antitesis hidup serba cepat khas zaman modern. Mulai muncul normalisasi atas hidup yang lamban, tidak melulu terburu-buru bagai dikejar setan. Nikmati saja hidup yang sepi tanpa ingar bingar, masak masakan rumahan dan santap dengan perlahan, baca buku sambil menyeruput kopi atau cappuccino seperti yang sedang saya lakukan.
Tentu saja gaya hidup seperti itu, apalagi yang dikemas estetik di sosial media, tetap meninggalkan catatan: hanya bisa dilakukan oleh mereka yang telah selesai dengan pemenuhan kebutuhan dasarnya. Kelas bawah yang sibuk bekerja untuk makan esok hari, tak punya privilese macam itu.
Hemat saya, untuk lepas dari belenggu anxiety, setidaknya ada dua poin. Pertama, berdamai dengan diri. Berusaha mengendorkan tekanan-tekanan yang kita ciptakan sendiri dengan menyadari dan mengubah perspektif pada masa lalu. Menerima jika memang kita tumbuh dengan menanggung beban ekspektasi, tapi kini kita bisa mengesampingkannya sebagai tolak ukur penilaian diri. Kepuasan, kebahagiaan tidak dipersempit pada semata keberhasilan atas sesuatu. Terdengar mudah, tapi saya kira ini perlu latihan yang konsisten.
Baca juga Bukan Kesepian yang Kita Rasakan, tapi Ketergantungan
Kedua, kita harus menyadari bahwa sistem dunia modern dalam banyak hal telah mendangkalkan kehidupan. Informasi maunya kita dapatkan dengan instan, menenggelamkan diri untuk membaca buku secara utuh atau menekuri kitab kuning kurang efektif dibanding mencari rangkuman dalil dari pendakwah influencer. Sosial media dan kultur flexing mengubah fokus kita pada capaian bukan perjalanan.
Kepala ini jadinya penuh huru-hara. Hingga pada kasus saya, mau bersantai saja, sebuah aktivitas yang mestinya tidak mengandung kesulitan, saya lupa caranya. Padahal, kalau kita mengingat ke belakang, peradaban itu lahir dari waktu-waktu santai. Sangat besar kemungkinan, buah-buah pemikiran para filsuf itu muncul dari lamunan-lamunan waktu senggang mereka.
Duduk di cafe hari itu, saya meyakinkan diri tidak ada yang salah dengan kebengongan saya. Mari tidak melakukan apa-apa, sebisa mungkin meredam hiruk pikuk di kepala, sembari menghayati getir secangkir cappuccino selagi hangat.
Ohya, terakhir, minta bantuan profesional untuk mengurai masalah anxiety, juga penting dipertimbangkan sebagai opsi.