Bukan Kesepian yang Kita Rasakan, tapi Ketergantungan

Bukan Kesepian yang Kita Rasakan, tapi Ketergantungan

29 Juli 2023
267 dilihat
3 menits, 40 detik

Tsaqafah.id – Frasa kesepian (loneliness) semakin mencuat dalam kehidupan kita hari ini. Ia kerap kali diartikan sebagai sesuatu yang negatif. Menjadi sebuah problem yang mendera manusia modern.

Kesepian disebut tidak memandang umur dan gender, semua orang bisa mengalaminya. Di Amerika, 1 dari 3 orang dipengaruhi oleh kesepian, dan 1 dari 12 sangat terpengaruh, kata Dr. Cacioppo dari The University of Chicago.

Di China ada sebuah agensi yang menyediakan influencer live streaming untuk menghibur orang yang kesepian.

Dr. Julianne Holt-Lunstad dari Brigham Young University mengatakan jika masalah kesepian yang melanda masyarakat hari ini harus ditangani dengan serius. Problem ini menjangkiti seluruh dunia, kesepian menjadi isu kesehatan mental yang jamak dibicarakan.

Para psikolog ramai mewanti-wanti jika kesepian bisa memicu depresi, stress, sampai bunuh diri. Tetapi apakah benar jika semua itu karena kesepian?

Kesepian disebabkan oleh berbagai macam hal. Ia selalu dikaitkan dengan perasaan merasa sendiri meski berada dalam situasi yang ramai.

Dr. Stephanie Cacioppo menyebut kesepian adalah keadaan pikiran yang ditandai dengan adanya perbedaan antara apa yang diharapkan dan realita yang ada. Pendeknya, realita tak sesuai dengan harapan. Misalnya ketika kita habis dimarahin dosen pembimbing atau atasan di tempat kerja, kita ingin bercerita pada orang lain tapi tidak ada yang bisa dihubungi. 

Baca juga

Saat ini kita sudah mengurangi interaksi sosial bahkan sejak mulai sarapan sampai tidur lagi. Membeli makanan via online shop, mendatangi workshop secara daring, dan ketika nongkrong bersama teman-teman kita saling fokus pada gadget masing-masing.

Setelah berfoto ria dan mempostingnya di media sosial kita kembali pada kebisuan masing-masing dengan sebuah benda di tangan. Pola hubungan manusia yang seperti ini menjadi kurang bermakna dan hanya ramai di permukaan saja. Keramaian yang ada di media sosial hanya seperti keramaian semu. 

Seperti itulah yang membuat manusia modern hari ini rawan terbunuh oleh kesepian. Bagaimanapun manusia membutuhkan interaksi sosial yang aktif, nyata, dan bermakna.

Perasaan kesepian yang melanda manusia modern hari ini nyatanya lebih banyak disebabkan oleh interaksi antar manusia yang dijembatani oleh mesin, menjadi sebuah ketergantungan yang sangat dan dipenuhi kecepatan akses informasi (hyper-connectivity).

Baca Juga Dzikir Untuk Mengendalikan Hati

Telpon pintar sering menjadi penyebab utamanya. Sherry Turkle menyebut hal itu sebagai kesepian yang berkepanjangan. Semakin terlibat dengan kecerdasan buatan dan berinteraksi melalui internet kita menjadi siap untuk memiliki apa yang disebut “relationships with less”, dimana ini adalah hubungan yang kekurangan aspek esensial dari interaksi manusia.

Hiperkonektifitas kemudian membuat otak manusia kelimpungan, gagap dalam mengolahnya, sehingga ia kesulitan untuk menjadi dirinya sendiri yang otentik. Lebih jauh lagi ia bahkan akan kesulitan mengekspresikan tentang emosinya karena ketidaktahuan, karena kebingungan yang dialami.

Singkatnya ia kehilangan ruang dialog, ruang kontemplatif dengan dirinya sendiri dan semakin tidak mengenal dirinya sehingga kemudian ia merasakan kesepian yang mencekam. Di situlah sebenarnya seseorang butuh untuk sendiri dan menyepi, membebaskan diri dari ketergantungan termasuk dengan mesin.

Dalam sepi kita membuka ruang kontemplatif dengan diri sendiri, bermuhasabah, dan merenung untuk kemudian dapat bertindak secara sadar dan penuh pertimbangan. Kesendirian dalam sepi tidak selamanya negatif. Ia adalah energi positif jika disadari dan ditemukan dalam proses yang bermakna.

Baca Juga

Pencetus psikologi analitik, Carl G. Jung mengungkapkan kesepian tidak datang karena tidak adanya orang, tetapi ketidakmampuan kita untuk mengkomunikasikan hal-hal bagi diri sendiri, atau mungkin ia  memiliki pandangan tertentu yang dianggap tidak dapat  diterima oleh orang lain.

Loneliness does not come from having no people about one, but from being unable to communicate the things that seem important to oneself, or from holding certain views which others find inadmissible.” 

Carl G Jung

Seseorang tidak akan bisa benar-benar terbebas dari apa yang kita sebut kesepian. Entah bagaimana harus menggambarkannya, tapi kita akan lebih banyak menghabiskan waktu dalam kebingungan dan lamunan daripada dalam kegiatan. Dan seseorang sadar akan kesepiannya, pedalamannya tak akan bisa ditembus oleh seseorang yang paling dekat dengan dirinya sekalipun.

Kita mungkin bisa mencabik-cabik dan menelanjangi jiwa seseorang yang kalut. Tapi untuk menembusnya sampai sisi terdalam mustahil dilakukan. Jiwa manusia adalah hal yang misterius, kesepiaan adalah relung dalam yang mengitarinya, sedang keceriaan hanyalah ombak yang datang silih berganti dalam ketidaktentuan waktu. 

Mungkin jenis “kesepian berkepanjangan” semakin kuat dirasakan manusia modern, kita memiliki teknologi canggih yang memudahkan saling berkomunikasi. Tapi nyatanya hal yang berkebalikan,  yang membawa manusia pada tingkat individualitasnya semakin kita rasakan. Ketergantungan pada mesin mengisolasi dirinya dari penemuan tentang makna.

Seorang yang bijak tentu saja ia yang sadar tentang kesepian yang dialaminya, yang siap menanggungnya tanpa menggantungkan pada lain hal, sebagai konsekuensi atas kehidupan di dunia.

Kesepian tidak melulu adalah buruk, ia lahir dari obsesi keingintahuan manusia yang besar. Semakin tinggi minat keingintahuannya dan semakin tinggi  pengetahuannya, manusia semakin akan dilanda perasaan kesepian. “If a man knows more than others, he becomes lonely,” papar Jung.

Kesepian menjadi seperti kondisi spiritual yang haus pada ketenangan, bahkan seperti perasaan rindu pada suatu hal yang lain, yang abstrak, yang tak mudah digapai. Kesepian mendorong manusia untuk berpikir dan bertindak. Banyak karya telah dihasilkan dari perasaan kesepian manusia. Mungkin tanpa kesepian, manusia tak akan membangun peradabannya sampai seperti sekarang ini. 

Profil Penulis
Umi Nurchayati
Umi Nurchayati
Penulis Tsaqafah.id

39 Artikel

SELENGKAPNYA