Tsaqafah.id – Baru-baru ini kita dihadapkan dengan kondisi politik bangsa yang menyedihkan. Di antaranya adalah dihapuskannya angka kematian dari indikator evaluasi Covid-19 di Indonesia. Hal ini mengingatkan saya terhadap kisah Sunan Bonang yang diceritakan oleh Kiai saya. Begini.
“Mbak, kok rumputnya dicabut?” tanya Pak Kiai kala melihat saya mencabuti rumput di tengah kegiatan roan (red: kerja bakti) bersama di Pondok kala itu.
“Nggih, Pak, kula mboten kumanan arit.” (Iya, Pak. Saya tidak kebagian arit) jawab saya yang kikuk setengah mati dan tak paham apa yang terjadi.
“Sampeyan masih ingat kisah Sunan Bonang?” Tanya Pak Kiai kepada saya.
“Mboten ngertos, Pak.” jawab saya yang kelewat jujur.
Pak Kiai pun bercerita, “Jadi begini, Mbak. Dahulu, tongkat milik Sunan Bonang hendak dirampok oleh Sunan Kalijaga yang kala itu masih menjadi Brandal Lokajaya. Sunan Kalijaga yang masih menjadi brandal saat itu memberontak dengan cara merampas harta orang kaya dan memberikannya kepada fakir miskin. Saat sedang berjalan di hutan dan melihat tongkat Sunan Bonang yang berkilau keemasan, Brandal Lokajaya ini mau merebutnya..”
Saya hanya mengangguk lantaran belum tau ke mana arah jalan cerita ini.
“Ia mengira bahwa tongkat itu terbuat dari emas. Saat merebut tongkat yang tengah dikenakan Sunan Bonang, Sunang Bonang yang sudah tua itu jatuh tersungkur ke tanah..”
Jantung saya seketika makdeg membayangkan seorang wali jatuh tersungkur di usianya yang sudah senja.
Baca Juga: Tahun Baru dan Intropeksi: Menimbang Sebelum Ditimbang
Lalu Pak Kiai melanjutkan, “Setelah terjatuh, Sunan Bonang menangis.”
“Menurut sampeyan, kira-kira kenapa Sunan Bonang menangis?” Tanya Pak Kiai kepada saya.
“Kesakitan, Pak Kiai?” jawab saya ragu-ragu.
“Bukan..”
“Setelah melihat Sunan Bonang menangis, Sunan Kalijaga pun mengembalikan tongkatnya, Ia juga baru sadar kalau ternyata tongkat Sunan Bonang itu hanya terbuat dari kuningan. ‘Tidak usah menangis,’ katanya. ‘Ini tongkatnya aku kembalikan.”
“Dengan mengerahkan sekuat tenaga untuk berdiri, Sunan Bonang mengatakan, ‘Aku tidak menangisi tongkat itu. Aku menangis karena saat terjatuh aku tidak sengaja berpegangan kepada rumput dan rumput itu tercabut dari tanah. Aku telah bersalah mengurangi makhluk Allah yang berzikir kepadaNya siang dan malam, aku juga mencabutnya tanpa memberinya kemanfaatan, tidak untuk pakan ternak, tidak untuk apa-apa, rumput itu tercabut secara sia-sia.”
Saya yang masih pada posisi memegang rumput yang belum lama saya cabut pun cepat-cepat melepaskannya. Rasa bersalah menjalar ke tubuh saya. Saya buru-buru minta maaf ke Pak Kiai lantaran belum pernah mendengar cerita itu sebelumnya. Kemudian Pak Kiai pun ngendika, “Lain kali dipotong saja nggih mbak rumputnya, yang penting jangan sampai akarnya ikut tercabut.”
Saya yang malu pun hanya bisa mengangguk dan menundukkan wajah dalam-dalam.
Dari cerita tersebut, saya yang masih sering suul adab ke makhluk hidup lain bahkan ke sesama manusia pun tergerus hatinya.
Bagaimana bisa Sunan Bonang menangisi rumput yang tercabut dari tanah, sedang kita, eh pemerintah kita, yang telah kehilangan beribu-ribu nyawa rakyatnya, bahkan masih sempat menonton sinetron Ikatan Cinta?
Baca Juga: Two Distant Strangers dan Bagaimana Saya Malah Mengingat Kematian
Saya jadi hanya bisa berandai-andai jika pemerintah kita memakai filosofi ala Sunan Bonang kala itu, mencabut satu rumput berarti mengurangi makhluk yang sedang berzikir kepada Allah. Bagaimana jadinya jika kita menghilangkan tiap nyawa manusia yang seharusnya masih bisa dicegah dengan ilmu pengetahuan dan kebijakan pemerintah?
Satu nyawa manusia yang hilang sia-sia bukan saja makhluk yang sedang berzikir kepada Tuhannya, satu nyawa manusia menurut ajaran Islam adalah khalifah fil ard. Ia adalah wakil Tuhan di Bumi. Yang diutus untuk menjaga, mengatur dan melestarikan alamnya. Ia juga adalah orang tua untuk anak-anaknya, kakak untuk adik-adiknya, suami dan istri untuk pasangannya, kerabat untuk saudara-saudaranya. Dan di dalam angka-angka itu pula, satu angka adalah wujud dari orang-orang yang dikasihi, dicintai, dihormati dan sangat berarti untuk sekitarnya.
Pun bagaimana dengan para pemuka agama yang masih ngotot mengajak orang-orang untuk beribadah di ‘rumah ibadah’? Para ulama yang mengajak kita dengan narasi yang hilang akal untuk tidak takut kepada Corona dan hanya takut kepada Allah sahaja.
Memangnya siapa lagi yang menciptakan Corona kalau bukan Allah Ta’ala?
Pada akhirnya, saya hanya bisa berandai-andai jika Sunan Bonang masih ada. Pasti beliau bakal stress sekali melihat angka-angka kematian hari-hari ini. Tidak seperti pejabat-pejabat kita yang sibuk memikirkan dirinya sendiri. Ya kali Sunan Bonang mau minta RS khusus pejabat.
Andai saja, ya, pemikiran Sunan Bonang masih tersisa pada benak para pemangku kebijakan, juga di benak orang-orang yang memiliki pengaruh besar untuk sekitar. Maka, bisa jadi, nyawa yang hilang sia-sia lantaran virus Covid-19 di negara kita tidak akan sebanyak ini, pula angka-angka kematian ini tidak akan dipandang sebagai angka statistik belaka. Huft, itu juga andai punya pemikiran seperti Sunan Bonang lho, ya. Entahlah kalau malah sibuk memalsukan data kematian.