Dalam konteks penegakan hukum, al-Qur’an menjadi sumber utama yang memberikan pedoman mengenai prinsip keadilan.
Tsaqafah.id – Dalam konteks penegakan hukum, al-Qur’an menjadi sumber utama yang memberikan pedoman mengenai prinsip keadilan. Penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang terkait dengan kewajiban berlaku adil menunjukkan bahwa keadilan merupakan fondasi yang tidak dapat dipisahkan dari setiap aspek kehidupan, termasuk hukum.
Dengan demikian, analisis terhadap tafsir ayat-ayat ini membantu menjelaskan betapa pentingnya peran al-Qur’an dalam membentuk sistem hukum yang adil dan seimbang.
QS. Al-Nisa’ (135)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ بِٱلْقِسْطِ شُهَدَآءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمْ أَوِ ٱلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ ۚ إِن يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَٱللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلْهَوَىٰٓ أَن تَعْدِلُوا۟ ۚ وَإِن تَلْوُۥٓا۟ أَوْ تُعْرِضُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”
Dalam Tafsir al-Misbah dijelaskan bahwa, jadikan penegakan keadilan menjadi sifat yang melekat pada diri seseorang, dan harus dilaksanakan dengan penuh ketelitian sehigga terjamin dalam setiap aktivitas lahir batin. Kata كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ بِٱلْقِسْطِ “jadilah penegak keadilan” yang menjadi redaksi kuat.
Perintah berlaku adil di jelaskan dari kata تَعْدِلُوا “berlaku adillah”. Adapun puncaknya adalah redaksi ayat diatas tadi “jadilah penegak-penegak keadiian yang sempurna lagi sebenar-benarnya”. Pada kata شُهَدَآءَ لِلَّهِ “menjadi saksi-saksi karena Allah” menjelaskan bahwa persaksian yang ditunaikan itu, dilakuakan demi karena Allah, bukan karena tujuan duniawi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Ilahi.
Sehingga dari didahulukannya perintah penegakan keadilan atas kesaksian karena Allah adalah disebabkan tidak sedikit orang yang hanya mampu pandai memerintahakan ma’ruf, tetapi ketika tiba bagiannya untuk melaksanakan ma’ruf tersebut, ia lalai.
Ayat ini memerintahkan mereka, bahkan semua orang untuk melaksanakan keadilan atas dirinya baru menjadi saksi yang mendukung atau memberatkan orang lain. Turunnya ayat dilatarbelakangi kasus seorang Muslim yang menuduh Yahudi secara tidak sah, sehingga yang ditekankan ayat adalah pentingnya keadilan, baru kemudian kesaksian. Karena itu redaksi ayatnya mendahulukan kata al-qisth, baru kata syuhada.
Baca juga Ushul Fiqh (4): Hukum Wadl’i, Lebih Rumit daripada Hukum Taklifi
Dan Ibn Jarir ath-Thabari mengatakan ayat ini turun berkenaan dengan kasus yang dialami Nabi saw. ketika ada orang kaya dan orang miskin, dimana Nabi cenderung membela orang miskin karena iba kepadanya. Sehingga Allah meluruskan kecenderungan itu melalui ayat ini فَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلْهَوَىٰٓ أَن تَعْدِلُوا۟ janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena enggan untuk berlaku adil.
QS. Al-Ma’idah (8)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَـَٔانُ قَوْمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ ۚ ٱعْدِلُوا۟ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”
Dalam Tafsir Al-Misbah dijelaskan ada keterkaitan ayat ini dengan ayat sebelumnya (al-Nisa’:135) pada urutan lafadz yang berbeda tapi sama dalam mufrodnya. Bahwa ayat surah al-Nisa’ dikemukakan dalam konteks kewajiban berlaku adil terhadap diri, kedua orang tua dan kerabat, sehingga wajar jika kata al-qisth keadilan yang didahulukan, sedang ayat al- Ma’idah di atas, dikemukakan dalam konteks permusuhan dan kebencian. Sehingga yang perlu lebih dahulu diingatkan adalah keharusan melaksanakan segala sesuatu demi karena Allah, karena hal ini yang akan lebih mendorong untuk meninggalkan permusuhan dan kebencian.
Baca juga KDRT dan An-Nisa Ayat 34: Tafsir yang Berkeadilan
Penjelasan di atas menyatakan bahwa keadilan lebih dekat dengan takwa. Perlu diingat bahwa kata “keadilan” dapat digunakan untuk menggambarkan makna ajaran Islam. Karena Islam tidak menjadikan kasih sebagai nilai tertinggi, ini karena kasih dalam kehidupan pribadi, tetapi juga dalam masyarakat juga dapat berbahaya.
Seseorang tidak akan menghukum seorang penjahat jika ada rasa kasihan kepadanya, bukan? Segala sesuatu harus ditempatkan dengan benar. Kamu dapat dengan adil mencurahkan kasih kepada seseorang yang memerlukannya. Dalam situasi di mana seseorang melakukan pelanggaran yang memenuhi syarat untuk hukuman yang berat, kasih tidak boleh berperan. Hal ini karena kasih dapat menghambat jatuhnya keputusan hukum atasnya. Ketika tuntutan itu masuk akal dan itu harus dihukum setimpal.
Dalam kasus surat al-Maidah ini dikemukakan setelah adanya ikatan perjanjian antara umat dengan Allah dan Rasul-Nya, sehingga yang ditekankan pada ayat adalah pentingnya melaksanakan secara sempurna seluruh perjanjian tersebut. Pada konteks inilah redaksi kata qawwamiina lillah digunakan dan didahulukan ketimbang kata syuhada.
Dari itu dalam konteks kemasyarakatan, ayat ini menegaskan pentingnya objektivitas, bahkan ketika menghadapi pihak yang tidak disukai. Hukum harus ditegakkan dengan prinsip keadilan yang netral, tidak terpengaruh oleh perasaan pribadi seperti kebencian atau dendam. Keadilan harus dijunjung tinggi terhadap semua orang, tanpa memandang latar belakang atau hubungan emosional, sehingga menghasilkan masyarakat yang harmonis.
Baca juga Mengenali Mukjizat Al-Quran dari Susunan Bahasanya