Hukum wadl’i dipahami sebagai khitab Allah yang lebih umum daripada hukum taklifi, karena keterkaitan hukumnya tidak hanya berhubungan dengan tindakan orang mukallaf, melainkan juga dengan fenomena di luar kemampuan manusia.
Tsaqafah.id – Setelah tulisan kemarin kita anggap sebagai pemanasan menuju pembahasan yang lebih rumit, tulisan kali ini mulai memasuki pembahasan khas ushul fiqh yang sukanya ngajak mikir. Minimal kita tahu, ternyata syarat menjadi mujtahid itu sulit banget.
Jadi, kita bisa lebih mengapresiasi jasa mereka, sembari menyadari kapasitas dan keterbatasan kita. Dengan mempelajarinya, kita pun -semoga bisa- memahami nalar fiqh seorang mujtahid dan jadi berterimakasih atas kerja keras mereka untuk agama ini.
Hukum Wadl’i
Pembagian hukum kali ini cukup berbeda konsepnya dengan hukum taklifi sebelumnya yang telah familiar di telinga kita. Langsung saja, kita pakai definisi yang telah disebutkan di dalam tulisan sebelumnya:
خطاب الله المتعلق بفعل المكلف اقتضاء أو تخييرا وبأعم وضعا, وهو الوارد سببا وشرطا ومانعا وصحيحا وفاسدا. فلا يدرك حكم إلا من الله.
“Khitab Allah yang berkaitan dengan tindakan orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, atau lebih umum (dari tindakan orang mukallaf) berupa hukum wadl’i, yakni khitab yang berlaku menjadi sabab, syarat, mani’, sahih, dan fasid. Tidaklah diketahui suatu hukum kecuali dari Allah.” (Thariqah al-Hushul ‘ala Ghayah al-Wushul, hlm. 15-17).
Baca Juga Ushul Fiqh (3): Mengenal Enam Hukum Taklifi
Hukum wadl’i dipahami sebagai khitab Allah yang lebih umum daripada hukum taklifi, karena keterkaitan hukumnya tidak hanya berhubungan dengan tindakan orang mukallaf, melainkan juga dengan fenomena di luar kemampuan manusia. Inilah yang membedakannya dengan hukum taklifi yang keterkaitannya dengan tindakan manusia saja.
Hukum wadl’i merupakan suatu ketentuan atau khitab-Nya dalam mengatur syariat-Nya. Dalam definisi di atas, kita bisa tahu bahwa hukum wadl’i ini terdiri dari sabab, syarat, mani’, sahih (sah), dan fasid (batal).
Sabab
Pembagian hukum wadl’i yang paling mudah dipahami adalah sabab, definisinya adalah:
والسبب وصف ظاهر منضبط معرّف للحكم.
“Sifat jelas, terukur, dan menunjukkan pada suatu hukum (syariat).” (Thariqah al-Hushul ‘ala Ghayah al-Wushul, hlm. 28-29).
Dalam definisi lain, sabab adalah sesuatu yang keberadaannya memastikan keberadaan musabbab (perkara yang disebabkan), dan ketiadaannya memastikan ketiadaan musabbab. Dengan kata lain, jika sabab ada maka musabbab pasti ada, dan jika sabab tiada maka musabbab juga dipastikan ketiadaannya.
Baca Juga Ushul Fiqh (2): Kedudukannya di antara Fiqh, Qawaid Fiqh, dan Maqasid Syariah
Agar lebih mudah kita langsung masuk ke contohnya saja. Tenggelamnya matahari merupakan sabab dari kewajiban sholat maghrib. Jika ada sabab berupa ‘tenggelamnya matahari’, maka musabbab berupa ‘kewajiban sholat maghrib’ dipastikan keberadaannya. Sebaliknya, jika sabab ‘tenggelamnya matahari’ tidak ditemukan, maka ‘kewajiban sholat maghrib’ dipastikan ketiadaannya.
Contoh ini merupakan penjelasan atas hukum wadl’i yang terbukti lebih umum daripada hukum taklifi. Fenomena ‘tenggelamnya matahari’ berada di luar kemampuan manusia. Sementara keterkaitan hukum taklifi hanya terkait dengan tindakan mukallaf.
Namun, ada pula hukum wadl’i yang berkaitan dengan tindakan mukallaf. Sebagai contoh, pernikahan merupakan sabab atas suatu musabbab, yakni kehalalan suami-istri. Jika sabab ‘pernikahan’ tidak ditemukan, maka musabbab ‘kehalalan suami-istri’ pun tidak ditemukan.
Syarat
Sekilas, syarat nampak mudah dipahami dan seakan-akan sama dengan sabab, karena dalam penggunaannya sehari-hari -dalam bahasa Indonesia-, sabab dan syarat agak mirip fungsinya. Biar kita bisa membedakannya, mari kita lihat definisinya dalam kitab yang sama:
والشرط ما يلزم من عدمه العدم, ولا يلزم من وجوده وجود ولا عدم.
“Sesuatu yang ketiadannya memastikan ketiadaan, namun keberadaannya tidak bisa memastikan keberadaan maupun ketiadaan sesuatu.” (Thariqah al-Hushul ‘ala Ghayah al-Wushul, hlm. 29).
Baca Juga Ushul Fiqih (1): Mengenal Dalil Fiqh Ijmali, Metode Operasional, dan Operatornya
Bahasa lebih mudahnya, ketika syarat tiada maka masyrut dipastikan ketiadaannya, dan ketika syarat ada, maka masyrut belum tentu ada. Inilah yang membedakannya dengan sabab, karena ketika sabab ada maka musabbab pasti ada, sementara ketika syarat ada maka masyrut bisa jadi ada dan bisa jadi tiada.
Langsung masuk ke contohnya saja biar lebih mudah. Suci dari hadas merupakan syarat dari keabsahan sholat sebagai masyrut-nya. Ketika syarat ‘suci dari hadas’ tiada, maka ‘keabsahan sholat’ bisa dipastikan ketiadaannya.
Namun, jika syarat ‘suci dari hadas’ ditemukan, maka ‘keabsahan sholat’ belum tentu terwujud. Sebab, bisa jadi seseorang ‘suci dari hadas’ namun ia tidak menghadap kiblat, maka ‘keabsahan sholat’ tidak bisa ditemukan.
Jadi, keberadaan masyrut tidak bisa dipastikan sebab keberadaan suatu syarat, melainkan masih bergantung pada hal-hal lain, dan inilah yang membedakannya dengan sabab sebagaimana contoh sebelumnya.
Contoh lain, nishab merupakan syarat dari kewajiban zakat mal. Jika syarat ‘nishab’ tiada, maka ‘kewajiban zakat mal’ pun tiada. Namun, jika ‘nishab’ ada, ‘kewajiban zakat mal’ belum tentu ada. Sebab, bisa jadi harta seseorang telah mencapai ‘nishab’, namun belum sampai haul atau ia masih mempunyai hutang, maka ia belum mempunyai ‘kewajiban zakat mal’.
Mani’
Dengan memahami konsep syarat, kita bisa lebih mudah dalam memahami konsep mani’. Secara konsep, mani’ adalah:
والمانع وصف وجودي ظاهر منضبط معرف نقيض الحكم كالقتل فى الإرث.
“Sifat yang wujud, jelas, dan terukur yang menunjukkan suatu batalnya hukum (syariat), seperti pembunuhan dalam hak waris.” (Thariqah al-Hushul ‘ala Ghayah al-Wushul, hlm. 30).
Baca Juga KDRT dan An-Nisa Ayat 34: Tafsir yang Berkeadilan
Dalam definisi lain, mani’ adalah sesuatu yang keberadaannya memastikan ketiadaan mamnu’ (perkara yang dicegah), dan ketiadaannya tidak bisa memastikan keberadaan dan ketiadaan mamnu’. Dengan kata lain, jika mani’ ada maka mamnu’ dipastikan tiada, namun jika mani’ tiada, maka mamnu’ bisa jadi ada dan bisa jadi tiada.
Sekilas, dari definisi pertama, mani’ nampak seperti kebalikan dari sabab, karena keberadaannya mengakibatkan ketiadaan hukum. Namun, dengan melihat definisi kedua, mani’ lebih dekat jika dianggap sebagai kebalikan dari syarat dengan melihat ketidakpastian dari salah satu sisinya.
Mari kita lihat contohnya. Pembunuhan merupakan mani’ dari hak waris sebagai mamnu’-nya. Ketika ada ‘pembunuhan’, maka ‘hak waris’ dipastikan ketiadaannya. Sebaliknya, jika ‘pembunuhan’ tiada, maka ‘hak waris’ belum tentu ada. Sebab, bisa jadi seseorang tidak melakukan ‘pembunuhan’ namun ia tidak mempunyai ‘hak waris’ karena ia memeluk agama lain.
Contoh lain, haid merupakan mani’ dari kewajiban sholat. Jika ‘haid’ ada, maka ‘kewajiban sholat’ dipastikan ketiadannya. Namun, jika ‘haid’ tiada, ‘kewajiban sholat’ belum bisa dipastikan keberadaan dan ketiadaannya, bisa jadi ada dan bisa jadi tiada.
‘Kewajiban sholat’ bisa jadi tiada, bersamaan dengan tiadanya ‘haid’ ketika -semisal- seseorang tersebut belum baligh. Jadi, ketiadaan ‘haid’ tidak bisa memastikan ketiadaan ‘kewajiban sholat’ dalam kasus ini. Sehingga, masih tetap diperlukan perkara lain untuk bisa memastikan ketiadaan ‘kewajiban sholat’, sesuai dengan konsep mani’ sebelumnya.
Baca Juga Pernikahan Dini Prespektif Maqashid Syariah
Jika ketiganya disimpulkan, maka antara sabab, syarat, dan mani’ mempunyai beberapa sisi yang membedakannya.
Sabab, ketika ada maka memastikan keberadaan musabbab, dan ketika tiada, maka memastikan ketiadaan musabbab.
Syarat, ketika ada maka belum bisa memastikan keberadaan maupun ketiadaan masyrut, dan ketika tiada maka bisa memastikan ketiadaan masyrut.
Mani’, ketika ada maka bisa memastikan ketiadaan mamnu’, dan ketika tiada maka belum bisa memastikan keberadaan maupun ketiadaan mamnu’.
Sahih dan Fasid
Kedua hukum wadl’i ini secara konsep agak berbeda dengan ketiga hukum wadl’i sebelumnya. Bisa dibilang, sabab, syarat, dan mani’ adalah suatu ‘geng’ sendiri. Sementara sahih dan fasid termasuk dalam ‘geng’ yang lain. Definisi keduanya adalah:
والصحة موافقة ذي الوجهين الشرع فى الأصح. وبصحة العبادة إجزاؤها, أي كفايتها فى سقوط التعبد فى الأصل, وغيرها ترتب أثره. ويختص الإجزاء بالمطلوب فى الأصح. ويقابلها البطلان, وهو الفساد فى الأصح. والخلف لفظي.
“Sahih adalah kesesuaian perkara yang mempunyai dua sisi (sah dan batal) dengan syariat. Kesahihan ibadah adalah tercukupinya dalam menggugurkan perintah, dan dalam selain ibadah adalah kemunculan dampaknya. Kebalikannya adalah batal atau fasad. Perbedaan definisi (menurut ulama) hanya sebatas retorika.” (Thariqah al-Hushul ‘ala Ghayah al-Wushul, hlm. 31-34).
Bisa dipahami, bahwa sahih adalah kondisi ketika suatu perkara sesuai dengan syariat. Sebaliknya, fasid adalah kondisi ketika perkara tersebut tidak sesuai dengan syariat. Sahih dan fasid hanya berlaku pada perkara yang adalakalanya sah atau batal.
Jika masuk pada perkara yang tidak memungkinkan sah dan batal seperti ma’rifatullah, maka tidak bisa dikategorikan sebagai sahih dan fasid. Sebab ketika seseorang tidak sesuai ma’rifatullah-nya, maka dinamakan sebagai jahil.
Baca Juga Belajar Menghadapi Kenyataan Pahit dari Nabi Ayub As
Konsekuensi sahih dan fasid berbeda dalam ibadah dan selain ibadah. Dalam ibadah, ketika dihukumi sahih, maka perintah melaksanakannya menjadi gugur. Ketika ibadah terkena hukum fasid, maka perintah mengerjakannya belum gugur.
Contoh, ketika sholat shubuh seseorang diakui kesahihannya, maka perintah melaksanakannya menjadi gugur. Sebaliknya, jika sholatnya dihukumi fasid, maka dia tetap harus melaksanakannya, karena perintahnya masih belum terpenuhi.
Kemudian, dalam selain ibadah -seperti muamalah dan nikah-, konsekuensi kesahihannya adalah muncul dampak lanjutannya. Sementara ketika dihukumi fasid, maka dampaknya tidak terjadi, melainkan kembali ke status semula.
Sebagai contoh, kasus jual beli. Ketika akad jual beli dihukumi sahih, maka uang yang pada mulanya merupakan milik pembeli akan berdampak menjadi milik penjual. Begitu pula barang yang asalnya adalah milik penjual akan berubah menjadi milik pembeli. Namun, jika akadnya berstatus fasid, maka uang kembali menjadi hak pembeli dan barang kembali ke kepemilikan penjual.
Contoh lain, akad nikah. Sebelum akad nikah berstatus sahih, maka masing-masing calon mempelai dilarang untuk saling melihat aurat, bersentuhan, hingga jima’. Ketika akad nikah dihukumi sahih, maka berdampak pada kebolehan melakukan ketiga perbuatan tersebut. Jika akad dihukumi fasid, maka kembali pada hukum asal, yakni larangan melakukan ketiga perbuatan tadi.
Sebenarnya masih ada dua hukum wadl’i lagi, yakni rukhsah dan azimah. Keduanya juga satu ‘geng’ sendiri, seperti sahih dan fasid. Khawatir tulisan ini menjadi terlalu panjang, maka baca sendiri saja ya, gampang kok, gausah manja.
Sudah paham ya, variasi hukum-hukum syariat. Jadi, semisal ada orang yang ditanya, “Apa hukum ziarah kubur?”, dan ia menjawab, “Bid’ah!”, maka dia belum paham ushul fiqh. Mending suruh belajar lagi, nggak ada hukum syariat yang bernama ‘bid’ah’.