Tsaqafah.id – Al-Kindi juga menyinggung tentang etika. Menurutnya, pada hakikatnya manusia bertabiat baik. Akan tetapi hawa nafsu membuat seseorang tergoda. Seseorang harus mampu menghalaunya, dan tentu ia harus berpengetahuan untuk mengetahui mana yang baik dan buruk.
Dalam konsep jiwa, al-Kindi menerangkan bahwa substansi jiwa adalah Tuhan. Ia mengibaratkan seperti cahaya yang berasal dari matahari. Ia mendefinisikan jiwa yang ditengarai berasal dari ide-ide Aristoteles, Plato, dan Plotinus. Jiwa merupakan elemen yang memiliki kehormatan, kesempurnaan, luhur, serta substansinya berasal dari substansi Tuhan.
Ia membagi daya jiwa menjadi tiga bagian. Pertama, daya bernafsu (apetitif), daya pemarah (irrascible), dan daya berpikir (cognitive atau rational). Seseorang yang dapat mengendalikan daya berpikirnya atau akal budi, maka ia dapat mengemudi dua daya lainya. Daya berpikir harus kritis dan berisi ilmu pengetahuan. Jika seseorang mengagungkan daya berpikir tersebut maka ia akan baik (selamat), begitu sebaliknya, seseorang akan menjadi buruk ketika merajakan daya nafsu dan amarahnya.
Jiwa itu kekal, ia tidak akan hancur sebagaimana hancurnya badan. Al-Kindi memaparkan bahwa jiwa tidak memperoleh kesenangan dan pengetahun yang sempurna tatkala menyatu dengan raga. Setelah keduanya berpisah, jiwa akan mendapatkan hal tersebut, ia menyebutnya ‘alam al-haqq atau ‘alam al-aql. Di situlah jiwa yang suci akan merasakan kebahagiaan yang hakiki. Serta di alam inilah ia dapat melihat Tuhan sebagai substansinya.
Akan tetapi, bagi jiwa yang tidak suci, ia akan mengembara terlebih dahulu untuk membersihkannya. Al-Kindi berandai-andai jiwa yang tidak suci itu akan bersemayam di bulan, kemudian ke planet-planet, hingga mendapati kesucian jiwanya. Tentu argumen ini tidak berlandaskan agama, akan tetapi akal.
Sebagai muslim sudah menjadi keharusan bagi kita untuk meneladani para cendekiawan dan ulama, seperti al-Kindi. Spirit bagaimana mereka mencari kebenaran, menuntut ilmu yang tidak ada habisnya, dan berupaya untuk mampu berpikir kritis. Berpikir kritis sangat diperlukan dalam kehidupan. Seseorang tidak akan menjustifikasi sesuatu dengan terburu-buru, sehingga ia dapat bersikap bijak menghadapinya.
Al-Kindi berani melawan arus, dengan tidak menyepakati ulama ortodoks yang membidahkan filsafat. Paradigma-paradigma terkait filsafat yang dianggap buruk, masih terus terjadi dalam kehidupan sosial saat ini. Kita seharusnya mencontoh al-Kindi dalam hal ini. Mengingat betapa pentinganya filsafat dan berpikir kritis, yang mampu menuntun seseorang kepada jalan kebenaran. Filsafat sangat dekat dengan keseharian manusia, sebab filsafat membahas hakikat-hakikat kehidupan, agar mengetahui makna dari kehidupan itu sendiri.
Betapa banyak manusia saat ini yang ‘ngalor-ngidul’ tanpa arti. Melakukan sesuatu yang kurang bermakna. Bahkan banyak yang tertipu dengan kehidupan yang fana. Seseorang merasa nyaman dengan doktrin-doktrin yang tidak memiliki orientasi yang jelas. Belum lagi masifnya digitalisasi, dengan mudah berita tidak jelas bisa tersebar, tinggal posting sana-sini. Sadisnya, banyak orang-orang yang termakan hal itu, dan tergiring opini. Kemudian munculah huru-hara panas, silih berganti. Di sinilah pentingnya pengetahuan dan daya kritis. Sehingga kita tidak ambil bagian di barisan ketololan. Justru kita mampu menempatkan diri dan bersikap bijak akan hal ini, agar tidak terjerumus dalam kubangan kesia-siaan.