Tsaqafah.id – Pandemi Covid-19 membuat banyak negara-negara dunia mewajibkan penggunaan masker bagi warganya, terutama Indonesia. Meningkatnya jumlah kasus seiring dengan perkembangan pelbagai varian virus corona yang makin membahayakan bahkan membuat instruksi diperketat: pakai masker ganda.
Memakai masker selalu menjadi satu poin penting dalam protokol kesehatan (prokes) –yang sebagaimana otak-atik istilah karantina wilayah, kita temui aneka nomenklaturnya: 3M, 5M, 10M, dst. Klaim urgensi pemakaian masker –yang diikuti poin-poin prokes lainnya, adalah selalu, menghentikan penyebaran virus, demi keselamatan diri dan orang lain.
Banyak ahli sudah menjelaskan, virus corona yang dalam bahasa Latin berarti “mahkota” ini menular melalui droplet atau percikan ludah dari mulut orang yang terinfeksi. Itulah mengapa, hari ini, mulut jadi organ paling penting untuk ditutup. Kendali atas mulut menjadi satu poin krusial dalam penanggulangan pandemi yang telah menewaskan lebih dari empat juta manusia di seluruh dunia ini (worldometers.info, 27/7).
Jika kita renungkan, jauh sebelum virus corona dan aneka variannya ditemukan, peringatan akan pengendalian mulut sebenarnya sudah santer digaungkan oleh Islam. Bukan karena mulut dapat memuncratkan droplet-droplet yang ditunggangi virus, melainkan, ia bisa menjadi pedang pembunuh mematikan bagi orang lain lewat satu hal ini: kata-kata.
Baca juga: Empat Pelajaran dari Pandemi Covid-19 menurut KH. Said Aqil Siradj
Tidak main-main, dalam Islam, perkataan yang baik adalah ejawantah keimanan seseorang. Hal ini tercermin dari hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari,
من كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليقل خيرا او ليصمت
“Barang siapa yang beriman kepada Allah Swt. Dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata dengan perkataan yang baik, atau hendaklah ia diam.” (HR. Bukhari).
Perkataan yang baik di sini merujuk pada perkataan kepada sesama manusia. Nilai ibadah tidak saja diukur dari hubungan antara manusia dengan Tuhannya (hablumminallah) tetapi juga hubungan antar sesama manusia (hablumminannas). Oleh karenanya, ukuran manusia terbaik salah satunya adalah tidak menyakiti manusia lain, termasuk dengan lisannya.
Dalam Mu’jam Al-Kabir, Imam At-Thabrani meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
أن رجلا سأل رسول الله أي المسلمين خير ؟ قال : من سلم المسلمون من لسانه ويده
“Rasulullah pernah ditanya oleh seseorang, “Siapakah muslim yang paling baik (mulia)? Beliau menjawab, adalah seorang muslim yang selamat dari gangguan lisan dan tangannya”. (HR. At-Thabrani)
Pada kesempatan lain, Rasulullah SAW bahkan menyebut perkataan yang menyakiti, dapat menggugurkan amal ibadah seseorang, sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad,
وعن أبي هريرة ، رضي الله عنه ، قال : قيل للنبي صَلى الله عَلَيه وسَلَّم : إن فلانة تقوم الليل وتصوم النهار ، وتصدق وتفعل ، وتؤذي جيرانها بلسانها. فقال رسول الله صَلى الله عَلَيه وسَلَّم : لا خير فيها ، هي من أهل النار. قالوا : وفلانة تصلي المكتوبة وتصدوا بأثوار ولا تؤذي أحدًا. فقال رسول الله صَلى الله عَلَيه وسَلَّم : هي من أهل الجنة
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah pernah ditanya, “Wahai Rasulullah, ada seorang wanita yang rajin shalat malam, gemar berpuasa di siang hari, giat melakukan amal kebaikan dan banyak bersedekah, namun ia sering menyakiti tetangganya dengan lisannya.” Mendengar laporan ini Rasulullah pun menjawab, “Tidak ada kebaikan padanya dan ia termasuk penghuni neraka.” Kemudian seorang sahabat menimpali jawaban Rasulullah seraya berkata, “Wahai Rasulullah, ada seorang wanita yang hanya melaksanakan shalat wajib saja dan hanya bersedekah dengan sepotong keju, namun dia tidak pernah menyakiti saudaranya.” Rasulullah pun langsung menjawab, “Dia termasuk penghuni surga.” (HR. Bukhari)
Baca juga : Dimensi Sosial Ibadah Kurban
Seruan-seruan di atas menitikberatkan fungsi mulut sebagai alat komunikasi primer manusia, yang berpotensi menyayatkan luka bagi orang lain. Menjaga mulut atau menjaga lisan dengan demikian adalah upaya menjaga perasaan orang lain, menjaga hubungan baik, seraya mewujudkan jati diri muslim yang terbaik.
Tidak berbeda dengan hari ini, mulut menjadi ancaman bagi orang lain sebab mikroorganisme bernama virus yang bisa terhambur darinya dapat menghinggapi dan merusak tubuh orang yang berkontak erat. Oleh karenanya, menjaga mulut dengan mengenakan masker dan menjaga lisan dalam konteks mengendalikan perkataan buruk, dapat ditempatkan pada kerangka yang sama: akhlak.
KH. A. Mustofa Bisri telah menyimpulkannya dalam satu kalimat teladan yang indah, “Saya menyayangi dan menghormati Anda, maka saya memakai masker.” Beliau mengajak kita menepiskan egoisme, dengan memosisikan diri sebagai pembawa virus. Maka menggunakan masker adalah upaya melindungi orang lain, bila sebagian masih tak gentar terhadap corona. Menggunakan masker dengan demikian melampaui sekadar anjuran medis, tapi menjelma sebagai laku sufistik.
Pandemi nyatanya bukan sekadar isu saintifik tetapi juga isu moral. Nyawa milyaran manusia dalam jeratan pandemi tidak cukup dipertaruhkan di meja-meja laboratorium melalui racikan vaksin dengan efikasi paling ampuh sekalipun. Penyelamatan populasi manusia juga bertumpu pada sikap saling jaga satu sama lain. Dan di sinilah moralitas mengambil peranannya.
Tentu, tiap-tiap mulut adalah otoritas tiap-tiap tubuh. Manusia bisa menggelincirkan kata-kata apapun lewat mulutnya, sebagaimana ia bisa membiarkannya tanpa proteksi masker di masa pandemi ini. Tetapi, ada pilihan sadar yang melampaui kebebasan itu. Apakah itu ‘baik’?
Apakah berkata menyakitkan orang lain itu baik? Islam menjawabnya tegas: tidak. Lalu, membiarkan mulut meresikokan orang lain di tengah ancaman wabah dengan menolak bermasker, apakah itu baik? Juga tidak.
Jika Rasulullah SAW pernah dengan tegas memperingatkan bahkan mengutuk mereka yang menyakiti orang lain lewat kata-katanya, maka, bagaimana nasib mereka yang membiarkan mulutnya jadi ancaman penyakit dengan menolak bermasker? Wallahu a’lam bisshowab.
Baca juga : Pandemi dan Laku Agama yang Tak Direstui