Tsaqafah.id – Kabut pekat menyelimuti dataran tinggi di Dieng Wonosobo, Jawa Tengah ketika kami memutuskan untuk tetap melanjutkan pendakian ke Puncak Gunung Prau. Setelah shalat isya’ di posko pendakian, kami mulai bersiap. Bagi saya pribadi ini adalah pendakian pertama, tidak ada rasa takut melainkan adalah rasa penasaran yang lebih besar menyingkirkan perasaan lain.
Gunung Prau menyimpan mutiara keindahannya tersendiri. Di situlah tempat terindah untuk menyaksikan matahari terbit.
Tepat kira-kira menjelang subuh, para pendaki mulai keluar dari tenda. Berbagai peralatan penunjang pengambilan gambar dikeluarkan oleh para pendaki, mereka tak ingin melewatkan momen yang memanjakan mata. Berbekal kamera handphone keluaran lama, saya turut serta tak mau melewatkan momen menangkap matahari terbit.
Perjalanan ke puncak Prau di dataran tinggi Dieng ini terbilang cukup menantang bagi saya meski medan yang dilalui tidak begitu sulit. Hawa dingin yang menusuk dan kabut pekat membuat rombongan banyak berhenti dalam perjalanan. Sekitar pukul 11 malam kami sampai di puncak. Setelah mencari tempat yang pas untuk mendirikan tenda, kami langsung menjarang air. Wedang jahe dan mie instan langsung kami santap dengan lahap, sedikit mengobati tubuh dari tusukan hawa dingin.
Baca Juga Habib Umar bin Hafidz Ungkap Tiga Lapisan Makna Mendalam dalam Basmalah
Berada di puncak Prau rupanya tidak menakutkan. Pasalnya para pendaki seperti sedang tumpah ruah di tempat ini. Mungkin karena hari libur Nasional, besok pagi tepat adalah tanggal 17 Agustus. Banyak orang berencana mengibarkan bendera di puncak gunung. Keesokan harinya, suasana hikmat kami temukan saat beberapa pendaki menyelenggarakan Upacara Kemerdekaan RI. Kami mengikuti menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Selain menikmati matahari terbit, di dataran tinggi Dieng dengan ketinggian 2.565 MDPL ini, kita juga menikmati jajaran gunung yang membentang, yaitu Sindoro dan Sumbing. Jika kita melewati jalur pendakian Dworowati, kita bisa melanjutkan sampai ke telaga Wurung dan mendirikan tenda di sekitarnya.
Medan pendakian Gunung Prau tidak begitu sulit bagi pemula seperti saya. Di awal-awal pendakian kita dijamu oleh pemandangan hijau yang memanjakan mata, jalanan yang sebagian besar berundag, dan banyaknya akar-akar pohon yang saling terhubung. Kami baru bisa menikmati keindahan Gunung Prau di saat turun karena mendaki dimulai pada malam hari.
Baca Juga Liga Arab: Panggung Baru untuk Bintang-Bintang Muslim Eropa
Jika saya saya boleh bilang, perjalanan menuruni gunung justru lebih menantang karena medan yang licin, rasanya saya ingin meluncur saja. Dalam perjalanan menurun inilah justru kami lebih banyak menggunakan tali tambang.
Melakukan pendakian ke puncak Prau rupanya cukup memuaskan hasrat saya. Perasaan takut tentu saja muncul dari seorang amatir, namun ketika bertemu teman-teman lain, kemantapan hati memenuhi seluruh diri. Teman yang kompak mudahkan saya, ketika diantara kami ada yang kelelahan semuanya berhenti. Setelah beberapa menit dan dirasa semua dalam kondisi baik, maka kami melanjutkan pendakian dalam gelap tersebut.
Sebuah perjalanan selalu mengajarkan banyak hal. Di puncak gunung kita menikmati keindahan sekaligus merasa sangat kecil di belantara dunia yang luas. Merenungkan Keagungan Tuhan atas segala ciptaan. Dan terakhir yang penting diingat adalah, membawa turun lagi sampah plastik yang kita pakai.