Tsaqafah.id – Jika ingin mengetahui bagaimana peradaban yang akan datang, lihatlah kondisi para perempuan saat ini.
Dalam kacamata Islam, kedudukan perempuan sangatlah mulia. Kata al-Nisa’ yang bermakna perempuan, menjadi salah satu nama surah dalam Al-Qur’an.
Dalam Shahih Muslim Nomor 1467 menyatakan bahwa dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah perempuan salihah. Artinya, tidak sembarang orang dapat menyentuh dan memilikinya. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melakukannya.
Perempuan sebagai pemegang kemuliaan yang mendapat anugerah dari Allah Swt, tidak terbatas pada fase-fase tertentu. Kemuliaan tersebut mereka peroleh sejak masih menjadi anak, menjadi istri, hingga menjadi seorang ibu.
Sebuah ungkapan mashur mengatakan, “ketika seorang perempuan menjadi anak, ia dapat membukakan jalan menuju surga bagi ayahnya. Ketika menjadi seorang istri, ia akan menyempurnakan agama suaminya. Ketika menjadi seorang ibu, surga berada di bawah telapak kakinya”.
Baca Juga Benarkah Peran Muslimah Karir Dianggap Merendahkan Peran Laki-Laki?
Saking mulianya perempuan dalam Islam, tidak sedikit ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi Saw yang memuat aturan untuk perempuan. Sayangnya, aturan-aturan tersebut sering kali disalahartikan oleh sebagian kalangan, sehingga memunculkan stigma negatif bahwa Islam agama yang kaku dan membatasi ruang gerak perempuan.
Akibatnya, banyak perempuan yang bertindak sesuai keinginannya tanpa memedulikan perintah Allah Swt.
Padahal, Allah Swt sama sekali tidak mengekang kebebasan perempuan untuk berekspresi. Akan tetapi, semata-mata untuk menjaga kemuliaan perempuan dari berbagai perkara keji yang dapat menurunkan marwah mereka. Semua itu menunjukkan betapa berharganya perempuan dalam pandangan Islam.
Perempuan sebagai Pendidik
Perempuan mendapat karunia empat sifat kodrati, yaitu haid, hamil, melahirkan, dan menyusui. Rahim dalam tubuhnya menjadi tempat janin hingga seorang bayi lahir, sehingga perempuan memiliki sifat rahim (penyayang) dalam dirinya.
Maka tidak heran jika perempuan dipilih menjadi seorang ibu, yang nantinya harus mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih sayang, karena sifat tersebut telah melekat dalam jiwanya.
Baca Juga
- Seri Bincang Narasi Damai #3: Menyingkap Keterlibatan Perempuan dalam Gerakan Ekstremisme Kekerasan
- Hati Suhita (2023), Representrasi Ketangguhan Perempuan Pesantren
Akan tetapi, menjadi pendidik bukanlah sesuatu yang mudah. Sebelum menjadi seorang pendidik, perempuan harus terlebih dahulu menjadi pribadi yang terdidik. Dengan begitu ia pantas untuk mendidik anak-anaknya dengan bekal yang ia punya.
Bagi setiap perempuan, pendidikan tidak cukup dengan ilmu duniawi saja, tetapi harus dibarengi ilmu agama, seperti ilmu tauhid, fikih, akhlak, tajwid, dan lain-lain. Hal ini dikarenakan ilmu agama menjadi fondasi awal dalam mendidik anak. Oleh karena itu, perempuan harus memahami ilmu-ilmu tersebut.
Terdapat sebuah maqalah yang berbunyi al-Ummu Madrasatul Ula. Artinya, ibu adalah sekolah pertama bagi anaknya untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran berbagai macam pengetahuan. Jika seorang perempuan telah mempersiapkannya, maka sejatinya ia telah mempersiapkan generasi yang terbaik.
Perempuan Masa Kini
Berada pada masa yang semakin modern, banyak perempuan yang larut dalam canggihnya teknologi. Sebagian dari mereka berlomba-lomba untuk dikenal melalui dunia maya. Tidak sedikit juga yang rela mempertaruhkan harga diri demi mengikuti trend viral belaka hingga melupakan marwahnya.
Terlebih lagi, berbagai kalangan, termasuk anak-anak di bawah umur, kini menikmati hal semacam ini sebagai konsumsi publik. Hal ini dapat berakibat fatal karena anak-anak mungkin meniru tanpa memahami konteks tren yang diikuti.
Perkara seperti ini sangat miris, di mana akhlak dan ilmu tidak begitu dipedulikan. Terlebih lagi banyak perempuan yang awalnya berhijab, tetapi demi popularitas mereka rela melepasnya. Sebesar itu pengaruh dunia teknologi dapat menggoyahkan iman.
Kini, jarang sekali menemukan perempuan yang menghiasi fitrahnya dengan rasa malu. Bahkan, orang-orang menganggap mereka kolot jika tidak mengikuti hal-hal kekinian. Kita perlu meluruskan mindset ini, bahwa manusia dianugerahi akal untuk membedakan yang haq dan bathil sehingga tidak semua yang kekinian harus diikuti.
Baca Juga
- Empat Konsep Pesantren Merawat Peradaban Islam
- Lima Platform yang Bisa Kamu Jadikan Tempat Belajar Fikih Wanita
Di sisi lain, perempuan zaman sekarang juga mulai mengalami degradasi moral. Terlihat dari gaya bicara, gaya busana, dan perilaku yang kurang hormat, terutama kepada yang lebih tua. Apabila hal ini diteruskan, maka dapat membahayakan generasi-generasi selanjutnya.
Oleh karena itu, perempuan seharusnya kembali kepada fitrahnya dengan berhiaskan rasa malu. Dalam konteks ini, perempuan bukan malu berbuat kebajikan atau hal positif, melainkan malu melakukan perbuatan negatif yang dapat menciderai marwah diri.
Pengaruh Perempuan terhadap Peradaban
Sebagaimana telah disinggung di awal, perempuan memiliki pengaruh kuat dalam menentukan maju-tidaknya sebuah peradaban. Jika ingin mengetahui bagaimana peradaban yang akan datang, lihatlah kondisi para perempuan saat ini.
Kalimat tersebut menjadi patokan betapa berpengaruhnya kedudukan perempuan sebagai ibu dalam suatu peradaban. Terlebih karakter kuat yang melekat dengannya, dapat diturunkan kepada anak. Maka dapat dikatakan bahwa karakter yang sebaiknya terpelihara oleh setiap perempuan haruslah bernilai positif.
Baca Juga Maskulinitas dan Santriwati: Telaah Konsepsi Diri Santri Putri di Pesantren
Mengingat kembali kisah-kisah di zaman nabi, seperti kisah Nabi Luth as dan Nabi Nuh as yang sama-sama memiliki istri pembangkang kepada Allah Swt dan suami. Akibatnya, sekalipun mereka seorang nabi, anak-anak mereka turut menjadi anak pembangkang seperti sifat ibunya.
Berbeda dengan kisah Nabi Ibrahim as yang selama 10 tahun belum dikaruniai anak, ia menikahi Siti Hajar dengan izin Siti Sarah dan dikaruniai seorang anak bernama Ismail as. Tidak lama kemudian, pernikahannya dengan Siti Sarah juga menghasilkan seorang anak bernama Ishaq as.
Perempuan, terutama ibu yang cerdas dan mumpuni ilmu agamanya, sangat berperan penting dalam kehebatan Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam al-Bukhari, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, dan ulama-ulama lainnya.
Demikianlah kisah-kisah tersebut menunjukkan bahwa ibu memiliki peran signifikan dalam mencetak generasi penerus. Oleh karena itu, untuk mencetak generasi terbaik yang dapat memajukan peradaban, kita harus memulai dengan memperbaiki akhlak dan ilmu agama para perempuan.